Sudah Kerja Lama Nggak Punya Tabungan Banyak, Duitmu Ke Mana?

sudah lama kerja nggak ada tabungan

"Sudah banyak nih tabungannya, kan udah kerja!". Demikian kata mama, ketika pertama kali bisa mudik lebaran pakai uang gaji sendiri.

 "Tidak punya tabungan banyak, Ma! Tapi syukurlah bisa dipakai buat mudik!", saya menjelaskan dengan sedikit rasa 'nggak enak'.


"Makanya jangan boros! simpan uangmu, sudah kerja lama, tapi tidak punya tabungan, memang duitnya ke mana?"

Saya diam saja, meskipun mulut ini gatal ingin menjelaskan, bahwa memangnya saya di Surabaya tinggal di rumah yang dimodalin orang tua?.

********


Siapa nih yang pernah mengalami hal seperti di atas, udah kerja, tapi gaji hanya cukup untuk biaya hidup, bukan gaya hidup ya. Karena harus mandiri untuk semua hal.

Jangankan mama saya yang memang sejak dulu sangat hemat, banyak teman-teman yang notabene hidup di Surabaya, tinggal sama ortu, makan makanan ortu, nggak bingung dengan bayar kos setiap bulan.

Tapi bisa-bisanya mereka meng-klaim kalau saya boros makanya nggak bisa nabung.

Jujur ya, dibanding dengan pertanyaan 'kapan nikah?', pertanyaan 'punya tabungan berapa?' dan klaim sotoy bahwa saya boros adalah sebuah hal yang pengen bikin saya nabok mulutnya orang.

Apalagi kalau yang nanya dan komen itu, adalah orang yang nggak sepadan dengan kondisi saya.


Fakta yang Saya Tutupi, Dipaksa Mandiri dengan Ekstrim Setelah Lulus Kuliah

Well, meskipun bete berasa pengen nabok mulut orang yang sotoy mengatakan saya boros itu. Tapi akhirnya saya menyadari satu hal, bahwa orang-orang berpendapat seperti itu, karena branding diri saya sendiri.

Ada sebuah fakta, yang sebenarnya saya tutupi dari kebanyakan orang, dengan tujuan utama untuk melindungi hati sendiri.

I mean, jujur ya, terlahir sebagai anak tengah perempuan, dari kakak perempuan dan adik laki. Membuat saya tuh ibarat anak yang nggak diharapkan.

Jadi, semua kebutuhan saya tuh ibarat sesuatu yang bisa menjadi prioritas eh bahkan nggak bisa dibilang prioritas banget.

Dan jujur lagi ya, kenyataan itu bikin saya sedih bukan kepalang.

Untuk menghibur hati yang terluka, saya ciptakan sendiri sebuah kehidupan yang diciptakan dalam angan diri. Di mana, di kehidupan 'ilusi' tersebut, saya adalah anak seperti yang saya inginkan dari bagaimana ortu menyayangi saya. 

Salah satunya, saya menciptakan kehidupan ilusi, bahwa ortu, khususnya mama, amat menyayangi saya, dengan selalu memberikan yang terbaik untuk saya.

Dikuliahkan di kampus yang buat kami itu mahal. Meskipun jujur kampus tersebut masuk kategori sangat biasa ya. Tapi karena dimaklumi ya, sejak orok saya adalah anak yang tak pernah menyusahkan ortu dalam hal kebutuhan uang.

Sejak SD, SMP dan STM, saya bersekolah di sekolah negeri, yang SPPnya super murah meriah. Mama saya juga tak pernah mengeluarkan uang banyak untuk kehidupan saya, bahkan untuk kebutuhan pakaian dalam saya, mama seolah lupa kalau saya ini anak perempuan, butuh pakaian dalam lebih.

Apalagi uang banyak untuk sekolah.

Mungkin ini biasa aja ya, tapi saya membandingkan diri, dengan kakak yang sejak lulus SMP dia bahkan 2 kali test SPK dan itu harus bayar sogokan loh. Ortu harus mengeluarkan uang banyak untuk itu.

Sementara saya, kebutuhan diri dan pendidikan yang super murah, membuat ortu tak pernah pusing dan bingung untuk uangnya. Setidaknya nggak bikin bapak harus menjual tanah segala buat keperluan saya.

Karena itulah, ketika pertama kali kuliah dengan biaya jutaan, itu rasanya muahaaaaalll banget buat saya. Sayangnya, seperti biasa, mama saya cuman menghitung uang kuliah, dia lupa kalau anaknya ini butuh tempat tinggal dan makan di sini.

Dibiayain sih, meskipun, ah nggak tega nulisnya, takut menjadi kufur nikmat.

Tapi bukan itu masalah besarnya. 

Masalahnya adalah, ketika saya lulus kuliah, sejak saat itu lah ortu berhenti benar-benar dalam meng-support saya akan keuangan.

Ada beberapa kemungkinan sih, salah satunya karena mama nggak ikhlas saya menetap di Surabaya. Tapi saya juga nggak betah tinggal di Buton, tertekan mulu rasanya.

Karenanya, ketika saya jadi stres di Buton, mama membolehkan saya balik ke Surabaya, tapi benar-benar dilepas begitu saja.

Anak perempuan, nggak pernah punya pengalaman mencari uang, dilepas begitu saja. Nggak jual diri aja, udah Alhamdulillah banget.

It's oke sebenarnya sih ya, toh itu mungkin kesalahan saya, karena nggak nurut dengan keinginan mama saya. Tapi, yang jadi masalah udahlah dicuekin, tapi harapan ortu ke saya itu besarnya se-samudera Hindia.

Saya jadi merasa kayak gini.

Bayangkan, saya nggak mau ikut alur hidup yang ditentukan ortu yang pengennya saya berenang di sungai. Saya maunya berenang di lautan karena nyamannya di sana.

Mama yang marah, malah melempar saya begitu saja di lautan, terus dibiarin berbulan-bulan bahkan tahun berganti. Setelah akhirnya saya bisa berenang sendiri, dengan susah payah sampai hampir sekarat karena minum air garam kebanyakan. Eh mama datang, lengkap dengan harapan, saya bakal membawakan keluarga berlian sekapal.

Tidak masalah sih, masalah besarnya adalah... saya belum mampu, dan butuh bantuan ortu, setidaknya dikasih semangat dan dibantu dengan doa yang tulus dan ikhlas.

Boro-boro! Hidup saya susah betul, dan mama puas mengatakan.

"Makanya nurut sama ortu!"

Hmmm.... 

Itu sakit banget tau nggak! 

Tapi, memendam sakit itu, bukan keahlian saya. 

Karena itulah, saya berusaha untuk bisa menutup luka di hati, menghibur hati akan nasib semacam anak yang tidak diharapkan. Salah satunya, dengan menciptakan kehidupan ilusi, memamerkan pada dunia, betapa saya adalah anak kesayangan mama banget.

Kenyataannya? pret lah!

Saya kembali ke Surabaya setelah wisuda dan sempat pulang ke Buton tapi nggak betah. Sesampainya di Surabaya, kehidupan jadi amat sangat berat, karena ketika pulang ke Buton, semua barang waktu kos semasa kuliah itu telah saya bagikan ke teman-teman.

Beruntungnya, beberapa barang saya kasih ke si Kakak pacar. Jadi, barang itu lalu dikembalikan lagi ke saya, sebagai modal ngekos kembali.

Dengan sisa uang yang ada, saya cari kos di dekat rumah si Kakak pacar, lalu buru-buru bikin lamaran kerja sebanyak mungkin.

Kenyataannya, namanya juga nggak dapat restu ya, susaaaahhh banget dapat kerjaan, hingga setahun nganggur, nggak nemu kerjaan juga.

Lalu gimana biaya hidup?

Saya udah nggak punya uang sama sekali dong, untuk makan, si Kakak pacar yang ambilin makanan dari rumahnya. Untuk kos, si kakak pacar yang sampai rela berhutang dan menggadaikan motornya demi bayar kos saya.

Biar nggak malu-malu amat, saya cari cara agar bisa melakukan sesuatu membalas perbuatan si kakak pacar, salah satunya dengan mengerjakan skripsinya sampai kelar.

Saya yang ngajarin dia bahkan sampai sidangpun, saya yang ikut begadang mempersiapkannya.

Intinya hal-hal demikianlah, yang harus saya alami ketika lulus kuliah dan dipaksa mandiri dengan ekstrim.

Berat banget, ditambah beban hati yang sangat sedih karena ortu, khususnya mama sedemikian teganya sama saya.

Dan saya tidak tahan, untuk memendam rasa sakit, sehingga saya menciptakan ilusi bahwa mama selalu mendukung saya, memberikan modal untuk biaya hidup saya.

Maka demikianlah orang-orang berpikir, bahwa saya udah dibiayai ortu, eh nggak bisa nabung. Padahal, mana tuh dibiayainnya?


Setahun Nganggur dan Hidup Dalam Beban Berat, Akhirnya Dapat Kerjaan Dengan Gaji Minim

Setahun saya menjalani hidup yang berat, nggak ada uang sama sekali, makan pun berharap pada si pacar. Yang paling menyedihkan tuh pas puasa, untungnya ibu kos memberikan kami sahur setiap harinya, dan saya bergantung sepenuhnya pada makanan tersebut.

Waktu lebaran? saya terpaksa di kos saya, mengurung diri sendirian, karena mau keluarpun nggak ada duit. Untung ibu kos baik memberikan saya jajanan dan makanan.

Sampai akhirnya pas setahun mencari pekerjaan dan nganggur selepas wisuda, akhirnya saya bisa mendapatkan kerjaan di sebuah konsultan proyek drainase, dengan gaji di bawah UMR.

Kebayang nggak sih, saya bahkan nggak punya baju kerja, sepatu buat kerjapun udah rusak, saking setahun saya pakai melamar kerjaan ke sana ke mari.

Akhirnya bertahan dengan baju seadanya, meskipun malu banget bajunya itu-itu saja, mana ketat pulak. Tapi gimana lagi, setidaknya saya nggak perlu merepotkan si kakak pacar yang bingung harus cari duit gimana lagi buat bayarin kos saya.

Uang gaji yang nggak seberapa itu, saya pakai buat bayar kos, dan makan. Untungnya untuk transport si Kakak pacar yang usahain antar jemput saya, meski mengorbankan waktu kerjanya.


Akhirnya Gaji Naik Di Kerjaan Baru dan Bisa Mudik Dengan Gaji Sendiri

5-6 bulan kemudian, akhirnya saya dapat kerja di proyek pelebaran tol, dengan gaji lebih banyak dari sebelumnya itu.

Barulah di situ saya mulai bebenah diri. 

Membeli pakaian untuk kerja, pakaiannya pun seadanya, tapi emang dulu baju-baju itu mahal sih ya. Jadinya beli yang harga murah, tapi ketat.

Ketika bekerja di proyek, meski gaji di atas gaji sebelumnya, bukan berarti gajinya gede banget. Tapi setidaknya saya udah bisa 'bernafas' akan keuangan.

Nggak perlu lagi merepotkan si Kakak pacar, palingan sesekali aja dia antar jemput saya, itupun jarang karena dulu saya berangkat sama bos.

Dan di saat itulah saya bisa dapat THR lumayan, yang dipakai buat mudik lebaran sambil beliin oleh-oleh buat sekeluarga.

Di situ juga letak kesalahan saya ya. 

Saking malunya saya sama ortu, di mana saya udah cerita, bahwa saya bertahan setahun tanpa dibantu ortu sama sekali, karena punya pacar yang luar biasa. 

Dan ortu, yaitu mama diam saja dong.

Saya kan pengennya mama telpon kek, berterima kasih sama minimal si pacar atau ke ibunya yang sudah baik ke saya, anaknya.

Enggak dong!

Akhirnya saya bilang aja kalau oleh-oleh itu, dari si pacar dan keluarganya. Maksudnya biar memancing mama mengucapkan terima kasih, dengan nelpon kek.

Enggak juga dong.

Dan karena itulah juga mama berharap saya nggak beliin oleh-oleh, ya karena uangnya saya tabung.


Bagaimana Bisa Menabung?

Sejujurnya, ingin banget saya menjelaskan ke mama, bahwa bagaimana caranya saya menabung?.

Saya sudah menganggur selama setahunan di Surabaya tanpa bantuan ortu sama sekali. Saya butuh uang buat bayar kos, butuh uang buat makan, buta beli keperluan pribadi kayak sabun, odol, sikat gigi dan lainnya.

Saya bukan seperti kakak saya, yang akhirnya jadi PNS setelah berkali-kali test PNS dan menghabiskan uang ortu dalam jumlah yang sangat besar.

Dan saya juga tidak seperti kakak saya yang dibelikan motor, dibelikan rumah, sesekali dijenguk ortu, sambil membawa buanyaaaakkk banget oleh-oleh.

Kakak saya bisa irit nggak perlu beli beras, buah, sayuran dan banyak lagi. Karena dikasih ortu.

Bandingkan dengan saya, sejak selesai wisuda, ortu tak pernah lagi sibuk mengeluarkan uang sepeserpun untuk hidup saya.

Ortu tak pernah datang menjenguk saya, apalagi sampai bawa oleh-oleh yang bikin saya bisa irit atau berhemat beberapa bahan makanan.

Saya, mau makan pisang? YA BELI!

Mau buah? ya beli!

Sayur? ya beli!

Beras? ya beli!

Dan semua itu belinya pakai uang sendiri loh, bukan uang ortu.

Dan yang paling penting, saya hidup di kota besar, di mana apa-apa ya mahal, apa-apa ya butuh uang.

Saya tak pernah dikunjungi keluarga, kalau mau ketemu ortu? ya saya yang datang ke rumah ortu, dan semua itu? ya butuh uang yang nggak sedikit lah.

Bahkan sampai setelah menikah dan punya anak, target mudik itu selalu ada, yang bikin kami sama sekali nggak bisa menabung uang THR atau semacamnya.

Lalu, bisa-bisanya ortu dan orang lain mempertanyakan!

Sudah lama kerja nggak punya tabungan banyak? emang duitmu ke mana?

Tentu saja saya tabung lah!

Saya tuh menabung tiap bulan di ibu kos, menabung tiap hari di warung makan, menabung tiap bulan di kebutuhan bulanan.

Selain itu ya, saya cuman setahun kerja di proyek, setelah itu direkrut masuk ke sebuah perusahaan kontraktor. Gajinya? duh, kecil!.

I told you, nasib saya sejak dulu tuh nggak beruntung kalau masalah uang. Sehebat apapun saya bekerja, bahkan menganggap kalau perusahaan itu adalah punya saya, saking pedulinya. Nyatanya, gajinya ya kecil dengan kenaikan yang sangat minim setiap tahunnya.

Namun, saya sangat bersyukur, sekecil itu gaji saya, tapi mungkin karena job desc saya berasa kayak manajer perusahaan raksasa. Jadinya Allah mencukupkan semua kebutuhan saya.

Alhamdulillah, saya memang nggak pernah bisa nabung banyak ketika kerja. Tapi setidaknya saya nggak punya hutang, saya bisa bayar kos, makan, beli kebutuhan pribadi, beli motor meski dicicil.

Bayangkan, kakak saya dibeliin motor oleh ortu, saya beli sendiri, termasuk uang mukanya saya bayar sendiri.

Saya juga dulu bisa punya asuransi, setiap tahun bisa beliin oleh-oleh dan kirim ke ortu dan keluarga, kasih uang juga ke mama dan bapak.

Setiap 2 tahun sekali saya mudik.

Dan semua itu butuh uang woeeeee! 

Dan uang yang saya hasilkan dengan susah payah itu, dengan jalan terjal itu, karena saya tidak pernah benar-benar didukung 100% oleh ortu, bahkan didoakan sukses aja enggak.

Saya tahu hal ini, ketika mama sendiri yang bilang ke saya, kalau saya bakalan dapat doa ortu kalau nurut.

Ya Allaaaahhhh....

Setelah bertahun-tahun, saya akhirnya berani membuka cerita ini, berani menuangkan semua beban hati ke blog ini. Meskipun dengan pemicu karena bete ditanyain, kok nggak punya tabungan?.

Lah ini lemak di badan saya, nggak akan masuk dengan sendirinya kan?. Lemak itu terbentuk dari makanan, dan makanan itu dapatnya pakai uang.

Bisa-bisanya menyalahkan saya kalau nggak bisa nabung banyak.


Tak Akan Dendam

Meski akhirnya saya punya keberanian untuk mengeluarkan semua uneg-uneg, demi mengurai luka batin di hati saya. Tapi jujur saya tidak pernah merasa dendam kepada ortu.

Saya justru sebenarnya sering merasa kesal pada diri sendiri, mengapa kok nggak bisa sukses.

Namun, saya nggak bisa terima, kalau mama dan keluarga lainnya menyalahkan saya, kenapa kok saya nggak bisa sukses?

Kenapa kok saya nggak bisa punya gaji puluhan juta kayak anaknya tetangga onoh, tetangga inih!.

Mengapa bertanya ke saya? 

Mengapa mama nggak nanya ke dirinya sendiri?

Sudah seberapa besar dukungannya terhadap anaknya yang pergi dan memang tak pernah benar-benar  membebani mereka seberat kakak saya?

Dan juga, buat orang yang merasa saya boros makanya nggak bisa nabung, apalagi orang yang bilang gitu masih tinggal di rumah ortu, meski tetap bantuin ortu dengan kebutuhan harian ya.

Kuberi tahu pada kalian wahai anak yang belum tahu kehidupan mandiri sesungguhnya. Bayar kos, bayar makan, bayar ini itu sendiri di kota besar, tanpa restu ortu pulak, itu berat.

Nggak menjual diri aja, saya udah luar biasa loh.

Seharusnya ortu saya bangga, saya bisa bertahan. Nggak kayak banyak anak tetangga, yang pulang-pulang belum lulus kuliah tapi udah hamil.

Atau, nggak kayak anak tetangga onoh, yang katanya sukses, eh nyatanya jual diri.

Astagfirullah.

Pokoknya gitu dah, saya bete tauk dikatakan nggak bisa nabung karena boros. 

Padahal, coba sini, liat isi lemari saya, coba cari pakaian dengan harga di atas 100ribu, jarang banget! Tas saya, nanti punya anak baru bisa beli tas 200 reboan kalau ga salah. Dulu waktu single, tas termahal saya itu 50reboan loh.

Mau nabok orang nggak sih yang bilang saya boros itu!


Surabaya, 04 Maret 2024

2 komentar :

  1. Aku jadi ingat kemarin liat reels, yg intinya mempertanyakan hal sama, kok ga ada tabungan dah kerja lama. Tapi dibuat kocak, yg jadi tokoh utamanya kucing gendut gitu 😂. Dan dia jawab pake suara VO yg memang lucu. Kalo duitnya abislah buat makanan kucing yg mahal itu, buat keperluan pupup nya alias pasir dll, trus mainan dia yg ga murah juga hahahahah.

    Intinya memang, kalo ga bisa nabung bukan berarti boros tapi bisa jadi gaji yg ga sesuai dengan mahalnya harga barang2 di kota 😞

    Ya kali maksain nabung dengan kondisi begitu

    Salut rey 👏. Semoga semua jerih payahmu nanti bisa terbayar yaa 🤗

    BalasHapus
  2. aku pernah dapet kata-kata yang sama, kayak "makanya nabung bla bla bla", lahh dikata aku nggak save money apa, ya masa mau saving money bilang bilang juga
    salut sama perjuangan mba rey dari zaman dulu kuliah di surabaya, surabaya menurutku termasuk kota yang keras juga, aku seneng kalau liat ibu-ibu masih semangat kerja waktu papasan sama aku di surabaya, misal kayak pas bareng naik angkot disana.
    dan mba rey berjuang dari zaman masih muda bahkan sekarang menetap di surabaya dan terus semangat buat anak-anak.
    tiap orang punya caranya masing-masing buat nabung dan yang pasti mereka sendiri yang tau kebutuhan apa yang harus diutamakan dan berapa persen yang harus ditabung

    BalasHapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)