Membatasi Lingkungan Anak, Yay Or Nay

membatasi lingkungan anak

Sharing By Rey - Beberapa hari lalu, saya update status mengenai 'membatasi lingkungan anak' di facebook, hal tersebut terinspirasi dari status seorang teman facebook yang mengeluh anaknya sering mengalah sama temannya, sering dipukul, sering di bully sih kalau menurut saya.

Dan dia bingung, apa seharusnya mengajarkan anaknya untuk lebih keras, biar bisa melawan anak-anak yang lain.

Hal tersebut membuat saya membatin sendiri,
"Kalau saya mah gampang, ya jangan biarkan dia main ama temannya yang nakal itu, nggak punya teman? ya udah main di rumah saja sama mamanya"
Itu adalah pola pikir saya, yang mungkin tidak sesuai dengan berbagai teori parenting.
Well, saya bukan orang tua yang mau dengan mudah mengikuti plek ketiplek teori parenting, secaraaa.. saya sesungguhnya orang tua yang nggak mudah percayaan, lol.

Karena nggak mungkin saya mengutarakan hal tersebut di kolom komentar status facebooknya, kan nggak sopan banget ya..
Siapa elo Rey? Mau ngajarin anak orang, lol.

Jadinya saya memilih update status saja, itupun bukan untuk menyinggung teman tersebut, tapi menulis opini saya sendiri.


Dan ternyata, ada beberapa komentar teman-teman, ada yang pro dan ada sedikit yang kontra.
Saya senang sih dapat komentar seperti itu, karena sesungguhnya komentar kontra juga bisa jadi masukan ke saya.

Menurut saya, mengapa harus membatasi lingkungan anak?
Karena lingkungan zaman sekarang begitu menakutkan.
Serem banget, nggak usah di luar, lihat saja di medsos, anak-anak yang berkata kasar atau jorok, rasanya sudah biasa.

Merinding banget saya melihat kenyataan tersebut, tak henti berdoa, semoga anak-anak saya bisa melihat sikon kalau seandainya keceplosan kata-kata yang kurang sopan demikian.

Itu hanya sebatas ucapan, belum yang lainnya.
Duh apalah daya, saya hanya seorang ibu yang selalu sesungguhnya, meskipun percaya Allah bakal menjaga anak di luar sana, tapi tetap juga masih was-was (percaya apaan tuh, Rey?, lol)

Intinya, lingkungan di luar itu penuh dengan tantangan, dan saya rasa saya belum siap melepas anak begitu saja tanpa pondasi yang kuat pada anak, untuk memilah mana yang benar dan mana yang salah.


Membatasi Lingkungan Anak Versi Ibu Sarra Risman


Saat membaca komen teman-teman di status facebook saya, tiba-tiba saya teringat akan sebuah tulisan berbentuk thread yang di-posting di grup facebook Parenting With Rumah Keluarga Risman.

Selengkapnya bisa dilihat di sini

Atau biar lebih nyambung, saya kutip saja tulisan beliau di sini:

Semua rumah punya peraturannya masing-masing. Semua ibu punya caranya masing-masing dalam mengasuh, melindungi dan memelihara anaknya. Salah satu cara saya adalah tidak mengizinkan anak-anak saya bermain dengan anak-anak tetangga yang sebaya. Jangan salah paham, mereka HARUS kenal tetangga mereka dengan baik, menyapa, mampir jika perlu, dan lebih dari sekedar tahu.

Kakek ujung gang (7 rumah dari rumah kami) bertato di seluruh lengannya. Tapi dia yang sangat bertanggung jawab dengan gang kami, dia yang rajin menutup dan membuka portal setiap subuh dan malam hari, men-cat dinding-dinding yang rusak, membersihkan rumput-rumput ilalang yang tumbuh secara liar.

Sebelahnya adalah rumah Michael, mama Michael menikah dengan dosennya dan kini tinggal dengan mertuanya yang tidak begitu dia sukai. Michael sekarang lagi mogok sekolah karena disekolahkan terlalu dini oleh ibunya.

Sebelahnya lagi rumah Hanny, anak gadis kecil yang setiap hari di tinggal mamanya bekerja dan di jaga oleh pembantu dan Papa Hanny. Di usianya yang baru 1.5th itu, Hanny sudah punya adik! Sebelah rumah Hanny adalah rumah Mischka, yang orangtuanya masih tinggal dengan kakeknya.

Kakeknya yang setiap hari mengantarkan Mischka ke sekolah di salah satu TK islam dalam kompleks. Sebelah rumah Mischka adalah rumah bapak-bapak yang buka counter aksesories mobil di trade center setempat.

Sebelah rumah bapak itu adalah rumah pasangan tua yang tidak punya anak. Untuk meramaikan rumah mereka, mereka mengizinkan asisten rumah tangganya untuk membawa anaknya. Sebelah rumah nenek-kakek itu, rumah kami!

Seberang rumah Mischka, adalah rumah pasangan yang suaminya tidak bekerja, tapi istrinya bekerja sebagai perawat di panti werda tidak jauh dari kompleks kami.

Sebelah rumah itu adalah rumah pasangan muslim yang punya 2 anak laki-laki. Yang pertama usianya 1-2th di atas raia dan adiknya 1-2th di atas kaizan. Mereka sekolah di sekolah muhammadiyah kecamatan lain.

Sebelah rumah mereka, yaitu depan rumah kami, adalah gereja supeeeerrrrrrr gede. Gereja tersebut mempekerjakan 2 satpam untuk 2 shift yang berbeda. 1 adalah pak Abam yang asli Indonesia Timur dan Pak Hamid yang muslim. Pak Abam mengalami stroke setahun lalu dan berhasil menurunkan berat badannya berpuluh kilo.

Istrinya membuka warung kopi di rumahnya di sebelah sananya gereja. Selang 5 rumah dari rumah Pak Abam adalah rumah pak Wanto, ketua RT yang baik hati. Dia punya anak SMA yang di SMA nya pas mau idul adha kemarin di tagih uang qurban 100rb/anak. Pak Hamid sudah bekerja di gereja lebih lama dari pak Abam. Kami bukan saja tahu bahwa dia gak suka daging kambing, tapi kami juga tahu bahwa ketika cek kesehatan setelah hari raya lalu, tensi darahnya rendah.

Tidak perlu saya lanjutkan kan ya?

Saya mohon maaf semua jadi harus membaca tentang profil tetangga-tetangga saya dan kapan-kapan kalau berkesempatan bertemu anak-anak saya, silahkan cek sendiri pengetahuan mereka tentang orang-orang yang saya sebutkan diatas.

Saya hanya ingin memaparkan bahwa orang yang tidak ‘nenangga’ dan yang anak-anaknya tidak bermain bersama anak tetangga, bukan berarti mereka tidak mengenal tetangga mereka.

Untuk orang yang tidak ‘nenangga’, menurut saya ‘ilmu’ yang saya ketahui tentang tetangga-tetangga saya cukup memadai, cukup untuk berbasa-basi ketika kami bertemu, ngobrol sejenak dan bertegur sapa ketika kami harus mampir atau berpapasan ketika jalan pagi dan sore hari. Jika kelak anak-anak saya berumah sendiri, dan mereka mengenal tetangga-tetangga mereka seperti saya, menurut saya itu sudah lebih dari cukup.

Lalu kenapa saya nggak kasih mereka bermain dengan anak-anak sebaya nya di sekitar rumah? Karena kembali ke kalimat saya pertama saya diatas, bahwa masing-masing rumah punya cara pengasuhan yang berbeda dan saya tidak mau anak-anak terpengaruh dengan cara pengasuhan orang lain yang belum tentu cocok dengan mereka.

Anak-anak saya belum berada di usia di mana mereka sudah bisa memfilter yang mana yang baik dan yang buruk, mana yang boleh diikuti yang mana yang tidak, dan mereka juga belum bisa melindungi diri mereka dari pengaruh buruk secara verbal maupun fisik, dan saya tidak bisa, tidak mau dan tidak sanggup untuk terus menerus menemani, melindungi dan mencuci kembali otak mereka kalau memang terkontaminasi.

Pun saya temani, memangnya keberadaan saya bisa mencegah anak orang lain berkata kasar dan jorok? Belum tentu kan? Kalau sudah kadung dikatakan oleh temannya dan sudah kadung di dengar, bagaimana saya membalikkan waktu agar mereka gak dengar? Kalau itu adalah kata yang bisa saya jelaskan, okelah, kalau nggak?
membatasi pergaulan anak dari lingkungan yang buruk


Di grup-grup wa saya, ibu-ibu yang bertanya pertanyaan seputar hal ini saya berikan analogi tango. Iya, tango si wafer terkenal itu. tango yang terbuka bungkusnya, walaupun di taro di etalase toko mewah pun, tidak akan kita ambil, beli apalagi makan, karena bungkusnya yang terbuka memberikan peluang isinya untuk bisa terkontaminasi entah apa yang masuk.

Bisa semut, cicak, kecoa atau minimal bakteri dan virus. Dan semua ibu-ibu di grup saya sepakat mereka akan memilih tango yang tertutup rapat yang ada di got karena walaupun jorok dan kotor, tapi kita semua tau karena bungkus ter-seal dengan baik dan anti air, kuman dan kotoran di LUAR bungkus tidak bisa masuk ke dalam. Jadi tinggal cuci bersih luarnya, isinya bisa di makan seperti biasa.

Anak-anak saya layaknya tango yang belum tertutup rapat. Jika dilempar keluar rumah akan terkontaminasi dengan ‘kuman dan kotoran’ yang kemungkinan ada dan bertabur di l;uar sana. Dan seperti wafernya, kalau sudah kena kuman, bagaimana membersihkannya? Saya memilih untuk memastikan tango saya terbungkus rapi dulu, karena kalau sudah lewat proses ‘quality control’, mau terlempar ke got pun, isinya tidak terkontaminasi.

Jadi harus di kekep di rumah? Dimana-mana, proses pembungkusan ya di pabrik yang tertutup laaah. Dengan pekerja yang pake sarung tangan, masker muka, tutup kepala, mesin yang canggih dan mahal, dan yang mau ‘wisata ke pabrik’ harus by appointment, mengikuti rules pabrik yang ada, ga bisa sembarang masuk saja. Ada dress code dan limited access di sana. Dan tidak setiap proses bisa di lihat oleh semua.

Lalu bagaimana dengan sekolah? Kalau sekolah kan harus. Plus, karena mereka sekolah diatas usia 5.5th, jadi justru jadi ladang quality control saya untuk melihat bagian bungkusan mana yang masih bolong dan perlu di tambal. Membersihkan kontaminasi dari sekolah aja setengah mati, masa mau di tambah dengan imbas dari tetangga. Lagipula, bertetangga tidak perlu dengan bermain bersama kok. Buktinya tidak main bareng pun kami cukup mengenal tetangga kami dengan baik.

Saya pribadi menikmati proses pembungkusan ini, Alhamdulillah selama ini, teman-teman yang sudah bertemu dengan tango-tango saya tidak ada yang men-cap mereka tidak bisa bersosialisasi, dan anak-anak saya juga tidak mengeluh dan minta main bersama teman sebaya di seputaran tetangga karena mereka tahu kenapanya.

Di luar sana, air got nya sudah berupa setan berbentuk manusia. Kalau anda tidak setuju, tidak apa. Mungkin pabrik kita berbeda, mungkin wafer nya beda rasa, dengan level quality control yang juga tidak sama. Mungkin anak anda sudah bisa membedakan yang mana yang boleh di tiru dan yang mana yang hanya di lihat saja. Mungkin juga anda punya rinso pembersih otak anak yang saya tidak punya.
Cuma, karena anak anda adalah anak saya juga, saya berharap semoga sebelum anda melempar anak anda keluar rumah, minimal pastikan bungkusan wafer nya tertutup rapat pula.
#sarrarisman

**jika di rasa manfaat, silahkan membagikan artikel ini
***jgn khawatir, semua nama di artikel ini sudah di rubah untuk perlindungan identitas mereka.


Membatasi Lingkungan Anak Karena Pola Asuh Dan Goal Tiap Orang Tua Berbeda


Entah mengapa, membaca setiap kata yang ditulis oleh ibu Sarra Risman tersebut, seolah menyuarakan isi hati saya.

Iya, itulah mengapa lingkungan di luar itu begitu menakutkan, karena memang pola asuh dan goal tiap orang tua terhadap anaknya itu berbeda.

Ada yang goal utamanya adalah anak sholeh yang selalu berada di jalan Allah (kayak impian saya, insha Allah).
Ada pula yang goal utamanya kesuksesan dunia
Dan sebagainya.

Untuk mencapai goal tersebut, masing-masing tentunya menerapkan pola asuh yang berbeda dengan orang tua lainnya.
Itulah yang membuat lingkungan jadi beragam

Mungkin ada yang bilang, lah si kakak kan anak cowok, seharusnya dilepas sejak dini, biarkan dia praktek di luar.

membatasi pergaulan anak di dunia luar
Unsplash

Oh tidak!
Praktek itu mudah, pasti ada waktunya.
Namun pondasi yang kuat harus kita sebagai orang tua yang berkewajiban menanamkan kepada mereka, agar mereka bisa praktek dengan baik tanpa melupakan jati dirinya.

Saya jadi ingat, beberapa teman blogger yang pernah share tentang pendapat beberapa ustadz bahwa anak usia tertentu itu fitrahnya belum butuh bersosialisasi.

Well, mungkin salah satu alasannya ya karena memang anak usia tertentu yang masih labil, belum punya pendirian, terlebih belum banyak hal yang bisa ditanamkan oleh orang tuanya.

Apapun itu, sesungguhnya pola asuh tiap orang tua itu adalah HAK TIAP ORANG TUA.
Saya tidak merasa pola asuh yang saya anut adalah yang paling benar bagi semuanya, namun setidaknya itu yang paling benar buat saya.

Kalau ada yang menganggap pola asuh saya salah, ya sama seperti kata ibu Sarra Risman di atas, mungkin memang goal kita beda.
Dan tidak perlu dipaksakan, mana yang benar dan mana yang salah.

Kalau temans, gimana nih pola asuh terhadap anak, dalam hal membatasi lingkungannya?
Share dong :)

Sidoarjo, 11 September 2019

Reyne Raea untuk #RabuParenting

10 komentar :

  1. Saya tidak membatasi lingkungan Palung kala masih batita, tapi akibatnya buruk, dia sampai pernah dipukul anak lain yang lebih besar darinya beberapa yahun tanpa alasan yang jelas karena pola asuh orang tuanya mungkin kasar.
    Sedih saja dulu tiak melakuklan proteksi berlebihan terjadap lingkungan pergaulan di sekitar rumahnya. Karena antartetangga dekat. Tapi gitulah ada yang galak.
    Memang baik jika lingkungan pergaulan anak dibatasi tetapi jika tinggal di kampung itu akan sulit, apalagi jika anak sudah besar seperti Palung. Dia bermain dengan anak-anak di sekitar rumah, termasuk latihan silat. Yang bisa saya lakukan hanya menjaganya agar jangan ngeluyur jauh dan lama ke tempat yang bagi saya terasa berbahaya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waahh, terlalu juga tuh mba kalau sampai dipukul, kalau saya bakalan marah tuh nyari yang pukul, eh ortunya ding hahaha

      Sebenarnya juga faktor kondisi yang mendukung si kakak terbatasi lingkungannya.
      kami memang nggak punya tetangga kiri kanan, cuman kiri rumah, itupun mereka juga jarang keluar rumah, yang tetangga lainnya rumah kosong, depan sawah hahahaha.

      Hapus
  2. Walaupun saya belum jadi ibu (semoga bisa jadi ibu beberapa tahun ke depan), saya mengerti mba Rey yang membatasi anak karena mba Rey sayang sama anak dan gak mau anaknya terjerumus ke pergaulan yang salah atau pun di bully temannya. Orang tua saya juga membatasi saya, awalnya pas remaja saya nggak ngerti merasa orang tua gak sayang, tapi lama kelamaan saya sadar, saya itu ibarat permata bagi mereka yang harus mereka jaga dan sebagai anak pertama saya jadi andalan di keluarga:'(

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha, bener.
      Ortu mah meski kelelahan, kadang ga rela anaknya tumbuh besar terlalu cepat, takut nggak bisa dilarang keluar lagi, lalu tersakiti orang :)

      Hapus
  3. Saya juga gitu kok mbak. Sayanya aja gitu apalagi gaya parenting saya hahaha...

    Saya ga terlalu suka main ke tetangga, itu juga nular ke anak. Plus anak saya yang gede-gede dulunya kesundulan pas kecil, jadi mereka seperti ga butuh teman karena udah punya teman di rumah.

    Beda sama yg bontot ini, baru 2 tahun. Pinginnya dia main sama anak tetangga. Tapi qadarullah anak yang mau diajak main itu suka main gertak jadi anak saya yang mundur duluan, ga mau main bareng.

    Dilema sih tapi ya sudah. Biar dia main sama mas-masnya aja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. waahhh udah ada temennya si rumah, malah bagus sih ya, karena bisa jadi bonding buat sesama sodaranya :)

      Suatu saat nanti mereka bakal tumbuh besar dan bakal hidup masing2, dan bersyukur bisa menghabiskan masa kecil dengan bahagia bersama saudara-saudaranya :)

      Hapus
  4. Ikut curhat ya mbak Rey.
    Orang tua saya tinggal sama 2 keponakan saya, salah satunya (waktu itu) kelas 6 SD dan udah dikasih smartphone sama ibunya karena ibunya alias kakak saya ini kerja di luar kota.

    Waktu saya lagi mudik kerumah orang tua, saya iseng inspeksi whatsapp keponakan saya karena dia lebih deket sama saya dibandingkan ibunya. Betapa kagetnya saya... beberapa orang teman ponakan saya udah fasih berkata kasar dan ngomongin hal-hal 18+ padahal lulus SD aja belum. Bener-bener bikin darah saya mendidih...

    Terus saya langsung kirim WA ke mereka supaya belajar jaga omongannya dan agak saya ancam gitu... saya bilang "kalo nanti ketahuan ngomong kotor lagi, akan saya bawa masalah ini ke sekolah biar guru, kepala sekolah dan orangtua mereka tau kelakuan anaknya gimana" dan kayaknya ancaman saya ini manjur haha (sebelum ngancem ini, saya udah marahin ponakan sy duluan).
    soalnya selama beberapa hari saya pantau isi WA ponakan saya dan mereka gak pernah wa ponakan sy lagi.

    Awalnya sy sempat mengusulkan ponakan sy untuk masuk SMP dekat rumah aja, tapi setelah kejadian tersebut saya tau kalo ponakan sy dimasukan ke sekolah deket rumah pasti dia akan berteman sama temen2 SD nya yang g bener itu. Untungnya kakak sy berhasil memasukan ponakan sy di sekolah di kota dan terlepas dari anak-anak bandel itu.

    Yap, saya setuju dengan orang tua yang membatasi pergaulan anaknya karena anak-anak belum mampu memfilter mana yang baik dan buruk dan itulah tugas orang tua.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya Allah, kan jadi parno huhuhu.
      Btw keponakannya cewek atau cowok?
      Saya tuh deg-degan banget dengan hal-hal yang belum pantas anak ketahui sebenarnya, meskipun juga lebih realistis biar mempersiapkan diri saat itu tiba

      Hapus
  5. Aku batasi banget mb rey, jarang aku keluarin karena pasti emaknya lelah nyarinya, maen nya kemana²ðŸ¤£ðŸ¤£ðŸ¤£,,
    Tapi kalau ada anak tetangga maen kerumah hayuuk aja aku mempersilakan, karena aku lihat mereka lagi ngapain aja, jadi bisa kontrol🤭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah bener tuh, sayapun mba, paling males kalau udah magrib dan dia lupa pulang, duuhhh nyari ke mana-mana deh :D

      Hapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)