Mengapa Wanita Memilih Bertahan Meski Pernikahannya Tidak Bahagia

bertahan meski pernikahan tidak bahagia

Sharing By Rey - Kebanyakan wanita memilih bertahan, meski sejujurnya pernikahannya tidak bahagia.

Waktu kecil dulu, saya sama sekali tidak pernah membayangkan akan seperti apa pernikahan saya.



Yang ada di benak saya, hanya saya tidak sabar menjadi dewasa, lulus kuliah, dan menjadi wanita sukses, bekerja di sebuah gedung yang megah, memakai baju rapi, selalu sibuk dan aktif setiap saat.

Sayapun, tidak pernah sama sekali memikirkan akan menikah cepat, bahkan merasa geli saat melihat adik-adik kelas saya sudah menikah dan memiliki anak.

Siapa sangka?
Waktu mengantarkan saya akhirnya punya pacar, lalu gerah dengan pertanyaan mama,
"Kapan pacarmu akan melamar?"
Karenanya, dari yang awalnya saya sama sekali nggak pernah memikirkan tentang nikah, sampai akhirnya di tahun 2009 memberikan ultimatum kepada sang pacar, bahwa saya akan menikah di tahun itu, with or witout him!.


Begitulah, kami akhirnya menikah di tahun 2009, dengan acara yang sederhana, namun lumayan rempong, dan saya tidak bisa menggambarkan bagaimana leganya saya setelah menikah dan kembali ke Surabaya.

Lega banget, akhirnya satu problem terpecahkan, tak akan ada lagi pertanyaan usil kapan saya menikah.
Saya akhirnya bisa tinggal serumah dengan sang pacar, nggak perlu lagi ribet memerintah sang pacar untuk mengumpulkan baju kotornya agar saya cucikan di kos saya.
Saya bisa langsung mengumpulkan baju kotornya, mengurus sang pacar, dan saya bahagia akan itu.

Namun, alangkah terkejutnya saya.
Baru saja sampai di Surabaya, sang pacar yang sudah bertransformasi menjadi suami, sudah berani membentak saya, dan menyuruh saya menjadi istri sholeha.
Itu pertama kali dia membentak saya sepanjang kami berhubungan, selama 8 tahun sebelum menikah.

Kami melewati masa-masa awal menikah dengan penuh perjuangan.
Sungguh sangat lucu bukan?
Kami bukanlah pasangan baru, saya sudah lebih dari cukup mengenalnya.

Delapan tahun untuk mengenalnya, hampir setiap saat saya mengetesnya.
Saya memarahinya, bahkan memukulnya dan menggigitnya, lalu menyuruh dia pergi dari hidup saya.

Tapi, hingga akhirnya saya memberi ultimatum mau menikah tahun itu, si pacar tetap tidak mau pergi.
Ada saat di mana saya yang memang buka tipe orang yang tahan hidup dengan masalah, saya memilih pergi dari hidupnya, dan suprised sang suami kebingungan mencari saya.

Saya pikir, mungkin kami bertengkar karena memang sedang dalam masa penyesuaian.
Saya rasa, kami sama-sama kaget, karena meskipun selama 8 tahun berpacaran, tapi kami belum pernah tinggal bareng, tentunya mengalami shock juga saat awal menikah.

Tapi, harapan tinggallah harapan.
Kami melewati masa yang berat saat selepas saya melahirkan anak pertama, beruntung saya tidak sampai terkena baby blues.

Lalu akhirnya, hampir berpisah di usia pernikahan yang ke-5 tahun.
Dan terulang kembali di usia pernikahan yang ke-10 sekarang.

Orang bilang, bahwa usia pernikahan kelipatan 5 tahun itu adalah waktu yang berat dalam pernikahan, kebanyakan orang mengalami ujian di saat itu.

Tapi bagi saya, sesungguhnya, bukan karena itu.
Masalahnya adalah karena suami berubah, sejak pertama kali kami menikah.
Dan saya kesulitan mengubah diri menjadi orang lain.
Karena saya sudah terbentuk sejak kecil, kalau saya hanya bisa hidup dengan baik jika saya menjadi diri saya sendiri.

Begitulah..
Saya merasa tidak bahagia, dan dari yang namanya marah karena dibentak, berubah menjadi sedih, berubah menjadi kecewa, hingga entahlah.
Saya merasa nothing.
Mungkin illfeel or something.
Entahlah..

Saya tidak tahu, apakah saya merasa tidak bahagia, saya bahkan lupa seperti apa bahagia itu.
Saya lupa, mengapa saya dulu sampai jatuh cinta pada suami.
Entahlah.

Karena perasaan hampa itu, membuat saya selalu merasa tak punya semangat hidup, kadang menyesali mengapa saya harus punya anak 2, bahkan tidak jarang menyesali mengapa saya harus punya anak?
Mengapa saya yang berani menempuh kesendirian jauh dari keluarga di Jawa ini, membiarkan diri sendiri mempunyai anak, hanya agar terlihat 'normal' bagi orang lain?

Bahkan saya kadang menyesali.
Mengapa saya mau saja disetir perasaan harus membahagiakan keluarga, dengan saya harus menikah?


Yup, i know ini memang sedikit gila.
Tapi itulah yang saya rasakan.
Semacam tak punya semangat hidup, selain melihat kenyataan bahwa saya punya 2 orang anak yang tidak berdosa, yang selalu bersabdar dan berharap pada saya.

Karenanya, sudah bisa ditebak, saat saya sedang down, semua perasaan saya keluar dalam bentuk tulisan di status facebook, yang terbaca melas banget bagi semua orang yang membaca.

Lalu bermunculanlah, berbagai perhatian, atau mungkin sekadar kepo.
Yang 95% meyakinkan saya untuk mengejar kebahagiaan saya sendiri, alias menyarankan saya bercerai.
Hanya ada setidaknya 2 atau 3 orang yang menyemangati saya untuk bertahan, demi anak-anak.

Sahabat-sahabat yang meminta saya untuk menyerah saja ini, selalu menyemangati saya, bahwa saya harus percaya, bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan saya.
Saya pasti bisa membesarkan anak-anak sendiri.

Ah, seandainya semuanya sesederhana itu.


Mengapa wanita memilih bertahan meski pernikahannya tidak bahagia


Saya rasa, saya adalah satu dari banyaknya wanita berstatus istri di dunia ini yang seolah bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia.

Mama sayapun seperti itu.
Mama sudah sering berpikir untuk berpisah dengan bapak, sejak saya masih kecil.
Beliau capek kena bentakan terus.

Tapi toh, sampai sekarang.
Setelah bapak masih juga membentak mama, bahkan pernah terang-terangan ingin menikah lagi.
Toh mereka masih bersama.

WHY?


Sejak kecil saya selalu berdoa agar mama bercerai, sungguh pernikahan mereka bagaikan toxic!
Saya merasa sangat bahagia, justru saat bapak nggak ada di rumah, mamapun tenang karena bebas mau masak apa yang dia suka, bukan apa yang bapak suka.

Tapi, mengapa mereka nggak mau bercerai juga?
Padahal mama saya seorang PNS, bahkan saya dan kakak bisa kuliah karena gaji mama.
Bisa dikatakan, mama yang menghidupi kami semua, sementara bapak hanya 'kelihatan kerja' aja.

Beberapa tahun lalu saat saya sedang di rumah mama, saya iseng menanyakan kembali hal itu, dan mama menjawab,
"Kalau dari dulu mama nekat memaksa untuk cerai, mungkin kalian nggak akan jadi sarjana!"
Betul sekali.
Seandainya mama dan bapak cerai, siapa yang menjamin mama nggak akan menikah lagi?
Atau, kalaupun mama menikah lagi, siapa yang menjamin mama bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik.
Dan untuk apa mama harus bersusah payah menyekolahkan kami? sementara sesungguhnya sekolah anak itu seharusnya ditanggung ayahnya?

Pemikiran tersebut, semakin menguat.
Ketika akhirnya saya melihat keluarga yang bercerai.
Sekarang, hingga 4 tahun dia bercerai, hidupnya bahkan jauh lebih kacau dari saat dia menikah dulu.

Apakah saya takut hidup saya lebih kacau kalau saya bercerai?
TIDAK JUGA!
Saya hanya takut hidup anak-anak saya jadi kacau, anak-anak tanpa dosa itu.
Mereka sama sekali tidak pernah meminta lahir di dunia ini.
Sayalah yang meminta mereka lahir.
Lalu, saya pula yang mengacaukan hidup mereka?

Call me pengecut! whatever!
Tapi masa kecil saya terlalu complicated, sehingga saya semacam ketakutan selalu, jika anak-anak harus merasakan apa yang saya rasa.

Ya mungkin juga inilah yang terjadi pada kebanyakan wanita yang memilih bertahan, meskipun pernikahan mereka tidak bahagia.
Ketidak bahagiaan itu semakin bertambah, ketika mendengar nyinyiran orang lain, yang mengatakan,
"Rey, pernah nggak sih kamu memikirkan, bagaimana perasaan anak-anakmu melihat kamu tidak bahagia? atau mungkin suatu saat nanti saat mereka sudah mulai mengerti, dan membaca semua curahan hatimu melalui tulisanmu?"
 Saya kadang ingin ikutan bertanya,
"Pernah nggak sih kalian memikirkan, bagaimana perasaan saya melihat anak-anak sedih karena mami papinya tidak bisa bersama lagi?" 

Menurut saya, ada beberapa alasan, mengapa wanita memilih bertahan, meski pernikahannya tidak bahagia, yaitu :

1. Demi kebahagiaan anak memiliki keluarga yang lengkap.


Saya tidak tahu pasangan lain, tapi alasan saya mengapa masih tetap bertahan, meski sering merasa hampa adalah, karena papinya anak-anak masih peduli dengan anak-anaknya.
Dia akan mengambil alih tugas mengasuh anak saat dia di rumah.

Karenanya, kepulangannya selalu di nanti oleh anak-anaknya.
Dan betapa si kakak khususnya, begitu bahagia jika kami keluar bersama, bukan hanya saya dengan anak-anak.

Manalah mungkin saya tega merampas kebahagiaan anak seperti itu?


2. Saya berhak untuk bahagia, tapi bukan berarti dengan mengorbankan kebahagiaan anak


Selama masih ada alasan anak-anak bahagia melihat kami bersama, apapun akan saya lakukan untuk bertahan.


Iya, hidup hanya sekali, sebijaknya saya hidup dengan bahagia.
Tapi bukan berarti saya harus berbahagia di atas kesedihan anak-anak saya.


3. Belum ada jaminan masa depan anak akan lebih baik jika saya memilih berpisah


Mungkin ini yang bikin banyak suami melarang istrinya bekerja di luar, karena dengan istri tidak punya pemasukan, istri akan tetap bertahan demi masa depan anak-anak.

Meskipun rezeki dari Allah, kita harus yakin pada Allah, tapi bukan berarti hanya dengan keyakinan saja, tidak dibarengi dengan action.

Jika saya memilih berpisah sekarang, mau nggak mau saya kudu merelakan anak-anak kehilangan saya maupun papinya sementara.

Karena saya harus bekerja, siapa yang memastikan papinya akan terus menafkahi mereka?
karenanya saya akan lebih realistis lagi, dan tentunya akan mengorbankan anak-anak.


Pernikahan Tidak Bahagia, Bertahan Atau Bercerai?


Jujur, untuk saya pribadi amat sangat lelah menjalani pernikahan tidak bahagia, terlebih kalau semangat sudah mulai beranjak pergi.
Rasanya, tidak ada lagi semangat untuk hidup.

pilih bertahan atau bercerai?
Should i go?

Tapi balik lagi ke alasan mengapa saya bertahan, demi anak-anak, karenanya saya harus berjuang demi anak-anak.
Berjuang memperbaiki pernikahan, meski sumpah sulit banget, saat cinta entah menguap ke mana.

Lalu, apakah saya pro pasangan agar bertahan, tidak bercerai selamanya?
Not really!

Menurut saya, pasangan sebaiknya memilih bercerai jika,

1. Suami tidak lagi pernah ada untuk anak-anaknya.


Buat apa coba mempertahankan orang yang tidak ada seorangpun anaknya menantikannya?
Mending dadah babay dan berbahagia bersama anak-anaknya.

2. Suami KDRT dan tidak mau berobat


Saya masih tetap teguh pada pendirian, bahwa sesungguhnya tidak ada orang jahat di dunia ini, hanya saja sikon membuat beberapa orang jadi jahat.

Karenanya jika suami kasar, suka membentak, memaki bahkan memukul.
Selama suami menyadari kesalahannya dan berusaha berobat misal konseling dengan psikolog, maka layak dimaafkan.

Tapi, jika suami sudah KDRT, dan tidak merasa bersalah, LEAVE HIM!

3. Anak-anak menyarankan hal tersebut


Jika anak sudah lebih dewasa, melihat ibunya bersedih, maka jangan heran jika anak menyarankan agar ibunya berpisah saja, sama seperti saya di masa lalu.
Anak-anak seperti itu, karena mereka sudah mengerti, dan sudah lebih tabah menghadapi efeknya.



Yup.
Entahlah, kadang saya ingin menyesali mengapa saya tidak pergi dulu selagi bisa, karena sekarang saya merasa ingin pergi tapi kaki terpasung.

Saya jadi merasa seperti yang Kim Ji-Young rasakan.
"Kadang saya merasa bahagia saat melihat anak-anak senang ketemu papinya, namun di sisi lain saya sekaligus bersedih, karena saya tidak lagi melihat sebuah masa depan dalam hubungan kami, dan itu membuat saya hampa!"

Entahlah, yang jelas saat ini saya hanya bisa pasrah mengikuti aliran nasib, eh dan takdir juga sih.
Sampai Allah tunjukan ujungnya.
Entah mungkin saya bebas menempuh perjalanan sendiri, atau mungkin bebas karena kembali mencintai dan dicintai.

Entahlah, biarlah waktu yang akan menjawabnya.

Sidoarjo, 3 Januari 2020

@reyneraea

Sumber : pengalaman pribadi
Gambar : dokumen pribadi 

10 komentar :

  1. Hmmm, ternyata pernikahan bisa juga bisa membuat orang sengsara ya. Apalagi jika pasangan melakukan kdrt apalagi perselingkuhan.

    Tapi kadang demi anak, para istri memilih bertahan.😭

    BalasHapus
  2. Ya ampun, Mbak. Aku jadi ikutan sedih. Tapi aku tahu, Mbak Rey orangnya kuat, orangnya sabar. Semangat terus ya, Mbak Rey. Jaga hati tetep happy terus ya. Semoga Allah segera tumbuhkan kembali rasa cinta antara Mbak Rey dan suami. Aamiin.

    BalasHapus
  3. Aku termasuk yg lebih memilih cerai pas ex suami mulai kasar, ketahuan selingkuh dan cemburuan buta. Yg aku syukuri, ga ada anak di antara kami Krn wkt itu aku fokus kuliah. Tp kalo aku pikir ya Rey, seandainya saat itu aku punya anakpun, rasanya aku bakal ttp memilih cerai. Suami kasar, suka menuduh membabi buta hanya Krn cemburuan, dan sempet ketahuan selingkuh, buatku ga layak dipertahanin. G akan ada lagi rasa percaya utk laki2 begitu. Dan kalo percaya udh g ada, utk apa dipertahankan :(. Tapi aku ngerti, ga semua wanita sama. Ada yg memang memilih bertahan, dan aku salut. hanya saja semoga mereka2 itu tau kapan hrs berhenti utk mempertahankan sesuatu yg hanya menyakitkan diri sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahhh Mbaaaa, andai diriku bisa memiliki sedikit saja keteguhan Mba, keren ih Mba Fanny, badannya doang yang mungil, tapi pikiran dan ketegasannya besar.

      Tapi setuju banget Mba, sesungguhnya kalau kasar kenapa dipertahankan?

      Hapus
  4. BIG HUG Mbak Rey....

    Aku malah merasakan ketidak bahagiaan di awal-awal menikah sampai usia pernikahan masuk tahun ke-3. Allah maha melembutkan dan membolak balikkan hati, semoga Mbak Ray dan keluarga senantiasa harmonis ya...

    Coba duduk berdua, bicara sambil pegang tangan dan bertatap mata penuh kasih dan kelembutan. Tanpa emosi negative untuk selesaikan masalah.....

    Sned you bunch of love, Mbak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Awww... makasih banyak masukan dan doanya Mba say :*

      Hapus
  5. Hi mbaaaa :D

    Sendu sekali post kali ini, tapi saya tau mba itu sosok wanita yang kuat (especially untuk anak-anak) dan saya rasa, apapun keputusan mba pada hubungan mba dan keluarga mba, pasti kelak akan berbuah manis apabila dilakukan dengan landasan cinta pada anak-anak maupun keluarga :>

    Mba Rey, semoga meski nggak lagi menemukan cinta di 'sana', masih bisa menemukan cinta atau kebahagiaan di 'sini' ya, di blog ini~ hehehe. Jadikan blog ini sebagai sarana healing, dan mungkin support moril untuk mba menjalani hidup yang terkadang keras dan di luar kendali :D

    Semangat terus mbaaa, hugs.

    BalasHapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)