Culture Shock, Logat Dan Kebiasaan Sulawesi Pertama Kali Di Jawa

culture shock orang sulawesi pertama kali ke Jawa

Sharing By Rey - Culture shock, sesungguhnya tidak hanya dialami oleh antar bangsa saja, bahkan antar pulau di Indonesiapun pernah mengalaminya.

Seperti saya, mengalami culture shock yang lumayan bikin shock, saat pertama kali datang ke Jawa, 20 tahun lalu (ampun deh, udah lama banget!)

Tersebutlah 20 tahun lalu, saya datang pertama kali ke Surabaya, di antar oleh bapak dengan menumpang kapal Pelni dari Pelabuhan Murhum Bau-Bau.

Itu adalah pertama kalinya saya naik kapal Pelni, dan pertama kalinya saya meninggalkan pulau Buton, setelah sejak usia 5 tahun saya berada di pulau aspal tersebut.

Kami sempat transit alias kapalnya sandar di pelabuhan Makassar, sampai akhirnya meneruskan kembali perjalanan dan sampai di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

Dengan berbekal nasehat dari tante di Buton, kami akhirnya bisa sampai ke rumah om di kawasan perumahan AL dekat Kenjeran, Surabaya dengan menumpang sebuah taksi.


Culture Shock Logat Bicara


Culture shock dalam hal logat bicara mulai saya alami, sesaat setelah sampai di rumah om saya.
Tante saya orang Jawa asli, sementara om saya nggak ada di rumah, karena saat itu sedang menjalani pendidikan provost di Malang.

culture shock bahasa sulawesi di jawa

Beruntung, meski puluhan tahun om saya tinggal di Surabaya, dia masih sering keceplosan logat Buton, jadi sedikit-sedikit tante masih nyambung ngobrol dengan saya.

Ada beberapa hal yang bikin saya kagok maksimal saat pertama kali datang ke Surabaya, di antaranya, penggunaan kata 'nggak', saya sungguh tidak terbiasa dengan hal itu, kami selalu memakai kata 'tidak' atau 'nda' untuk 'nggak' tersebut.

Selain kata 'nggak' penggunaan kata 'aku' juga lumayan bikin lidah keseleo, saya terbiasa menggunakan kata 'saya' bahkan dalam logat Buton, kebanyakan orang menggunakan 'sa' (saya, tapi 'ya' nya jadi hilang, hahaha).
Kata 'aku' itu terdengar begitu menye-menye di telinga kami, semacam gaya-gayaan saja, padahal di Surabaya mah, itu biasa, justru 'saya' itu yang terlampau formal.

Hal lain yang bikin geli adalah,

  • 'Kita' artinya 'kamu' dalam versi sopan, orang Buton dan saya rasa hampir seluruh orang Sulawesi, selain Sulawesi Utara (kalau nggak salah) menggunakan kata tersebut untuk menyebut orang yang lebih tua, misal :
"Kakak, kita (kamu) mau makan sekarang?"
Bayangkan dalam bahasa Indonesia asli, orang mengira 'kita' tersebut adalah aku dan kamu, hahaha.

  • 'Iye' artinya 'iya' dalam versi sopan, misal, 
 "Iye (iya) Tante, sa (saya) mau pigi (pergi) sekarang"

Kebayang nggak sih saya ngobrol dengan tante saya, terus bilang 'iye', di mana 'iye' di Surabaya itu semacam mengejek, alias 'iyeeekk
Nggak heran, tante saya selalu membelalak setiap kali ngobrol sama saya, hahaha. 

  • 'Sebentar' artinya 'nanti' dalam versi biasa. Misal,
A : "Kapan mau berangkat?"
B : "Sebentar (nanti) sore dulu"
Ngomongin kata 'sebentar' ini, saya ada cerita lucu saat mudik naik kapal Pelni waktu masih kuliah dulu, saya ketemu dengan para mahasiswa dari Jogja dan cerita mengenai kekocakan hal tersebut.
Katanya, suatu hari si mahasiswa ini sedang berada di dalam kamar kosnya, teman kuliahnya yang notabene orang Jawa mengetuk pintunya,
Orang Jawa : "Ayo berangkat kampus sekarang yuk!"
Orang Sulawesi : "Sebentar saja dulu!"  
Lalu orang Jawa tersebut nunggu lama banget di luar kamarnya, sementara si orang Sulawesi tersebut malah tidur di kamarnya.
Karena bosan nunggu, digedorlah pintunya, dan protes kok lama? katanya sebentar?
'Sebentar' itu means 'nanti' temans, lolol

  • Penggunaan kata atau apa ya namanya dalam bahasa Indonesia yang seperti 'sih', 'loh', 'kok' . Di Buton ada yang namanya, 'mi', 'dan', 'ji', 'pi'. Misal,
"Dia masuk mi" artinya "Sudah masuk" (hati-hati ngobrol sama orang Sulawesi, kalau mereka bilang 'mi', doesn't mean itu Indomie yak, hahaha)
"Nda ji" artinya "Tidak kok"
 "Sini pi dulu" artinya "Sini dulu loh"
Daaann, masih banyak lagi.
Mostly orang Buton khususnya sebenarnya berbahasa Indonesia, meski banyak juga yang berbahasa daerah asli yaitu bahasa Wolio.

Sebenarnya, saya seharusnya bisa berbahasa Wolio, karena bapak saya kelahiran Lamangga, sebuah daerah yang berada tepat di bawah Kraton Buton, mungkin bisa dibilang daerah tersebut sebagai tempat para abdi dalem kalau di Jawa kali ya. 

Mama saya pun masih keturunan kesultanan, dengan gelar Waode.
Sayangnya, saya lahir di Minahasa, Sulawesi Utara.
Jadinya memang bahasa ibu atau bahasa pertama yang saya kenal ya bahasa Indonesia, meski dengan logat Minahasa alias kayak logat Manado gitu.

Bukan hanya penyesuaian saya mengganti logat Buton yang bikin saya kaget atau shock saat pertama kali ke Jawa, pun juga saya harus bisa menyesuaikan dengan bahasa Indonesia versi logat Jawa.

Mulai dari penggunaan 'nggak', mengganti 'saya' dengan 'aku', sampai memutar otak segera bekerja keras menelaah bahasa orang Surabaya yang mostly berbahasa Jawa, bahkan sudah pakai bahasa Indonesiapun, tetap terselip bahasa Jawa.

Seperti saat seorang teman kuliah menanyakan tentang ujian yang baru kami lewati,
"Rey, gimana tadi? kamu ngerjain kabeh soale?"
Okeh baiklah, saya kuliah teknik Sipil, bukan jurusan Keluarga Berencana (KB), hahahaha.
Yang ternyata, 'kabeh' artinya 'semua'.

Meskipun saya bersyukur karena saat pertama kali kuliah, sudah nggak sekagok saat pertama kali datang, karena saya sudah berdiam sekitar 3-4 bulan dan menjalani 1 bulan ikut bimbingan belajar sebelum akhirnya masuk kuliah.





Culture Shock Kebiasaan


Bukan hanya logat bicara yang bikin saya kaget alias mengalami semacam culture shock, meskipun mungkin lebih banyak ke soal makanan, atau beberapa kebiasaan lainnya.

culture shock kebiasaan orang sulawesi di jawa

Misal, di Buton kami terbiasa untuk bertindak begitu sopan kepada orang tua.
Terlihat dari perkataan di atas, seperti, 'kita', 'iye' dan semacamnya.

Bahkan se'slengek'an apapun anak-anak muda di sana, kalau lewat di depan orang tua, minimal membungkuk, tangan di kedepankan sambil mengucapkan 'tabe' atau 'tabik'.
Pun juga, saat ada orang tua sedang ngobrol, anak-anak dilarang berisik maupun ikutan nimbrung tanpa sopan.

Sementara di Surabaya? saya lihat teman-teman saya biasa saja tuh dengan orang tuanya.
Lewat di depan para orang-orang tua yang sedang duduk, ngeloyor begitu saja.

Meskipun kelebihannya di Surabaya saya mengenal yang namanya cium tangan alias 'salim'.
Di Buton mah, boro-boro, hahaha.

Selain itu, culture shock bagi saya terletak di makanan.
Di mana, makanan di Jawa kebanyakan manis, masaknya saja pakai gula bersendok-sendok.
Saya sama sekali belum pernah lihat mama masak pakai gula, kecuali memang kepedasan.

Pernah suatu hari, om saya kangen masakan Buton, dimintanyalah saya masak ikan khas Buton, dan dengan ilmu kira-kira ingat mama masak, saya masakin deh.
Setelah matang? sama tante saya diguyurin banyak gula, soalnya kecut katanya, hahaha.

Pun juga saat pertama kali lihat rawon, shock dong saya.
Seumur-umur tahunya masakan yang hitam itu ya cumi, tapi justru di Jawa cumi di masak tanpa tinta, hahaha.


Setidaknya, begitulah sedikit culture shock yang saya alami saat pertama kali datang ke Jawa, sebenarnya sih masih banyak hal lainnya, tapi entar kepanjangan dong tulisan saya, hahaha.

Kalau temans, pernah mengalami culture shock entah itu bahasa atau kebiasaan nggak? share yuk.

Sidoarjo, 29 Maret 2020

Reyne Raea

35 komentar :

  1. oh pantas saya agak ga yakin dibawah postingan sidoarjo kok kaya bukan orang jawa memperhatikan dengan gaya bahasa ternyata bukan jawa asli.

    Dulu saya pernah jadi anak kos, isinya dari berbagai daerah aceh, lampung, medan, bogor, cirebon

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha iya, saya asli Sulawesi, cuman udah lama di Jawa, namun kurang fasih berbahasa Jawa sih :D

      Hapus
  2. Mba Rey, saya ketawa baca ini. Paham banget mba. Soalnya dulu pas kuliah teman saya juga dari berbagai daerah.

    Dari cerita ini saya malah belajar bahasa dan budaya di Buton sana. Unik ya tiap daerah punya dialek dan budaya yang berbeda.

    Oia, meski saya orang Jawa tapi saya ga usah makanan manis, mba. Kecuali gudeg, bacem, dan kolak. Dan kalau masak cumi, saya suka banget yang hitam. Enak itu tintanya. Dicampurin ke nasi putih anget2, beuh. Kalau pak suami ga doyan cumi hitam, hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha kolak saya suka Mba, karena emang manis sih :D
      Nah bener kaaann, cumi hitam is da best, saya heran mengapa orang Jawa banyak yang nggak suka, padahal letak gurihnya cumi ya di situ :D

      Saya dulu kos isinya Jatim semua, di tahun pertama saya kuliah, saya sukses medok banget, tapi tetep sulit berbahasa Jawa, cuman logatnya aja terpengaruh teman lainnya.

      Setelah kerja, isi kosnya dari Sabang sampai Merauke, jadilah saya berbahasa Indonesia dengan formal hahaha

      Hapus
  3. Hahahahahhahaha.ngakak bgt aku baca artikel ini. ini bener buangetttt..

    Aku juga ngalamin culture shock saat 21 tahun lalu ke Jawa dari Kalimantan (beda setahun ya kita wkwkw)
    Di Kalimantan tempe bukan lauk tapi cemilan. Di sana tempe dijual di warung dan dibeli anak kost sebagai lauk. Juga kue macam risol jadi lauk juga hahaha. Tapisebagai anak kost yang baik dan niat hemat aku bisa menyesuaikan juga :)

    Belum lagi masalah gudeg. pertama makan eneg luar bisa, pdhal itu satu2nya sarapan yang dijual org ke kost... .sekarang suka kangen kalau lama gak ketemu gudeg Yogya..ya Allah segitunya

    Kalau bahasa Jawa, aku adaptasi dengan cepat. walau skrg sudah agak lupa beberapa bahasa Jawa hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh bener, dulu juga di Buton tempe buat camilan, tante saya sering bikin keringan tempe buat ngemil hahaha.
      Kalau mama saya digoreng biasa buat ngemil :D

      Kalau gudeg sampai sekarang saya kurang doyan, meski yang enak sekalipun :D

      Hapus
  4. Sa hendak komentar, tapi sa lagi bingung mau komentar apa, bentar ya sa pikir dulu.

    Jadi begini kan sa tu tukang ojek jadi pas lagi putar-putar cari orang di pasar tu saya dengar macam ada yang panggil sa, baru sa dengar dia pu suara ni macam tida asing lagi ni. Jadi sa sein kiri terus sa berhenti agak ke pinggir jalan sa coba toleh lihat ke tempat asal suara yang panggil sa tadi. Ternyata eh, sa pung torang yang panggil sa.

    Sa lalu parkir motor jalan menuju dia.

    Sementara pikir begitu baru dia tanya ke sa bilang, “jo ya?”

    Sa bilang, “tida, sa ada cari-cari orang ni.”

    Dia rada heran dia tanya lagi bilang sa cari orang untuk pa. Sa jawab agak malu-malu bilang, “sa ojek.”

    dia pi sambung lagi bilang, “kalau begitu kakak ojek saya pulang ke rumah, salah orang"

    Oalah, diamput.😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahahaha, bisaaaa aja.

      Btw di Buton nggak ada 'pu' adanya 'pe'
      "Dia pu suara"
      yang benar "dia pe suara"

      yang 'pu' itu kayaknya orang Ambon atau Irian :D

      Di sana juga nggak ada kakak, adanya kaka hahahaha

      Hapus
  5. beda ya,
    culture shock yang benar2 bikin shock

    BalasHapus
  6. saya yang org asli sini aja sempet culture shock jg malah mba, karena ortu org desa yg walo masih dlm satu propinsi tp bahasanya agak beda. Di rumah karena dari kecil terbiasa ngomong bahasa logat melayu, eh pas di sekolah pake bhs palembang. Pernah di setrap sm pak guru fisika waktu smp karena gak tau apa itu pipet (sedotan) sebutan org sini, yang bahasa ortunya "isapan". bukannya bingung sih, tp malu ala abegeh, ndeso bgt kyknya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha'isapan' lucu juga tuh :D

      Tapi betul ya, di luar Jawa itu bahasa daerah bejibun.
      Di Buton saja, jangankan 1 kecamatan, beda dusun aja bahasanya beda loh, dan bedanya itu jauuhhh banget.
      Mama saya kan dulu kerjanya di pelosok, jadinya menguasai banyak bahasa orang sana, lucu aja kalau dengar ngomongnya beda-beda hihihi

      Hapus
  7. Aku juga pernah

    Waktu pertama kali ke pulau jawa

    Cara org berpakaian orang2 di mall beda banget sama Padang
    ngomong logat jakarta jg saya dibilang kaku banget kayak anak padang

    dan nasinya pullen semuaaaa
    cabenya manis semuaaa

    hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha, di Padang cara berpakaian gimana ? ketutup yak? :D

      Iya ya, sambal pun manis hahahaha

      Hapus
  8. Sama Mbak.. waktu saya datang ke Kendari buat urusan pekerjaan, saya sempat bingung waktu orang sana ngomong “Iye..” haha saya kira apaan. Ternyata “Iye” adalah bahasa halus dari “Iya”.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha, iye itu paling sopan loh, yang biasa sih 'iyo' :D

      Hapus
  9. Wahhh, ternyata kakak ini sekampung sama Fildan.
    iyeee ��

    BalasHapus
  10. Haaahaaa...😂😂 Setiap daerah pasti punya cara sendiri dalam berbahasa....Istri saya orang minang lama dijakarta bisanya cuma bilang Iye, Ape, Kemane, Sama bahasa Sunda yang bisa dia, Karena kerja dibogor.😂😂😂 Makanya ibuku bilang istri kamu sudah jadi mojang sunda.😂😂



    Kalau aku sama lebih suka bilang Iye, Ape, Kemane...Ketimbang belajar bahasa Makasar. Kelamaan dijakarta.😂😂😂


    Makanya jodoh biar beda pulau, Intinya tetap cerminan diri sendiri......Saya beda pulau dengan istri tetapi sama2 tidak bisa bahasa daerahnya masing2...Kelamaan diJakarta...😂😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahahaha, banyak kok yang mudah beradaptasi ya, kalau saya hanya nggak fasih berbahasa Jawa, tapi ya tetep logat Jawa meski nggak medok :D

      Iye itu di Jakarta juga ada ya :D

      Hapus
  11. Saya orang jawa asli kak, tapi nggak suka masakan manis. Kalo saya masak pasti pedes semua, sampe anak2 nggak mau makan. Wkwkwk
    Btw, gak ngebayangin ya kak rey jauh banget dari orang tua sampe sekarang.
    Sehat terus ya kak rey dan anak2

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi, kangen ih masakan pedas, saya udah lama nggak masak pedas, soalnya masak buat di makan sama anak juga :D

      Iya nih, jauh banget, kalau mudik mihil :D

      Hapus
  12. Eeh ada yang lupa ...😂😂 kalau dilihat dari Peace Mak Rey itu wajahnya lebih Dominan ke orang Minang.


    Makanya mulai besok aku panggil Uni Rey Yaa...😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halah, bisa aje lu tong.😬

      Hapus
    2. Suuueee.. Luh Toongg!!..,🤪🤪🤪

      Hapus
    3. Hahahaha, kalau di foto mungkin, dulu saya malah dipikir orang NTT (kalau nggak berhijab), tapi kalau berjilbab memang jadi lain hahahaha

      Hapus
  13. hahaha.. lucu ya perbedaan bahasa. aku pun jadi ngebayangin kalo aku yang merantau ke daerah buton atau lainnya yang diluar pulau jawa.. pasti juga shock banget. entah bisa beradaptasi atau engga. terlebih soal makanan.. huhu.. maklum anaknya pilih-pilih kalo urusan makanan..

    btw, mba rey langsung bisa beradaptasi dengan menu2 orang jawa kah? hihi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau makanan di luar Jawa cenderung nggak manis sih :D
      Kalau saya cuman nggak doyan makanan manis, kecuali memang kudapan manis :D

      Hapus
  14. wes tak woco kabeh mbak rey :D

    hahaha jurusan kabeh yo, kadang kalo lagi di daerah asing memang ada bahasa yang mirip mirip di jawa, tapi artinya beda, seperti waktu aku ke Lombok. (tapi udah lupa kata apa waktu itu)

    waktu ke jawa tengah, orang semarang biasa menyebut bang jo bang jo, kirain ada abang-abang namanya jonatan atau sapa gitu, ternyata lampu merah hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, Jawa tengah lain lagi ya logatnya, tapi tetep saya nggak mudeng, karena mereka bahkan sering pakai bahasa Jowo alus :D

      Hapus
  15. Kalau beda suku memang bedanya banyak ya, Mbak Rey. Padahal sama-sama Jawa nya, aku yang asli Kediri masih menemukan beberapa beda bahasa saat merantau di Mojokerto dulu. Salah satunya kalau di Kediri kata 'pegel' artinya marah. Jadi kalau ada yang bilang 'pegel aku', otomatis aku minta maaf dan jadi lebih jaga sikap, takut kalau orang itu tambah marah sama aku. Kalau di Mojokerto, 'pegel' artinya capek. Jadi kaget juga pas aku gak salah apa-apa kok ada yang bilang pegel ke aku, ternyata pegel yang dimaksud dia lagi capek. Hehehe.

    Ngomong-ngomong, kalau di sini memang kata 'saya' terlalu formal, Mbak. Terlalu memberi jarak semu kepada yang diajak ngobrol, jadi pake 'aku' lebih aman. Kalau pengen lebih sopan pake kata 'kulo' dan disertai bahasa kromo sekalian.😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha, untungnya sih dulu waktu kuliah se kos dengan beragam Jowo.
      Ada Gresik, Malang, Mojokerto, Kediri, Nganjuk daaann macam-macam, jadinya saya udah agak paham perbedaannya :D

      Hapus
  16. Hahahahahah aku banyaaak mengalami iniiiii :D. Apalagi aku bbrp kali pindah Rey.

    Pertama pas dari Aceh pindah ke Medan. Itu cendrung shock Ama bahasa. Di Aceh yg agak halus ngomongnya, sama temen2 biasa pake kamu-aku, masuk ke Medan aku dibentak Krn manggil 'kamu'. 'apaa kamu-kamu. Pake KAU kalo manggil. Ini Medan lah' . Dibentak gitu aku kayak mau nangis hahahahhaha... Ucapan KAU itu kasar kalo buatku.

    Trus dari Medan ke Penang, wassalam, banyak banget istilah Melayu yg beda bertolak belakang Ama indo. Walo selintas bahasa mereka bisa aku mengerti, tp kalo teman udh bicara pake Slank nya Malaysia, matiiik lah itu hahahaha. Aku butuh 1 THN an utk bisa nangkep temenku ngomong secara cepet pake bahasa gaul Malaysia :p.supaya cepet bisa, aku tiap Minggu beli buku novel Malaysia, supaya istilah2 lokalnya aku bisa ngerti :p . Ada istilah yg aku ga tau, lgs tanya temen. Cthnya: bebaloi, Korang, utang lapuk dll. Aku pernah ditanya Ama org lokal pas kenalan, 'duduk Kat mana?'. Aku jwb 'hah, duduk di sini. Di mana lagi' . Wkwkwkwk ternyata duduk Kat mana itu mksdnya tinggal di mana hahahaha.


    Pas merantau ke JKT, masalah LG Ama bahasa hahahahah. Jawa ini memang beda snediri kayaknya yaa. Sama suami paling srg miskom. Pas pacaran, dia nanya mau dijemput jam berapa selesai mandinya. Aku jawab, 'aku udh siap mandi yaa'.

    Eh dia mikirnya, udah siap mandi itu, baru akan mandi. Siap untuk mandi :p.smntara maksudku, udah selesai mandiiii :p. Trus aku biasa nyebut es teh manis itu, MANDI ,singkatan dari manis dingin. Org Medan psti tau. Lah suami bingung, MANDI OPOOOO INI MAKSDNYA HAHAHAHAHAHAG...

    Lucu laah yg namanya culture shock ini :p. Sering bikin miskom. Tp selama masa adaptasi itu, bisa enjoy kok sbnrnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbaaa, itu bahasanya Upin Ipin beberapa mirip bahasa yang digunakan di Buton loh.

      Misak 'korang' di sana juga ada 'ko'orang' atau 'kamu orang'

      Atau 'bau' nyebutnya 'busuk'.

      Saya kalau nonton Upin Ipin, kadang kangen Buton hahaha

      Hapus
  17. Gw kok ngakak yah baca postingan mbak yang ini. Sebagai orang jawa, yang orang tuanya asli orang solo, gw terbiasa berbicara dengan bahsa jawa halus khas solo kalau di rumah.

    Kalau di rumah ya...

    Nah, berhubung gw tinggalnya di Banyumas, yang bahasanya ngapak, nggak ada itu bahasa halus-halusan. Semuanya ngoko dan ceplas-ceplos. Orang sering mengira kalo anak di daerah berbahasa ngapak itu suka ngomong kasar ke orang tua karena gak pake bahasa kromo (halus). Padahal dalam bahasa Banyumasan (ngapak), tidak ada jawa ngoko ataupun jawa kromo. Ngomong ke yang lebih muda atau yang tua semuanya sama, menggunakan bahasa ngoko. Jadi jawa khas Banyumasan itu mirip bahasa Indonesia karena gak punya tingkatan bahsa mirip bahasa jawa. Walopun kalo mau ditelaah, bahasanya ya jawa.

    BalasHapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)