Ketika Orang Tua Berbeda Pola Asuh Terhadap Anak

Orang Tua Berbeda Pola Asuh Terhadap Anak

Sharing By Rey - Orang tua berbeda pola asuh itu sangat tidak baik buat perkembangan anak, biar kata menyekolahkan anak di sekolah terbaik dan termahal sekalipun.

Dan sedihnya, itu terjadi pada saya.
Pada anak-anak saya, huhuhu.
Oh ya, sebelum saya melanjutkan tulisan curcol ini, disclaimer dulu yak...
Bahwasanya tulisan ini murni hanya untuk sharing, saya tidak bertanggung jawab atas semua efek yang dirasakan pembaca, misal risih, atau gemes atau gimana, hehehe.

Iya, saya lagi sedih.
Ebentar, bukannya kamu memang sediihhh dan galau mulu, Rey?
Hahaha.

Saat menulis ini, saya teringat akan si kakak, udah 2 hari dia di rumah eyangnya.
Saya yang nyuruh ke sana sih, saking kesalnya atas kejadian Senin kemaren, huhuhu.


Ketika Beda Prinsip Menjalar Ke Beda Pola Asuh Orang Tua


Iya, saya tahu, memang hubungan saya dengan papinya anak-anak sudah nggak sehat sebenarnya.
Ada banyak banget jurang pemisah di antara kami.
Yang menyedihkan itu, saya jadi merasa tertipu olehnya.

Bayangin aja, selama pacaran 8 tahun, dia sama sekali nggak pernah menceritakan kalau dia pengen gini, pengen gitu.
Dia hanya mendengarkan semua keinginan saya, dan dia memilih setuju-setuju aja dengan hal tersebut.

Nyatanya?
Setelah menikah, semakin hari dia makin memaksakan kehendaknya dan prinsipnya, yang buat saya tuh amat sangat melampaui batas toleransi saya.

Tak perlu bertanya apa contohnya, intinya apa yang pernah saya tuliskan itu hanyalah dampak, tapi sesungguhnya ada banyak hal, yang bikin saya tuh risih serisih-risihnya, sehingga mau berdamai itu rasanya nggak bisa napas, hiks.

Meskipun demikian, sekuat tenaga saya mencari celah untuk berdamai, salah satunya tidak mau peduli hal-hal yang dia lakukan di luar sana, meski jujur hati kecil saya berteriak.
Tapi gimana dong, belum ada jalan keluar yang memungkinkan saya tempuh.

Dan mungkin melihat saya diam saja, makin hari tingkahnya makin parah.
Termasuk memaksakan kehendaknya, untuk punya cara tersendiri mendidik anak.

Orang Tua Berbeda Pola Asuh Terhadap Anak

Iya, saya sangat sadar, bahwa pola asuh saya sangatlah jauh dari kata sempurna.
Akan tetapi, saya selalu bisa mengenal di mana sisi kekurangan saya.
That's why saya selalu mencak-mencak kalau kami nggak ada komunikasi, kalau kami diam-diaman, karena hal itu amat sangat berdampak buat anak.

Selain itu, mengapa saya terkesan memaksakan pola asuh saya, dan meminta papinya anak-anak untuk lebih mengenal anaknya dulu sebelum menerapkan pola asuhnya.
Karena saya jauh lebih kenal anak-anak ketimbang dia.

Saya yang 24 jam bersama mereka.
Saya yang setia menderita demi mereka.
Saya yang melengkapi semua hal yang tidak disediakan oleh papinya, demi anak.

Lalu, papinya yang jarang di rumah, 2 minggu sekali pulang itu udah luar biasa.
Kadang sebulan baru pulang, dan hanya komunikasi 3 hari sekali itu udah luar biasa.

Dan ketika dia pulang?
Sejujurnya dia cerminan ayah yang baik.
Dia selalu mengambil alih anak-anak kalau di rumah, sayangnya dia pilih kasih.
Dia hanya begitu manis kepada si adik, dan terkesan mengabaikan si kakak.

Hasilnya?
Sudahlah si kakak muak dengan sikapnya yang kalau di rumah selalu bikin saya menangis.
Eh ketambahan kalau dia di rumah, adiknya nangis sedikit, langsung dia disalahkan.

Si kakak seketika berubah jadi anak pendendam, anak yang nggak nurut, dan sukanya cari perhatian ketika papinya di rumah.
Yang tentu saja itu menyulut kekesalan papinya, dan seketika dia menyiksa si kakak.

Seringnya, penyebab kami bertengkar dan dia pergi ya gara-gara itu.
Selain memang udah ada masalah besar yang selalu dia hindari kalau saya ajak ngobrol.
Pun juga saya selalu melindungi si kakak kalau disiksa papinya.

Saya juga kasar banget, omongan saya luar biasa tajam.
Dan terjadi saat saya depresi mengingat masalah saya dengan papinya anak-anak.

Makanya saya selalu ngotot mau menyelesaikan masalah, karena saya nggak tahan berlama-lama dalam tekanan perasaan, output-nya sangat buruk, terlebih saya kekurangan tidur dan sangat lelah mengurus 2 anak seorang diri, ketambahan kudu cari duit sendiri pula, hiks.

Tapi, di luar kekasaran saya terhadap anak, saya selalu segera istigfar dan meminta maaf kepada anak-anak, membiasakan mereka tidur tanpa beban, dengan saya selalu memeluk dan meminta maaf sebelum mereka tidur.

Sementara papinya?
That's why saya selalu terkesan mengatur dia, karena sikap dan karakter kita itu nggak bisa dipilah pilah. Dia terbiasa nggak pernah minta maaf ke saya, begitu juga terhadap anak-anak.
Itulah alasan saya selalu melindungi si kakak, ketika disiksa papinya.

Akan tetapi, tidak demikian dengan Senin kemarin.

Karena si adik ulang tahun di tanggal 2 Oktober lalu, saya berusaha keras agar berdamai biar kami nggak bertengkar lagi di momen ultah si adik.
Kebetulan papinya anak-anak mau pulang.

Orang Tua Berbeda Pola Asuh Terhadap Anak

Dan akhirnya dengan segala kesabaran yang saya paksakan, terjadilah juga masalah yang sering terjadi.
Si kakak amat sangat sulit dikasih tahu kalau ada papinya, udah gitu dia terkesan melawan.
Minggu malam, dia kesal karena saya dan papinya meminta dia untuk berhenti main dan segera tidur.

Si kakak tercukupi tidurnya itu bermanfaat banget buat saya, karena kalau enggak dia bakalan sulit banget dibangunin buat sholat Subuh.
Mulai dari nggak bangun-bangun, lalu dia merayap ke kamar mandi (beneran merayap sambil nangis), lalu wudhu sesukanya, kadang cuman cuci muka dan kumur-kumur saking ngantuknya, lalu dia sholat sambil tidur, kadang sujud sambil ngiler, huwaaaa...

Hal tersebut, saya saksikan di saat saya ngantuk berat, karena biasanya saya terbangun sejak tengah malam buat ngeblog dan mengerjakan kerjaan yang tertunda.

Setelah sholat tetep saja dia tidur, padahal dia ada jadwal ngaji di pukul 8 pagi, dan akhirnya saya tersulut emosi, saya marahin deh.

Dan ternyata?
Papinya ikutan sodara.
Dan reaksi si kakak?
Melawan lah, meski nggak langsung, tapi dia semacam menantang papinya.
Dan tentu saja papinya makin emosi, sampai diseret keluar, dan disiram air.

Saya menahan diri untuk tidak membela si kakak, karena kalau saya belain, saya pasti bakal berantem lagi sama papinya, hiks.
Dan ternyata hal itu malah bikin si kakak makin terlihat menantang.

Alhasil, ada orang lewat, masih penghuni di kompleks tersebut dong, kebetulan juga pagar terbuka.
Tuh orang, dengan pedenya langsung masuk, dan menegur papinya anak-anak, serta langsung memeluk si kakak daaaannn TANPA MASKER SODARAAAA!

Sumpah ya, kalau nggak ingat kebiasaan orang di sini yang memusuhi orang yang jarang kumpul kayak saya, mau saya semprot tuh bapak.
Udahlah asal masuk ke rumah orang, nggak pakai masker, peluk anaknya orang pula.

Boleh ngomong kasar nggak sih?
Suami istri saja tidak kompak dalam mendidik anak itu udah jadi hal yang salah dan bikin runyam.
Lah ini orang asing ujug-ujug datang dan belain si kakak.

Memang sih keadaan si kakak itu parah, dia basah kuyup dan telinganya merah dijewer papinya.
Sumpah ya.
Nggak bisa terlukiskan bagaimana sakit hati saya melihat anak yang saya lahirkan dengan susah payah.
Anak yang saya gadaikan hidup dan masa depan saya dalam kesengsaraan bertahan dengan pasangan toxic disiksa seperti itu.

Tapi saya mencoba bertahan, untuk menghindari pertengkaran.

Yang ada saya makin kesal karena orang lain ikutan masuk.
Dan apa yang bisa papinya lakukan?

DIAM SAJA!

Astagfirullaaaaahh..
Ada yang tahu lowongan kerja dengan gaji yang memadai nggak ya?
Saya mau kembali kerja dan memutuskan meninggalkan lelaki itu saat ini juga!

Orang Tua Berbeda Pola Asuh Terhadap Anak

Hidup bertiga dengan anak-anak rasanya jauh lebih damai.
Sayangnya saya nggak punya keberanian mengajak anak-anak hidup lebih prihatin karena saya belum punya pemasukan yang pasti untuk biaya hidup kami yang pasti.

Ah fokus Rey!

Sumpah, saya gregetan menahan diri menuliskan ini, menunggu hati saya tenang, nyatanya sampai saat ini juga masih sakit hati.

Bayangin, anaknya dipeluk orang tanpa masker, setidaknya bersikaplah bijak, minta maaf kalau buat keributan, dan mengingatkan orang tersebut UNTUK JAGA JARAK!!!

Saya masih pakai pakaian yang sangat mini saat itu, jadinya saya nggak berani keluar, karena itu bapak-bapak dong ya, masa iya saya berseksi ria di hadapannya?

Dan bukan hanya resiko Darrell tertular, tapi si kakak ibarat menemukan pelindung, dan makin menantang kami.

Sedih dan kecewa banget, hingga akhirnya saya meminta si kakak ke rumah eyangnya aja dulu, biar dia bisa memikirkan, bagaimana cinta saya terhadapnya.
Pun juga, agar si kakak nggak kena kekesalan saya atas sikap membangkangnya.

Dan begitulah, sampai hari ini saya nggak tahu kabar si kakak.
Bahkan saya nggak tahu pasti, apakah dia di rumah eyangnya atau di mana?

Boro-boro papinya ngabarin.
Dia tuh lebih suka selfie dan upload ke medsosnya, ketimbang sekadar berbagi kabar dengan keluarganya, hiks.


Menyikapi Anak-Anak Korban Pola Asuh Berbeda Dari Orang Tuanya


Tahu nggak sih?
Saya berusaha keras mensyukuri apa yang saya jalani saat ini.
Karena seberat apapun, saya yakin Allah nggak serta merta ngasih saya cobaan, kalau saya nggak mampu menghadapinya.

Tapi jujur, saya udah mulai merasa sangat menyesal punya anak.
Sedihnya lagi, saya sering keceplosan antara sadar nggak sadar ke anak-anak.

Saat saya super lelah dan ngantuk sementara anak-anak bertingkah.
Sebenarnya normal banget sih, mereka adalah lelaki, dan udah fitrahnya kalau anak itu memang suka belajar, termasuk belajar mempertahankan barang atau argumen masing-masing, dan menimbulkan efek berisik, berantem dan nangis.

Tapi, bagi ibu depresi, itu sulit dihadapi.

Sumpah, saya menyesal punya anak 2, apalagi punya anaknya ketika saya usia udah menjelang nggak produktif lagi.
(PLEASE JANGAN SURUH SAYA BERSYUKUR, KALAU PEMBACA MERASA PINTAR BERSYUKUR, SAAT INI DOAKAN SAJA SAYA, SAYA NGGAK BUTUH NASIHAT ORANG YANG NGGAK TAHU RASANYA DI POSISI INI!)

Kadang saya menyesal punya anak 2, lalu menyesali punya anak.
Bukan karena punya anak-anak seperti anak saya, tapi saya sedih merasa gagal memutus rantai pola asuh buruk terhadap anak-anak.

That's why saya menyesal.
Andai saya tahu, kalau hati manusia itu bisa berubah, saya memilih nggak mau punya anak, meski saya ingin.
Karena amat sangat sulit menjadikan anak-anak lebih baik, jika saya seorang diri yang berjuang. 

Saya jadi sering berpikir, andai anak-anak nggak ada, mungkin hati pasangan nggak akan berubah.
Saya sadar sih, dia begitu karena banyak hal, salah satunya karena dia merasa gagal dalam kehidupan.

Di mana di usianya yang sudah sangat tidak muda lagi, dan dia merasa gagal jadi orang sukses.
Di mana hal itu sudah saya peringatkan sejak awal menikah dulu.

Dan setelah 10 tahun menikah, karirnya makin redup, bukannya merenungi apa yang saya permasalahkan dulu, dia malah sibuk menyalahkan saya dan sibuk berulah sesukanya.

Orang Tua Berbeda Pola Asuh Terhadap Anak

Sementara saya?
Saya terlalu lelah untuk bisa memahami 1 orang lelaki dewasa yang lebih parah sikap childish-nya ketimbang anak kecil.  

Andai saya tahu dia bakal berubah seperti itu, saya nggak mau punya anak.
Atau setidaknya saya cukup punya anak 1 saja.
Jadi saya bisa lebih mandiri mencari uang, tanpa disibukan dengan mengurus bayi dan anak sekolah sambil kudu cari duit demi kebutuhan hidup.

Kadang saya berdoa, meminta dengan sedikit serakah kepada Allah.
Bolehkah menaruh saya di situasi pilihan?

Misal, punya pasangan sesuka hatinya kayak sekarang, tapi saya hidup berkecukupan.
Jadi, saya bakal menyibukan diri bermain dengan anak-anak sepanjang waktu, menjadikan anak-anak sebagai pelipur lara saya.

Sayangnya, hal itu belum mampu saya lakukan, karena saya juga kudu memikirkan besok beli listrik duit dari mana?
Kulkas kosong, saya harus masak apa dan duitnya dari mana?

Atau, tak mengapa hidup masih selalu kesulitan, tak mengapa saya harus tidur 2 jam setiap harinya, asal punya pasangan yang mau saling support dan bekerja sama dengan baik.

Huhuhu...Entahlah, mungkin dosa saya terhadap orang tua terlalu besar, sehingga saya membayarnya dengan kehidupan seperti sekarang, huhuhu.

Poin dari curhatan saya ini biar nggak terbaca curhatin masalah aib (bagi penilaian orang) aja adalah, agar mungkin suatu saat jika memang saya gagal menyembuhkan luka batin si kakak, dan si kakak tumbuh menjadi anak yang tersiksa luka batin, semoga tulisan ini bisa sedikit membantunya berdamai dengan lukanya.

Bahwa, apa yang terjadi padanya, mungkin memang kesalahan saya, yang sama sekali di luar batas kemampuan saya sebagai manusia.

Semoga si kakak bisa memaafkan masa kecilnya, dan memaafkan maminya ini.
Agar hidupnya bisa lebih damai.
Agar bisa memutus rantai pengasuhan yang buruk kepada anak-anaknya nanti, aamiin.

Dan juga, agar bisa diambil sisi positifnya buat pembaca, untuk setidaknya memikirkan hal-hal penting sebelum memiliki anak dengan cara:


Komunikasikan persetujuan pola asuh anak dengan pasangan, sebelum mempunyai anak


Serius.
Memiliki anak itu adalah pengorbanan seumur hidup.
Atau setidaknya, hingga anak kita dewasa, 

Kita wajib berkorban memaksa diri jadi malaikat, atau orang yang sempurna, agar output kita baik, dan dicontoh oleh anak.

Karenanya, samakan dulu visi misi polah asuh anak sebelum memutuskan punya anak.
Misal, bagaimana menyikapi anak yang nggak nurut?
Bagaimana mengasuh anak yang mulai membantah?
Dan sebagainya.

Di mana, sebenarnya sih nggak ada cara lain dari masalah anak membantah dan nggak nurut, selain ortunya intropeksi diri.
Terutama anak-anak kayak si kakak, yang sama sekali nggak pernah keluar rumah, otomatis semua tingkah lakunya adalah tanggung jawab orang tua.

Dalam hal si kakak, semua jadi tanggung jawab saya, karena kesehariannya mereka bersama saya.
Namun, bukan berarti hanya menyalahkan saya, tapi dikomunikasikan, mengapa saya nggak bisa sabar menghadapi anak-anak.

Dan jujur, saya kesulitan sabar menghadapi anak-anak, karena saya kurang tidur.
Apalagi kalau udah ada deadline kerjaan.

Di sisi lain, saya senang dan bersyukur karena setidaknya saya nggak kesulitan memikirkan keuangan untuk beberapa saat, tapi seiring itu mengikuti pula beban kerjaan yang jujur tidak semudah yang dilihat orang, nulis aja dibayar.


Komunikasikan peran langsung suami dan istri terhadap anak


Sebenarnya, sejak anak-anak lahir, even saya masih kerja dulu, peran saya terhadap anak-anak jauh lebih besar.

Bahkan, ketika si kakak masih bayi, saya tinggal di rumah mertua, bangun jam 3 setiap hari buat nyiapin perlengkapan si kakak bayi.
Pulang di waktu pas, karena nggak ada yang jagain si adik.
Sementara dia memilih kerja di luar kota.

Sampai akhirnya saya memilih resign dan akhirnya 24 jam bersama anak, hingga lahir anak kedua, kebanyakan saya yang urus.

Dengan porsi keterlibatan saya terhadap anak, seharusnya pasangan lebih bergantung kepada saya yang jauh lebih tahu tentang perkembangan anak, ketimbang dia yang bahkan nggak pernah pulang hingga 2-3 minggu dan seringnya tanpa kabar.

Karenanya, hal demikian ini wajib dibicarakan sebelum punya anak, bagaimana porsinya masing-masing terhadap anak.
Seharusnya sih sama.
Hanya saja mungkin keadaan beralasan lain.

Setidaknya, porsi terbesar dengan anak-anak yang jauh lebih menentukan pola asuh ketimbang yang jarang bersama anak.

Orang Tua Berbeda Pola Asuh Terhadap Anak

Demikianlah..
Saya udah ngantuk dan malas bercerita, hahaha.
Intinya, semoga suatu saat jika memang blog ini berusia panjang, si kakak bisa menemukan ini, dan bisa memahami apa yang terjadi.

Setidaknya bisa memaafkan maminya, yang masih selalu gagal menjadi ibu yang sabar, huhuhu.
Dan juga masih selalu gagal mengajak papinya untuk sama-sama menjadi orang tua yang baik buat anak-anak, dengan pola asuh yang lebih bijak, karena anak adalah cerminan orang tua.

Demikianlah, semoga pembaca bisa bijak mengambil hal yang positif, (jika memang ada), dan mengabaikan semuanya, jika memang nggak berfaedah.


Sidoarjo, 7 Oktober 2020

13 komentar :

  1. Mbak Rey, jujur aja hatiku campur aduk baca cerita mbak, aku sampe mau nangis loh, gimana mbak Rey yg menjalaninya, mbak Rey wanita kuat luar biasa, kalau aku ada di posisi mbak belum tentu aku sanggup.

    Semakin aku baca cerita mbak, semakin aku bersyukur, aku punya suami yg luar biasa sayang sama anak, apalagi selama pandemi ini dia full WFH dan aku tetap WFO, tiap malem kalo anak blm tdr dan aku udh ngantuk bgt, pasti dia yg mungguin/nidurin anak, karna bsknya aku harus ngantor.

    Aku ga ngebayangin gmn jd mbak Rey yg harus ngurus 2 orang anak sendiri, cari uang sendiri, punya suami tp bnr2 berjuang sendiri. Aku salut bgt sm kesabaran mbak Rey.

    Tetap semangat ya mbak, semoga si kakak juga bisa dpt perhatian yg sama ky adiknya dr papinya, semoga kakak ga punya luka batin.

    Mbak Rey ibu yg luar biasa hebat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tengkiu Meta, jadi tersipu dibilang sabar, sebenarnya saya malah masih berjuang untuk bisa sabar.
      Meski jujur bener banget.
      Ini berat, tapi saya belom bisa liat jalan keluarnya :(

      Iya say, senangnya ya kalau punya pasangan yang kompak, banyak hal yang berat di masa pandemi ini, tapi semua bisa teratasi dengan baik, karena kompak :)

      Hapus
  2. Assalamu'alaikum. Mbak Rey, saya follower baru dan langsung terhenyak membaca postingan yang ini. Saya mau coba ceritakan pengalaman bahwa saya dulu ada diposisi si kakak. Mungkin tidak sama persis karena pola asuh yang 'berbeda' justru datang dari ibu saya. Ada jurang ketidakadilan antara perlakuan beliau terhadap saya dan adik serta banyak hal lain yang tidak bisa saya sebutkan di sini. Salah satu penyebab terbesarnya justru karena saya dititipkan pada Oma sejak lahir hingga usia 3 tahunan sebagai amanat almarhum engkong sebelum tiada.

    Namun karena pendekatan dan kelembutan hati ayah saya, Alhamdulillah damagenya ke saya (menurut saya dan hasil curhat ke beberapa teman yang kuliah di fakultas psikologi) tidak terlalu besar. Ayah saya selalu berupaya merangkul saya dan mencoba menjembatani antara saya dan ibu. Saat ini setelah punya anak, hubungan saya dengan ibu dan anak saya lumayan harmonis tanpa terbayang masa lalu. hehehe

    Saya tidak berani berkomentar mengenai hubungan antara mbak dengan suami, tapi saya berani memohon kepada mbak, dalam keadaan apapun tolong jangan jauhkan si kakak dari mbak sendiri. Satu-satunya sosok orangtua yang bisa dia percayai dan bisa merangkulnya dengan kasih sayang.


    Salam kenal dan saya doakan mbak sekeluarga selalu semangat dan dilimpahi rahmat olehNya. Aamin YRA

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikum salam Mba Annisa.
      Masha Allah, terimakasih atas sharingnya.
      Apa yang Mba Annisa alami itu, mirip dengan kakak saya.
      Bedanya, dia disuruh ikut tante saya di saat kelas 6 SD.

      Sampai sekarang, sulit banget dia bisa menyatu dengan mama saya.
      Ditambah mama saya bukanlah seseorang yang pandai mengambil hati anak.

      Dan sejujurnya, salah satu alasan mengapa saya bertahan, meski hubungan saya terasa amat toxic, ya karena melihat hal tersebut.

      Si kakak nggak saya tinggalin kok, sengaja saya minta ke sana biar saya nggak emosi ke dia.
      Tapi seminggu aja dia balik lagi, biar gimanapun nggak ada yang bisa merawat anak-anak saya selain saya sendiri.

      Mungkin seminggu ini dia akan baik-baik saja di sana, karena memang di sana ada temannya, dan dia juga udah lama nggak keluar rumah sejak pandemi ini.

      Saya rasa juga baik untuk dia.
      Meskipun ya sekolah dan jadwalnya jadi korban.
      Tapi tak mengapa lah, hanya seminggu aja.

      Btw, makasih banyak ya udah mau membaca dan memberikan sharing yang berarti buat saya :)

      Hapus
  3. Mbaaaaaaa 🤧🤧🤧🤧

    Semangat selalu mba, saya sampai nggak bisa berkata apa-apa. Speechless baca ceritanya. It must be hard ~ nggak ada yang bisa saya ucap selain mba Rey semoga bisa tetap semangat jalani hidup yang mba punya dan berlapang dada serta terus berusaha. One day, kebahagiaan itu akan datang untuk mba 💕 eniho, reach me anytime mba need helps yah. I'm ready 24 hours. That's all I can do now hehehehe. Fighting, mba 😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banyak kesayangan, makasih nggak pernah bosan membaca cerita saya hiks.
      Iya say, terasa berat, doakan semoga ada jalan keluar.
      Tengkiu sooo much yaaa :*

      Hapus
  4. Saya tidak bisa banyak berkomentar, cuma mau bilang, tolong jangan terlalu keras sama kakak, karena anak biasanya rewel dan membangkang orang tua karena ia tidak merasa nyaman.

    Itu saja sih, ngga mau komentar banyak soalnya saya juga banyak kekurangan.

    BalasHapus
  5. point terakhir yang dibilang mbak rey soal pola asuh anak, aku noted dulu ketika nanti sudah berpasangan, dan sepertinya memang perlu juga didiskusikan ya
    semoga cepet menemukan jalan keluar yang terbaik ya "pelukjauh"

    BalasHapus
  6. *sendingavirtualhug 🤗.

    Sedih banget sbnrnya baca ini Rey. Aku ngerti kenapa si Kaka malah jadi melawan. Apalagi di umurnya skr, dia udah bisa ngerasain perlakuan adil ato ga, keras ato ga dari ortunya :(.

    Aku ga bisa komentar lagi ttg si pak suami :(. Cuma bisa doain, semoga yg di Atas berkenan banget untuk melembutkan hatinya, menyadarkan dia kalo istri dan anak2nya di rumah masih ada dan butuh support juga, bukan malah dibiarkan sendiri...

    Keep fighting, keep praying Rey. Cuma Tuhan yg bisa membolak balik hati manusia. Semangat yaaa, dan semoga rezeki mu terbuka untuk bisa nemuin kerjaan yg cocok nantinya

    BalasHapus
  7. Hallo mbak Rey, apa kabar, semoga selalu sehat dan bahagia. Saya ikut senang mendengar kata papinya anak - anak datang dan ada bagian, saya menahan diri supaya tidak berantam sama papinya. Saya senang sekaligus salut dengan kedewsaan dan jika tentunya kesabaran, ibu mana si yang tega melihat anaknya .... walau itu dengan ... sendiri. Namun di sini menjadi jelas bahwa kedewasaan setelah melalui proses panjang dan melelahkan itu memberi banyak pelajaran hidup ke mbak Rey.

    Nah di bagian ... diseret keluar dan disiram dengan air, ya saya bukan ka Seto dan saya pun orang Indonesia timur yang memiliki darah yang cukup panas, tetapi saya mempercayai satu hal, kekerasan pada anak tidak akan membuat anak itu menjadi lebih baik.

    Sedikit sharing mbak Rey, saya mengajar di Jakarta dan tempat di mana saya mengajar, cuma saya manusia yang hitam dan kriting sendiri, yang lain semuanya mulus (CNA) semua, jujur sulit sekali diatur karena alat ukurnya adalah uang, tetapi melalui pendekatan persuasif (biacara dari hati ke hati), respon yang saya dapatkan ialah "iya beh" manut. Saya tidak perlu teriak, cukup menjadi pendengar dan mengiring pelan - pelan. Mungkin anak seusia si kaka (SD) barangkali berbeda pola asuhnya, namun saya percaya kekerasan pada anak tidak akan membuat anak itu menjadi lebih baik.

    Sorry mbak Rey, tidak mengajari. Oh ya, kekonsistenan mbak Rey dalam blog patut diacungkan jempol.

    BalasHapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)