Haruskah Anak Dilarang Mencintai Sepak Bola?


Assalamu'alaikum :)

Sedih rasanya, mengingat kejadian tewasnya suporter bola baru-baru ini, meskipun sejujurnya saya gak tahu pasti masalahnya, gak tahu juga seperti apa kejadiannya.
Bukannya gak peduli, tapi saya takut lihat kejadian kayak gitu, bikin makin parno dan was-was lagi.
Terlebih, kejadian tersebut bersamaan dengan saya dan suami sepakat melarang si kakak ikut kegiatan ekstra di sekolahnya yaitu Futsal.


Baca juga : Dampak Nyata Dari Kehilangan Tahap Merangkak Pada Anak
Tenang, jangan bayangin kami melarang si kakak ikut futsal karena kejadian tersebut, meskipun sebenarnya parno gegara kejadian tersebut.
Kami melarang si kakak karena keseimbangan tubuh dan kemampuan dia untuk refleks saat jatuh sangat kurang, sehingga berulang kali terjatuh sampai merusak gigi depannya.
Dan dokter gigi Sp.KGA sudah sangat wanti-wanti agar gak boleh ada benturan lagi di giginya.

Mau gak mau, kami harus melarangnya ikut futsal, demi kebaikannya sendiri.

Dan, untuk itu gak mudah, meskipun dengan kekuatan egois mami semua bisa saja terjadi, saya hanya perlu bersikeras, POKOKNYA GAK BOLEH MAIN FUTSAL!
Namun sikap sedih si kakak beneran bikin saya jadi broken heart banget.
Dia memang (akhirnya) setuju gak main futsal dulu, tapi dengan mimik yang sangat sedih.
Lalu tiba-tiba saya sadar, segalak apapun bapak saya, beliau sama sekali gak pernah melarang kami, anak-anaknya untuk berprestasi dan melakukan hal positif apapun.

Melewati masa merangkak di masa bayi, membuatnya mengubur sementara hobinya terhadap bola


Seperti yang sudah pernah saya bahas sebelumnya, si kakak memang melewatkan tahapan merangkak waktu bayi, dan ternyata hal itu sangat merugikan baginya.
Dia jadi sering jatuh dan gak ada refleks sama sekali dalam melindungi dirinya saat jatuh.
Jatuh ya pasrah saja gitu, sungguh bikin maminya deg-degan selalu saat melepasnya bermain di luar.

Dan di tengah hal tersebut, ternyata si kakak tumbuh jadi anak yang suka banget dunia bola. Entahlah.. Mungkin saja si kakak hanya terpengaruh teman-temannya yang juga pecinta bola, namun sejak naik kelas 2 SD, fanatiknya terhadap sepak bola mulai terlihat.

Mulai dari suka membahas masalah bola, mengoleksi pernak pernik dunia bola, dan mulai mempertimbangkan siapa bintang sepak bola idolanya.
Salah satu tercermin saat dia minta baju bola yang diharuskan mencari kaos sepak bola milik timnas Indonesia yang berwarna putih.

Kamipun keliling di mall mencari kaos tersebut yang ternyata kaos sepak bola timnas Indonesia ukuran anak yang berwarna putih lebih sulit nemunya ketimbang kaos sepak bola timnas Indonesia berwarna merah.
Baca juga :  Paperless Di Sekolah Dasar, Tanggung Jawab dan Kebijakan Penggunaan Gadget Pada Anak
Setelah mengubek-ngubek mall, kami akhirnya menemukan sebuah konter yang menjual pakaian dan segala hal mengenai olahraga, termasuk kaos timnas Indonesia yang kami cari.

Sayangnya, ternyata kaos tersebut polosan alias gak ada nama salah satu timnas Indonesia.
Dan si penjualnya menawarkan untuk sablon nama pilihannya.
Sebagai mami yang ingin melihat anaknya bangga terhadap dirinya sendiri, saya mengusulkan agar si kakak menyablon namanya sendiri dengan nomor punggung pilihan sendiri di kaos tersebut.

Tapi ternyata ditolak mentah-mentah oleh si kakak, dia maunya punya kaos sepak bola yang ada namanya Evan Dimas, dan tentu saja maminya menolak.
Ya kali mengeluarkan uang (biaya sablonnya lumayan mahal), demi menulis namanya orang di kaos si kakak.
Rugi banget deh.
Nasib si kakak punya mami yang gak update dan gak punya idola timnas hahaha.

Dan ternyata keputusan saya tersebut benar adanya, selang beberapa waktu si kakak jadi sering jatuh (lagi) saat latihan futsal di sekolah, dan akhirnya dengan sedikit memaksa, saya mengusulkan agar si kakak mengganti kegiatan ekstranya sementara dengan Karate.

Mengapa memilih karate?
Saya berpikir, dengan karate dia diajarkan tentang kuda-kuda yang kuat agar bisa menopang tubuhnya dan dengan harapan bisa meminimaliskan kurangnya keseimbangan tubuhnya.
Pun ada banyak hal positif untuk dirinya sendiri dalam karate.

Meskipun sedih, si kakak akhirnya mengiyakan.
Dan meskipun maminya ikutan sedih melihat si kakak sedih, terpaksa harus tegar, toh juga demi kebaikan anak, dan saya berjanji, si kakak bisa kembali mengikuti futsal saat keseimbangannya sudah lebih baik.

Antara Sepak Bola Dan Fanatisme Suporter


Kembali membahas tentang kejadian menyedihkan yang terjadi beberapa hari lalu.
Seorang suporter Persija Jakarta, Haringga Sirila, tewas setelah dikeroyok suporter klub Persib Bandung.
Menurut info, sejauh ini, sudah ada 16 orang yang tewas akibat perselisihan antar pendukung klub sepakbola atau suporter sepak bola.

Tewasnya suporter tersebut membuat banyak ibu yang sedih, miris dan khawatir dengan anak-anak mereka.
Tidak terkecuali juga saya sebagai ibu yang anaknya mulai menunjukan fanatik terhadap idolanya di timnas.

Tapi, benarkah karena hal tersebut SEBAIKNYA KITA MELARANG ANAK MENGENAL SEPAK BOLA?
Saya pikir tidakan itu sangat berlebihan!

Karena percuma melarang atau tidak memperkenalkan anak terhadap bola, toh sepak bola masuk kurikulum sekolah anak, sekuat apapun melarang mereka mengenal bola, pada akhirnya mereka sendiri yang dipaksa mengenal sepak bola dari mata pelajaran olahraga.

Dan sehebat apapun kita melindungi anak dari fanatisme sepak bola, siapa yang bisa melindungi mereka dari ikut-ikutan temannya yang memang fanatik banget terhadap sepak bola?

KARENA SAYA SUDAH MERASAKAN, BAGAIMANA KERASNYA MELINDUNGI ANAK DARI DUNIA LUAR, UJUNG-UJUNGNYA PENGARUH DUNIA LUAR JUGA MERASUKI ANAK.

Lalu bagaimana dong caranya agar kita bisa melindungi anak dari hal-hal negatif seperti tewasnya seorang suporter bola yang sering terjadi?

Menurut saya, BUKAN BOLANYA YANG SALAH, tapi bonding anak dan orang tua yang kurang, sehingga kita gak bisa membentengi anak dari rasa fanatisme yang TERLALU BERLEBIHAN.

Itulah yang selalu saya bangun sekarang ini, seperti keputusan saya gak bolehin si kakak menuliskan nama Evan Dimas atau siapapun nama timnas favorit dia, karena saya ingin dia punya batasan tersendiri dalam fanatisme terhadap idolanya.
Idola apapun itu, entah itu pemain sepak bola, atau mungkin artis dan lainnya.

Saya ingin si kakak tumbuh jadi anak yang percaya diri, lebih mengidolakan dirinya sendiri.
Hal yang bisa dia lakukan terhadap idolanya adalah, menjadikannya sebagai CONTOH kesuksesan saja, tidak perlu menyanjungnya secara berlebihan.

Dan FANATIK terhadap hal yang baik, taat kepada Allah, cinta damai terhadap lingkungan sekitarnya adalah goal terbesar dari kami orang tuanya.

Apapun akan kami lakukan demi si kakak tumbuh jadi anak yang menggunakan fanatisme tersebut untuk hal yang baik.
Karena jika pipi kita luka kena cakar, bukan tangannya yang harus dipotong, tapi kukunya!

Jika zaman sekarang begitu banyak kejadian yang bikin kita sebagai orang tua jadi miris dan khawatir, misal kerusuhan suporter sepak bola yang sering terjadi.
Bukan berarti bolanya yang dihilangkan, TAPI SIKAP FANATISME-nya yang di manajemen dengan baik.

Sehingga, gak ada lagi kerusuhan-kerusuhan yang berakhir dengan korban seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.
Yang ada hanya suporter yang sportif seperti kaidah sepak bola itu yang sesungguhnya.

Demikian, semoga bisa jadi renungan dan mendatangkan hal manfaat buat kita dan anak-anak kita.

Sidoarjo, 29 September 2018

Wassalam

Reyne Raea

32 komentar :

  1. Aku dukung kakak Darell yang suka sepak bola. Tapi lebih baik kalo kaos bolanya pakai nama kakak Darell aja.

    Dulu aku suka sepakbola gara-gara teman SMP ngomonginnya sepakbola melulu. Pas SMK, senengnya cuma nonton futsal biar bisa dukung tim futsal sekolah plus lihat tim futsal dari sekolah lain. Hahahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi, iya te, kakak Darrell-nya malah pengen sablonin nama orang hehehe :D

      Hapus
  2. Wah, saya baru tahu,, ternyata melewati fase merangkak, berpengaruh besar terhadap perkembangan anak ya? Termasuk pada keseimbangannya. Wajib baca nih, artikel Mbak yang membahas tentang ini. Ada sepertinya tadi di atas iklannya 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener banget, seharusnya anak tidak melewati salah satu fase pertumbuhannya :)

      Hapus
  3. Mba sungguh kubaru taau efek dr kelewatkan tahao merangkak ya.. dulu pdhl smpt galau waktu anak blm merangkak dna berharao lgsg jakan ternyata alhamdulillah dikasih tahap merangkak dlu meskipun jadi ya jakannya agak lama dr temen2nya.

    Insya Allah pilihan yg terbauk yaa mba. Tgl berusaha ttp menyupport anak.

    BalasHapus
  4. syedihh dengan peristiwa kerusuhan suporter bola yang membuat hilangnya jiwa ..hiks!
    Kalau melarang sih enggak ya mungkin ke anak lebih ke pendekatan dan penanaman boleh tidaknya, baik buruknya...
    Setuju dengan ulasan di atas.
    Kalau anakku ikkut silat mbak..enggak ada karate di ekskul sekolah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, sedih sebenarnya mba, tapi demi kebaikannya sementara ikut ekstra lain aja dulu :)

      Hapus
  5. Tapi si sulung dan si bontot saya gak bisa merangkak loh...bkn krn saya paksa jalan tapi memamg mereka yg dr duduk,berdiri dan jalan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama mba, si sulung saya gak mau merangkak banget dulu, ternyata harus distimulasi mba :)

      Hapus
  6. Mbak, aylan waktu itu juga sempat aku kira bakal melewatkan tahap merangkak. Khawatir banget, tapi alhamdulillah ternyata enggak. I feel you mbak gimana rasanya.

    Tentang sepak bola aku enggak pernah mengajari anak-anak untuk membencinya, tapi aku ngajarin aja sih mana ma baik dan tidak baik. Mana yang boleh dan dan tidak boleh diikutin. Di luar itu itu hutan belantara, makannya kita harus betul-betul ngasih pegaangan ke anak2 kita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hiks sedih kalau ingat dunia luar, ingin rasanya selamanya bisa menjaga anak-anak ya :(

      Hapus
  7. krn fase merangkak emang melatih kekuatan kaki tangan y mba :) anakku kelamaan merangkak malah hahhaa..

    ngomongin sepak bola klo suami juga suka tapi tidak sefanatik yg diberitalah aku pun sbg ortu ga mau melarang mba sok aja bebaskan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar mba, anak saya gak merangkak sama sekali, jadi parah deh keseimbangannya :(

      Hapus
  8. Lingkungan terutama teman-teman berpengaruh yah mbak, sehingga fanatisme terbentuk. Tinggal bagaimana pendekatan persuasif orangtua dan orang dewasa agar fanatisme yang dihasilkan adalah positif

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar banget, sekarang seolah berlomba agar kita bisa lebih banyak menularkan hal positif ke anak ketimbang hal negatif yang dia terima dari luar

      Hapus
  9. sikap fanastisme itu sebenarnya bagus asal tidak berlebihan . perlu dibekali oleh orangtua apa manfaatnya datang ke stadion.

    BalasHapus
  10. Apa lagi setiap pertandingan sepak bola itu selalu dikaitkan dengan kerusuhan yang berakhir dengan kematian. Tragis nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal bukan salah bola yak, dia mah bulat bergelinding aja hahaha

      Hapus
  11. Wah berarti betul yah mba melewati fase gak ngerangkak itu berdampak besar nanti? kalau kita menegtahui pas fase jalan gitu apa yng harus ditindaki atau ditangani sebelum masuk ke fase anak-anak mba??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banget pengaruhnya mba, saya telat ketahuinya.
      Menurut teori, kita bisa lakukan stimulasi sndiri terlebih dahulu.
      Jika pada usia yang seharusnya bayi bisa merangkak dia belum mau merangkak :)

      Hapus
  12. seneng banget kalo liat anak-anak kecil yang cowok2 pada main bola, tapi keselnya mereka itu suka lupa waktu kalo udah main bola, hari udah sore pun masih asik aja main bola.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwkw, namanya anak2 mba, anak saya juga, main apa saja semua lupa waktu, bahkan baca buku juga hiks

      Hapus
  13. Iya ya Bun aku juga ngeri denger berita suporter berita sampai meninggak. Asa udah berkali-kali aku denger berita gitu. Kadang bikin aku nggak ngerti buat apa coba mereka sampai menghilangkan nyawa orang lain. Astagfirulloh generasi anak muda sekarang ya. Hahhhhh. Soal anaknya aku ikut sedih baca tulisan Bunda. Pasti orangtua dan anak sama-sama sedih. Tapi hampir kebanyakan anak laki-laku suka bola ya Bun. Jadi ketika kita terpaksa melarang kesukaannya. Ada perasaan teramat sedih di hati kita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banget bun, tapi setelah saya tanya berkali-kali, dia gak masalah kok pindah ekstra sementara, lagian dia juga suka karate, nanti setelah keseimbangannya terlatih, dia balik main bola lagi :D

      Hapus
  14. Yang berlebihan memang fansnya. Kalau olahraganya sebenernya ga salah apa-apa ya mbak. Mirisss.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba, sedih aja gitu yang disalahin olahraganya, apalagi sampai melarang anak main sepak bola

      Hapus
  15. aduuuuuh aku itu paling sebel soal ini mbak. mereka itu apa ya yang dipikirin... kadang sampe sawat2 kereta api juga.. terus gilanya sampe bunuh-bunuhan.. apa coba yang dikejar.. kesel deh...hehhehe maap kelepasan yak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banget say, banyak banget kejadian2 kayak gitu, bahkan di Sby juga kalau udah tanding persebaya, saya males keluar karena parno ama yang pakai baju ijo hahaha

      Hapus
  16. Anak pertamaku lagi demam bola nih, selalu nyebutin Persija and Persib. Sampai dia mau masuk club bola. Memang benar bukan bolanya yang salah, tapi kefanatikannya itu yang salah. Semoga kita bisa mengarahkan anak-anak ke arah yg benar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba, yang penting kita bisa mengajari mereka, bahwa ngefans boleh, fanatik jangan :D

      Hapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)