Melepas mental korban? apaan tuh?. Simak cerita berikut!.
Waktu sudah menunjukan pukul 23.50 malam, demikian jam yang tertera di dinding, ketika saya lewat sambil mengepel lantai yang terasa penuh debu.
Sedikit rasa panik menghinggapi pikiran, mengingat besok saya harus bangun lebih pagi untuk masak sarapan dan bekal kami.
"Duh, udah jam segini, belum masak nasi, belum cuci piring, entar tidur jam berapa nih? padahal besok wajib bangun sebelum subuh!"
Saya mempercepat kegiatan mengepel lantai menyadari bahwa malam semakin larut. Ketika itulah saya sampai di depan kamar, dan samar-samar terdengar suara ngorok papinya anak-anak.
Ketika mengintip ke kamar, terlihatlah, betapa damainya mereka semua tidur dengan lelap. Semacam tak punya beban pikiran, meski besok ada kegiatan penting.
Lalu, kembali melihat jam di dinding, dan menyadari bahwa masih ada beberapa hal yang harus saya selesaikan, sebelum tiba waktu tidur.
Ketika hendak bergerak, tiba-tiba saya ingin menangis. Merasa kok saya berasa kek pembantu nggak sih. Semua kewajiban harus ditanggung sendiri, anak-anak dan papinya tahu beres saja.
Iya gitu kalau papinya benar-benar bertanggung jawab akan hal-hal di luar masalah rumah, gitu. Nyatanya kan kadang saya juga harus ikutan dalam kewajibannya.
Sementara untuk pekerjaan rumah, kok harus saya semua yang ngerjakan. Kalaupun dibantu, semuanya malah memberatkan saya, bukannya meringankan.
Lalu tiba-tiba berpikir, alangkah enaknya ya jadi laki-laki atau suami. Bahkan berpikir alangkah enaknya jadi anak-anak, nggak perlu banyak mikir dan bertanggung jawab atas semua hal.
********************************************
Saya pikir, kondisi di atas sering terjadi di kehidupan masyarakat, dan saya bukanlah satu-satunya yang mengalami.
Selalu menganggap, kalau kondisi yang dibuat sendiri itu, adalah sebuah kondisi yang menjadikan saya sebagai korban.
Sehingga, seharusnya di momen tersebut saya bahagia, melihat bagaimana anak-anak dan suami bisa tidur nyenyak tanpa ribet mikirin keriewehan esok hari, karena saya.
Betapa beruntungnya saya, bahwa menjadi seseorang yang sangat diandalkan anak-anak dan suami. Apakah ada yang lebih membahagiakan, dari hal menyadari betapa kita sangat dibutuhkan oleh orang-orang tercinta kita?.
Harusnya kan gitu ya mikirnya, tapi enggak! kalah oleh pikiran, jadinya ngomel sampai nangis-nangis kecapekan, hahaha.
Apa itu Mental Korban
Mental korban biasa disebut dengan Victim Mentality adalah sebuah sikap atau pola pikir dari seseorang, di mana selalu merasa atau melihat dirinya sebagai korban dari sebuah kondisi atau tindakannya sendiri.
Alih-alih berpikir positif, yang ada si 'mental korban' ini cenderung berpikiran negatif, menyalahkan orang lain bahkan keadaan. Hingga akhirnya merasa putus asa akan tindakannya sendiri.
Orang-orang yang punya mental korban ini, biasanya berkembang dan erat hubungannya dengan playing victim. Saking sering merasa jadi korban, bahkan tidak jadi korban beneran pun, merasa jadi korban, hehehe.
Ketika Mental Korban Mencuri Kebahagiaan Saya
Anyway, saya membahas hal ini, tentu saja terinpirasi dari diri sendiri. Dan tahu nggak, bahkan diri saya baru merasa seperti, 'kayaknya selama ini saya terlalu memanjakan diri sebagai mental korban deh'.
Atau mungkin juga, mengubah pola pikir hingga menemukan penyebab ketidak bahagiaan saya.
Tapi beneran sih, setelah banyak menulis, lalu seringnya dibaca kembali, sedikit demi sedikit, saya mulai bisa mengurai apa-apa yang kusut di dalam pikiran saya.
Dan dari situlah, saya mulai mendeteksi, apa sih penyebab dari masalah saya. Terlebih setelah menyadari, sebesar apapun masalah saya, ujungnya bakalan berlalu kok, hahaha.
Kayak masalah saya dengan papinya anak-anak, setelah dipikir-pikir, sebenarnya ya nggak perlu terlalu dibesar-besarkan.
I mean, bener kata orang-orang, yang namanya masalah rumah tangga, selama masalahnya bukan selingkuh berulang, judi, kasarnya mengerikan, insya Allah kita masih sangat beruntung mendapatkan pasangan yang lebih baik.
Meskipun, bukan berarti masalah saya nggak besar ya (menurut saya dan impact-nya akan kehidupan saya dan anak-anak). Tapi emang sih saya sadari, seberat apapun masalah yang saya hadapi, nantinya bakal berlalu juga kok.
Dan lucunya setelah berlalu, jadinya merasa,
"Yaelah, apa gunanya sih ngereog? bikin masalah sendiri, bikin rezeki tertunda aja!"
Setelah dipikir-pikir, penyebab saya ngereog itu ya gegara merasa jadi korban selalu. Padahal, ya gimana dong, emang keadaannya begitu.
Misalnya gini, saya tuh merasa papinya anak-anak tidak menghargai pengorbanan saya yang rela meninggalkan keluarga demi dia dan menjaga hati dan perasaannya.
Tapi, apa yang dia lakukan ke saya itu, nggak sesuai dengan semua harapan saya. Mau saya kan, karena saya udah ninggalin keluarga, dia juga dong!. Plis lah nggak perlu tinggal deketan sama keluarganya, biar nggak perlu ada selisih paham.
Plis lah kita bekerja sama, sama-sama cari duit, sama-sama urus anak, ya dengan cara cari kerjanya di kota yang sama. Pasti nemu kok, insya Allah, meskipun awalnya mungkin pekerjaannya tidak sesuai dengan kenyamanan diri.
Dan masih banyak 'mau saya-mau saya' lainnya.
Tidak salah sih, saya yakin banyak kan yang setuju, kalau sikap dan 'mau saya' itu nggak salah. Tapi jadi salah, karena akhirnya hal itu menjadi sebuah masalah yang bikin kedamaian jadi runyam.
Terlebih, sekarang kan udah nggak zamannya lagi menyesali yang telah berlalu. Ya sudahlah ya, toh juga meski si papinya anak-anak bersikeras ikut maunya, ujungnya dia juga bertanggung jawab (meski belum benar-benar bisa memenuhi semuanya).
Terus, masalahnya di mana, Rey?.
Ya itu tadi, merasa jadi mental korban, semua-muanya harus berada di bawah kendali dan mau saya. Alhasil, ketidak harmonisan yang didapatkan.
Padahal ya, mempertahankan mental korban itu butuh energi yang luar biasa besar, ditambah yang paling penting lagi nih ya, bikin rezeki makin seret aja.
Saya pikir, sudah saatnya saya melebarkan sayap dalam pikiran positif, di mana jika di dalam perjalanan saya untuk 'belajar menerima kehidupan'. Lalu menemukan bahwa 'mental korban' adalah salah satu penyebab ketidak bahagiaan dan keseretan rezeki. Ya memang wajib disudahi tuh sikap demikian.
Langkah berikutnya adalah, memastikan untuk selalu tersadar bahwa sikap saya yang merasa sedih dan kecewa itu adalah sebuah mental yang harus dihilangkan, diganti dengan rasa syukur yang positif.
Misal, kayak tengah malam masih harus beberes rumah, sementara sebelum subuh harus udah bangun. Dan di waktu bersamaan, melihat anak-anak udah tidur dengan damai. Bapakeh pun sama.
Jika biasanya itu akan menjadi penyebab saya ngereog, sekarang sudah waktunya mengubah pola pikir demikian dengan hal-hal seperti, 'bersyukur banget bisa jadi ibu dan istri yang paling diharapkan!'
Demikian juga, ketika sedang lelah mengurus anak-anak sendiri, lalu muncul pikiran, bagaimana enaknya papinya di luar saya. Hanya fokus bekerja, nggak perlu ribet urus anak yang jujur makin hari makin banyak aja kebutuhan dan dramanya.
Biasanya nih, hal-hal seperti ini yang bikin saya jadi bad mood, jadi marah-marah nggak jelas. Merasa dunia kok nggak adil, merasa kenapa kok harus saya mulu yang lebih besar porsi pengorbanannya.
Lucunya nih ya, ditengah pikiran seperti itu, sesungguhnya saya adalah tipe manusia yang kadang bisa sangat bijak dalam menyikapi hal yang berkaitan dengan orang lain.
Dan saya merasa bersalah, mengapa kok malah sedemikian bijaknya kepada orang lain, tapi sedemikian kerasnya kepada diri sendiri dan orang-orang tercinta saya.
Hadeh!.
Gegara mental korban itu.
Meskipun, saya sadar, kalau baca-baca curhatan orang lain, banyak loh yang sama kayak saya, selalu mengutamakan mental korban.
Padahal, apa untungnya?.
Rugi mulu, yang ada!.
Penyebab Mental Korban
Menyebalkan emang ya, kalau menyadari kita sulit melepaskan diri dari perasaan 'mental korban'. Tapi, semua itu bukanlah tanpa sebab.
Dilansir dari beberapa artikel, disebutkan bahwa 'mental korban' pada manusia itu, terbentuk oleh beberapa penyebab, di antaranya:
1. Adanya trauma maupun luka batin di masa lalu atau masa kecil
Memang ya, anak-anak yang tumbuh dalam pengasuhan dan kondisi yang kurang ideal tuh, cenderung punya masalah mental, meskipun kadarnya tidak seekstrim harus masuk RSJ gitu.
Orang-orang yang di masa lalu atau masa kecil, pernah mengalami hal-hal seperti pelecehan, pengabaian, pengkhianatan hingga kekerasan, selalu berpontensi memiliki 'mental korban'.
Terlalu sering mendapatkan hal-hal yang seperti itu, sehingga tanpa sengaja, mereka membentuk sebuah benteng tersendiri agar mampu melawati hal-hal yang negatif buat mereka.
Salah satunya dengan membentuk pikiran yang buruk atau negatif, sebagai sebuah mekanisme koping ketika harus berada di situasi yang bikin dia tertekan.
Saya mengaminin hal ini.
Di masa kecil, saya memang mengalami banyak hal yang bisa dibilang ketidak idealan yang seharusnya tidak boleh dialami anak kecil, sehingga berkembang jadi inner child yang terluka.
Terlahir sebagai anak tengah, dari kakak perempuan yang selalu diutamakan mama karena dia anak sulung.
Dan dari adik laki-laki (sekarang udah almarhum) yang menjadi anak kesayangan mama saya, karena dia anak lelaki satu-satunya mama. Di mana buat mama, anak lelaki itu istimewa, karena meneruskan garis keturunannya.
Ditambah kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai, kebayang dong bagaimana pengabaian yang saya rasakan untuk itu.
FYI, ini POV saya sebagai anak ya, dan saya yakin banget, ortu sebenarnya nggak berniat untuk mengabaikan saya. Hanya saja keterbatasan kondisi mereka menjadikan hal itu menimpa saya.
Tapi saya juga nggak bisa dibilang lebay, anak kecil mana bisa mengerti kondisi ortu saat itu? Pikiran saya sama sekali belum nyampe ke tahap 'being a parents is soooo complicated!'
Yang saya lakukan adalah mencari cara agar bisa kuat menghadapi semua tekanan tersebut, tanpa saya sadari cara-cara tersebut ternyata salah. Salah satunya ya dengan memelihara 'mental korban'. Saking merasa sejak kecil kok berasa korban anak yang nggak diharapkan.
2. Orang yang memandang dirinya rendah
Meskipun hal ini adalah salah satu dampak dari trauma pengabaian masa kecil, jadinya si anak terbiasa diabaikan itu merasa, hadirnya tak penting untuk siapapun.
Jadinya berkembang, menjadi sosok yang merasa harga dirinya rendah (low self-esteem), selalu jadi korban. Hingga berkembang menjadi pikiran, bahwa dirinya tidak laak untuk bahagia.
3. Selalu merasa butuh keterikatan dengan sesuatu
Maksudnya gini, menjadi orang yang tidak bisa mandiri, merasa butuh banget sesuatu. Sehingga sulit lepas dari sesuatu, dan merasa tidak aman, tidak pantas dicintai kecuali oleh yang dirinya merasa terikat itu.
Saya pikir, ini juga penyebab mengapa korban KDRT sulit meninggalkan pasangannya.
Dan ternyata, itu bisa meningkat jadi sosok dengan 'mental korban'.
Mengatasi Mental Korban Ala Rey
Sudah tahun 2024, usia juga udah tuw eh senior, sudah bukan waktunya lagi memelihara hal-hal yang negatif, buat saya.
Jadi, hal yang akan saya lakukan adalah mengatasi jiwa yang selalu merasa jadi 'mental korban' itu, dengan cara:
1. Belajar menerima kehidupan
Saya rasa ini kunci utamanya ya. Kalau kita udah merasa dan memahami, bahwa dunia ini memang seperti ini, melepaskan hal-hal di luar kendali kita, maka kebahagiaan bukanlah sebuah angan semata.
Dulunya, saya sering heran ada pertanyaan ketika menjawab psikotest.
"Apakah kamu setuju, jika dunia itu adalah tidak adil?"
Sebagai seseorang yang idealis, dulunya saya bilang enggak setuju. Dan saya nggak terima jika diperlakukan tidak adil. Serta itu terbukti langsung dalam relationship saya.
Saya menuntut keadilan, di mana adil buat saya tuh adalah 1+1 =2.
Misal, saya udah berkorban A pada suami, dia juga wajib berkorban A dong!. Kalau saya begadang buat bantuin cari duit, dia juga wajib melakukan hal yang sama kayak saya dong.
Luar biasa dah si Rey ini dulunya.
Hasilnya, pertengkaran yang terjadi, ketidak nyamanan pun melingkupi hari-hari saya, berimbas ke anak-anak.
Sampai akhirnya saya mulai mengerti, bahwa tidak ada keadilan hakiki di dunia ini, karena ini dunia. Bukan surga.
Dan yang paling penting adalah, bagaimana saya bisa berdamai dengan ketidak adilan tersebut, sehingga saya tidak perlu rugi dengan kenyataan tersebut.
Jawabannya adalah menerima kehidupan.
Menerima masa kecil yang tidak sempurna, menerima orang tua yang tidak sesempurna dengung Kak Seto *loh, hahaha.
Maksudnya, dengan keterbatasan kondisi ortu saya dulu, tentu saja bikin parenting mereka lebih terbatas.
Menerima kehidupan, bahwa apapun yang terjadi, toh saya masih hidup, masih baik-baik saja, masih dijamin rezekinya oleh Allah, dan dijamin semuanya oleh sang Maha Pencipta.
Mengapa harus sibuk mencari atau melawan hal-hal yang memang di luar kendali saya, sementara ada cara termudah untuk selalu bahagia, yaitu menerima kehidupan.
2. Mengubah pola pikir menjadi 'kebahagiaan anak dan suami' adalah kebahagiaan diri
Implementasi dari menerima kehidupan adalah mengubah pola pikir, yang sekaligus sebagai cara untuk melepaskan mental korban, sehingga mempersilahkan kebahagiaan masuk ke hati.
Alih-alih merasa bahwa betapa sialnya saya, merasa diri bagai dijadikan pembantu, gegara harus kurang tidur untuk mengurus anak-anak. Kenapa nggak saya ubah aja pola pikir, bahwa: betapa beruntungnya saya bisa jadi sosok wanita yang diandalkan orang-orang tercinta saya.
Menjadi manusia yang berguna, itu luar biasa membahagiakan ketimbang jadi manusia useless, iya nggak?.
Jadi, menganggap bahwa kebahagiaan anak-anak dan suami adalah kebahagiaan diri sendiri, maka semua rasa lelah akan berubah menjadi rasa syukur akan kondisi tersebut.
3. Bersyukur dan mencintai kehidupan yang ada
Disuruh bersyukur itu emang nyebelin, apalagi pas kita lagi curhat sama seseorang, malah ditanggapi.
"Sudah, bersyukur saja!".
Seolah saya nggak pernah bersyukur.
Tapi, sejujurnya bersyukur, terutama bahwa rasa syukur itu akan sangat membantu memudahkan kita mencintai kehidupan yang kita punyai.
Apalah pencapaian tertinggi dalam hidup, selain rasa cinta akan kehidupan sendiri kan ye?. Mau uang kita sebanyak bintang di langit, kalau nggak cinta akan kehidupan diri, rasanya kebahagiaan mustahil dirasakan.
Yang ada duit sebanyak bintang itu, habis buat bayar psikolog ataupun psikiater *eh.
Bersyukur dan mencintai kehidupan juga akan membuat kita lebih menghargai diri sendiri, dan terbebas dari 'mental korban'.
4. Selalu mengingat hal-hal apapun yang menggambarkan 'betapa beruntungnya saya!'
Dan implementasi lainnya untuk bahagia, bersyukur dan mencintai kehidupan sehingga menghilangkan mental korban adalah, dengan selalu aware akan semua hal di dunia ini, untuk bisa dijadikan alasan selalu berpikir.
"How lucky i am!"
Kalau sudah merasa beruntung, manalah bisa merasa diri jadi korban lagi kan?.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk poin 4 ini, tentunya dibarengi dengan mengontrol pola pikir ya. Misal, merasa jadi korban dalam pernikahan. Yang saya lakukan adalah, rajin-rajin membaca atau mendengar masalah orang lain, sehingga menciptakan perasaan.
"Iya ya, betapa beruntungnya saya!"
Menikmati dan menghargai usaha pasangan dalam membahagiakan kita, sekecil atau se 'nggak penting'nya itu.
Sehingga yang ada di pikiran, cuman, 'betapa beruntungnya saya!'.
Salah satu tempat saya mengimplementasikan poin 4 ini adalah membaca curhatan di grup FB Single Mom Indonesia. Jujur, grup ini banyak membuka pikiran saya, tentang betapa masalah rumah tangga itu banyak, tapi kadang sepele.
Karena sejatinya manusia itu sulit melihat atau menilai masalahnya sendiri, tapi mudah banget untuk menilai masalah orang lain.
Banyak curhatan di grup itu yang bikin saya bersyukur, karena merasa masalah saya ternyata nggak ada apa-apanya dibanding dengan masalah orang lain yang lebih pelik.
Dan ketika merasa seperti itu, mental korban saya perlahan mengikis dan memudar, menghadirkan rasa syukur dan mencintai kehidupan maupun diri sendiri.
Kesimpulan dan Penutup
Mental korban biasa disebut dengan Victim Mentality adalah kondisi dari seseorang yang selalu melihat dirinya sebagai korban dari kondisi apapun itu. Hal ini sering menjadi faktor utama dalam mencuri kebahagiaan diri dan juga keikhlasan dalam hidup.
Saya adalah salah satu yang merasa selalu memelihara mental ini dalam diri, yang mengakibatkan sulit untuk bisa tenang dalam menghadapi ujian hidup.
Sudah saatnya untuk bisa bangkit melepas mental korban, agar hidup bisa lebih mudah dan bahagia. Karena kita semua berhak bahagia, dan bahagia itu adalah tanggung jawab diri kita sendiri.
Surabaya, 04 Februari 2024
Sumber:
- Opini dan pengalaman pribadi
- https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/victim-mentality/ diakses 04 Februari 2024
Gambar: Canva edit by Rey
membaca ini jadi balik ke diriku sendiri, kok aku pernah ya bersikap seperti ini, merasa diri sendiri sebagai korban.
BalasHapusTapi seiring waktu berusaha untuk berpikir "how lucky i'am", sama seperti mba rey, terutama kalau melihat case serupa yang mungkin dialami sama orang lain, tapi aku masih sangat beruntung nggak sampe yang terpuruk banget
Bener kan, pada dasarnya, kalau kita melihat lebih luas dari setiap masalah yang ada, kita bakal tahu, betapa beruntungnya kita :)
HapusIni bener bangeeeet 😊. Mempertahankan mental korban begini, yg ada rugi di kita 😅. Susah bahagia jadinya... Ngerasa hidup kok salah mulu, ngerasa tuhan kok ga adil, hidup kok ga bisa kayak temen2 yg sukses etc.
BalasHapusDan kunci dari semua itu memang bersyukur dan cinta diri sendiri. Itu bukan suatu yg egois sih kalo menurutku. Lah gimana caranya mau cinta orang lain, kalo ama diri sendiri aja ga sayang.
Aku pernah ngalamin masa2 mentingin diri sendiri yg cendrung ke egois zaman dulu. Ga denger kata ortu, nekad ambil keputusan sendiri, yg berakibat apa yg dibilang ama mereka semuanya bener . Tapi di saat itu aku ga mau ngeluh, krn tau yg salah aku. Jadinya berusaha cari jalan giman fix the problem, walopun pada ujung2nya tetep minta bantuan ortu.
Tapi aku bersyukurnya, mereka masih mau bantu dan belain mati2an 🥲. Sesuatu yg bikin aku sadar, kalo keluarga memang seharusnya saling support, meski terkadang anak memilih jalan yg salah, ya tugas kita sebagai ortu utk mau menerima mereka kembali. Kasih dukungan.
Aku ga bisa kebayang kalo ortu ga mendukung, dan si anak depresi merasa tidak ada tempat bersandar lagi, lalu dia memilih bunuh diri misalnya, atau terjerat narkoba, penyesalan sebagai ortu mungkin bisa berkali2 lipat.
Intinya, skr aku fokus untuk bahagiain diri sendiri dulu, baru bisa bahagiain orang lain. Ga usah dipliara lah mental korban begitu. Capek sendiri, sedih sendiri. Malah ga ada tenaga lagi buat cari solusi nantinya.
Bener Mba, boleh mengeluh, tapi jangan lama-lama, secepatnya bangkit memperbaiki masalah, dan berhenti menganggap jika diri adalah korban satu-satunya yang paling melas, hehehehe
HapusHaha. Yaampun. Iya kadang saya kayak begitu. Tapi beberapa waktu terakhir ini mencoba untuk switching mindset biar ga terus2an merasa bermental korban. Rugi banget rasanya karena bikin capek diri sendiri lahir dan batin. Memang pada akhirnya perlu tau juga apa yang terjadi dengan diri sendiri, biar tau sumber masalahnya dan tau cara mengatasinya. Hhi
BalasHapusBener, untuk itu memang wajib kita singkirkan dulu mental korbannya :D
HapusKalau nggak gitu, sulit mencari akar masalah kita :D