Invisible atau Tak Terlihat itu Nyaman

invisible atau tak terlihat

Invisible atau tak terlihat.
Itulah yang sering saya rasakan sejak kecil, bahkan sampai sekarang.

Oh bukan, kadang bahkan bukan hanya saya merasa invisible alias tak terlihat.
Tapi juga, udah sampai ngerasa, kalau invisible adalah sesuatu yang harus saya lakukan.

Parah ya?
Saking sejak kecil, saya ada, tapi seakan tak terlihat oleh siapapun.

Ya mungkin karena saya hidup di tempat yang mana, kedudukan atau jabatan orang tua dalam masyarakat itu nomor wahid, dan dengan keadaan bapak yang bukan siapa-siapa di masyarakat, secara otomatis saya tersingkirkan, tak berbekas *halah!.

Bermula dari SD, biar kata sejak kelas 2 SD saya termasuk salah satu anak yang berprestasi, bukan berarti saya lantas punya kesempatan lebih besar dalam hal minat bakat atau kegiatan lainnya.

Mengikuti kegiatan lomba? nyaris nggak pernah.
Even kegiatan seperti cerdas cermat, padahal ya saya masuk jajaran murid yang bagus nilainya.
Justru yang kepilih murid lainnya, yang secara akademik masih di bawah saya, hanya saja bapaknya seorang yang punya akses ke dalam orang-orang penting.

💓💓💓

Saya ingat banget ketika SD ada lomba setiap tahunnya, yaitu di bulan Agustus, memperingati kemerdekaan Indonesia.

cerita masa kecil

Setiap tahun, selalu diadakan lomba antar sekolah sekecamatan.
Ada beragam lomba, dari cabang olahraga, seni hingga akademik.
Selama sekolah 6 tahunan, saya hanya pernah sekali bisa ikutan, yaitu lomba cerdas cermat.

Itupun, ketika waktunya tiba, saya bahkan tidak bisa ikutan dengan berbagai alasan, dan malah digantikan oleh orang lain.

Sedih banget.

Lalu, ketika SMP, ada lomba gerak jalan setiap tahun yang selalu saya nantikan, tapi seingat saya bahkan saya tidak pernah terpilih sekalipun.

Bayangkan, bahkan untuk lomba yang membutuhkan banyak peserta, saya sama sekali tak terlihat.
Hahaha *ketawa miris.

Meskipun demikian, selama SD dan SMP, saya pernah juga merasakan menjadi pusat perhatian, biar kata sesaat.
Yaitu setiap kali penerimaan rapor, ya biarpun sekelas menatap ke saya, dan beberapa menatap iri dari teman masa kecil, bahahaha.

Setelah STM, invisible masih terus berlaku di saya, namun setidaknya, selama 3 tahunan saya sekolah, pernah sekali mengikuti lomba gerak jalan.
Bahagia rasanya, ketika akhirnya bisa didandanin kayak teman-teman lainnya, pakai baju impian saya, busana bergaya blazer gitu.

Oh ya, entah mengapa sejak kecil, saya tuh terobsesi dengan gaya-gaya wanita kantoran yang rapi gitu, pakai blazer, rok span, sepatu pantofel.
Rasanya bangga banget, *norak but true! hahaha.

Begitulah, hanya sekali tersebut, udah membahagiakan banget.
Biar kata setelah itu, nggak pernah ada lagi kesempatan lainnya.
Bahkan ketika ada permintaan 2 orang murid wanita dengan syarat tinggi badan, saya tersingkir dong, oleh seorang teman dengan tinggi badan di bawah saya, namun dia cantik sih, hahaha.

💓💓💓

Lalu, datanglah kesempatan itu.
Mama membolehkan saya jalan-jalan ke Surabaya dan jadi alasan pertama kali ke Surabaya, meski hanya untuk jalan-jalan doang plus ikutan bimbel.

Daripada suntuk menganggur setahun, pasca gagal di UMPTN

masa kecil tanpa kesempatan

Siapa sangka? saya bahkan diperbolehkan kuliah di Surabaya, di universitas pilihan sendiri, dengan jurusan pilihan sendiri.

Dan ketika saya masuk kuliah, betapa bahagianya saya.
Karena saya melihat, ada banyak peluang untuk ikut berpartisipasi di dalamnya.

Saya melakukan banyak hal ketika kuliah.
Mulai dari ikut Himpunan Mahasiswa, panitia di Senat, ikut kegiatan mahasiswa yang memungkinkan, seperti bahasa Inggris, paduan suara (biar kata suaranya pas-pasan, dan kena marah muluh saking kalau nyanyi nggak bisa buka mulut lebar-lebar, daaannn nggak fasih menyanyikan lagu daerah, hahaha).

Saya bahkan, mendapatkan kesempatan berulang kali menjadi pembawa baki mendampingi rektor ketika mahasiswa wisuda.

Entahlah, sepertinya saya 'murko' alias serakah mengikuti banyak hal, saking merasa haus ikutan hal-hal demikian.
Terlebih, saya melihat di masa perkuliahan itu asyik.
Tidak ada lagi yang namanya 'saya kudu jadi anaknya siapa?" baru bisa ikutan ini itu.

Dan karenanya, saya baru belajar bersosialiasi dan menata mental ketika kuliah.

💓💓💓

Bisa dibilang, saya menemukan jati diri, belajar menjadi manusia pada umumnya, ketika kuliah.
Meski awalnya sangat sulit.

Beruntung, saya berhasil memaksa mama, untuk membolehkan saya ngekos.
Biar kata semua keluarga marah karena itu, mereka menganggap, saya nggak bakal bisa jaga diri kalau ngekos dengan bebas.

masa kecil tidak dianggap

Tapi toh, akhirnya saya berhasil membuktikan, bahwa saya bisa.
Lalu, bahagiakah saya setelahnya?

Entahlah.

Setelah semua impian yang saya inginkan sejak kecil, bisa saya dapatkan, entah mengapa, saya merasa biasa saja.

Saya bahkan, tidak merasa kalau saya bebas dan benar-benar bahagia.
Karena, pada akhirnya, saya lebih nyaman di kamar sendirian sambil ngemil dan nonton film, baca buku atau sekadar ngegame.

Entahlah, saya jadi merasa kalau invisible itu adalah hal yang menyenangkan buat saya.
Saya bahkan, merasa tidak nyaman, ketika saya sering branding, dan akhirnya ketika keluar ketemu teman-teman yang sering membaca tulisan saya, dan kenal saya melalui foto narsis saya di medsos.

Dan believe it or not, saya begitu bahagia di masa pandemi ini.
Karena saya punya alasan buat keluar dan memakai masker, biar orang nggak bisa liat muka saya, bahahaha.

Itulah, mungkin karena sejak kecil selalu berada di posisi invisible, jadinya saya bahkan udah merasa, kalau invisible itu adalah, saya yang seharusnya.

Sad, rite?

Dan juga funny, ketika mendeklarasikan diri dengan branding every single day, tapi nggak mau kalau dikenal orang langsung.
Maunya dikenal di dunia maya aja kali ya, dan itu yang membuat saya nyaman.

Memang ya, hal-hal yang kita alami dan lakukan berulang di masa kecil, akan menjadi habbit, dan melekat hingga dewasa, dan untuk mengubahnya, amat sangat sulit, karena bahkan sudah melekat di sanubari.

Demikianlah.
Dari si mamak Rey, yang katanya bloggerfluencer, tapi nggak kurang nyaman kalau dikenal orang langsung di dunia nyata, hahaha.


Sidoarjo, 28 November 2020

Yang lagi termenung...

8 komentar :

  1. Wah ada calon member the avengers yang baru ini. Namanya The Invinsible Rey ..cool..

    🤣🤣🤣🤣🤣

    Kagak bisa ngomong ...melakukan branding, TP sana sini, tapi ga boleh dikenal..

    Maaf otak saya ngebul karena memikirkannya 🤣🤣🤣🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ngga aneh sih pak, mungkin mbak Rey takut jadi artis dan nanti main bareng sama Gerard Butler, tapi sayangnya mbak Rey ngga pede main sama dia...😂

      Hapus
  2. Hehehehe "....biar kata suaranya pas-pasan, dan kena marah muluh saking kalau nyanyi nggak bisa buka mulut lebar-lebar, daaannn nggak fasih menyanyikan lagu daerah, hahaha" marahin balik mbak, ups kwkw.

    Saya setuju mbak orang bisa karena terbiasa, termasuk bisa rusak karena sedari kecil membiasakan diri dengan hal - hal yang kurang baik, namun bersyukurnya mbak Rey terbiasa aktif di berbagai kegiatan Mahasiswa sehingga kini bisa membagi waktu dengan baik dalam melakukan peran sebagai ibu, sebagai blogger dan sebagai seorang istri...

    Inspirasi, tetap semangat mbak, terus berkarya.

    BalasHapus
  3. Hola mba Rey,

    Topik yang menarik untuk diangkat mba, by the way, kadang jadi invisible memang nggak menyenangkan apalagi jika kejadiannya seperti yang mba Rey alami jaman sekolah, sampai nggak bisa ikut gerak jalan, atau event lainnya hanya karena pengaruh orang tua mba nggak sekuat teman lainnya 🤧

    Tapi dari cerita mba Rey, saya jadi ingat salah satu quote terkenal, "It's okay being invisble, as long as you remain invincible." Yang artinya nggak apa-apa banget jadi invisible, selama mba Rey nggak terkalahkan 😍 Dan mungkin, cerita di mana orang-orang menatap ke mba karena ranking mba yang tinggi itu salah satu bentuk dari 'remain invincible' mba 😁 hehehehe.

    Eniho, saya pribadi kadang juga ingin invisible, especially saat urusan kerja dan business sedang banyak-banyaknya hahahahaha. Rasa hati ingin *tring* menghilang sejenak, agar bisa menikmati waktu sendiri dengan suka cita. Mungkin karena saya lebih comfortable untuk spend time alone ketika butuh re-charge tenaga 😂

    Dan saya bisa paham kenapa mba Rey merasa demikian 😆 Saya anggap itu fase kehidupan mba, hehehehe, mungkin karena mba sudah coba banyak hal, dari yang tadinya invisible, terus jadi visible, habis itu kembali invisible, mungkin one day, akan ada kemungkinan balik lagi visible seperti jaman kuliah. Well, apapun itu selama mba doing it with happy feeling, why not untuk dilakukan? 😍

    Thanks for sharing, mba 💕

    BalasHapus
  4. Kak Rey, kok kita samaan? Aku juga ada rasa senang ketika kemana-mana harus pakai masker 🤣
    Kadang kalau lagi jalan ke Mall dan bertemu teman lama, rasanya ingin sekali menjadi invisible atau pakai topeng agar nggak kelihatan sebab aku canggung banget kalau harus basa-basi 😂 dan aku suka nethink duluan saat ingin menyapa orang, takut orang nggak ingat siapa aku karena akupun merasa selama ini tuh aku invisible 😂. Aku jadi ngerasa relate dengan Kakak hahahaha

    BalasHapus
  5. kadang aku merasa pengen menghilang ga nampak di kerumunan orang banyak, biasanya kalau aku lagi nggak mood mbak.
    misal, aku harus hadir kesuatu acara, tapi males ketemu sama banyak orang asing, pengennya nyampe lokasi setelah urus ini itu langsung cabut pulang. tapi nggak mungkin juga aku lakuin, dalam satu acara bisa 3 jam-an, mau nggak mau ketemu banyak orang.

    BalasHapus
  6. Kalo urusannya sampai separah itu, kayaknya jadi ngga asik juga. Saya bukan siswa populer, tapi masih mengikuti beberapa ekskul macam marching band atau beberapa kegiatan sekolah saat SMP. Saat SMA, saya melepas diri dari hal itu semua. Saya cuma sekali-duakali terlibat dalam kegiatan sekolah, itupun karena benar-benar keadaan terpaksa dan kehadiran saya memang cukup dibutuhkan.

    Saya cuma ingin bilang untuk teman-teman yang ingin populer atau mendapat sorotan, memangnya kalian siap dengan itu semua. Ketemu circle yang tidak kalian senangi dan berpura-pura berada dalam kenyamanan yang kalian ciptakan sendiri. Ulangtahun misalnya, mesti sewa hotel untuk foto ala-ala dan kalian merasa tidak ada yang benar-benar peduli. Ketimbang kalian dibikinin masakan sama Mama atau Nenek atau keluarga, terus panggil teman-teman kalian datang. Itu lebih dari cukup untuk saya.

    Tapi kalo kasus kak Rey kayaknya agak beda. Karena tingkatnya sudah seekstrem itu. Saya tangkapnya, masa kuliah itu masa pembuktian dan balas dendam. Sampai akhirnya kita sadar bahwa terlihat itu ngga selamanya menyenangkan 😅

    BalasHapus
  7. Kemarin aku ditawarin Rey jd pembicara untuk Ig live story sih, dan berbagi pengalaman ttg traveling , yg Adain salah satu komunitas yg aku ikutin. Pas aku tau Ig live, aku lgs jujur aja bilang, kalo ga bisa, dgn alasan, aku ga PD kalo hrs video an, hrs menunjukkan wajah, hrs bicara depan kamera :D. Aku bilang, hayuk aja kalo lwt tulisan, tapi aku msh blm mau kalo hrs bicara depan kamera. Aku LBH milih di belakang layar :D.

    Untugnnya si mba ngerti :). Ya daripada aku kadang2 alasan dan suatu saat diminta lagi, kan hrs boong lagi, mndingan jujur di awal :)

    Kalo kamu Krn merasa invisible dulunya, makanya ga terlalu seneng saat hrs terlihat, aku bukan Krn itu. Mungkin Krn ngerasa zaman dulu aku ga PD Ama diriku sendiri, belum lagi candaan temen2 ttg kulit gelap, rambut lurus dll, yg bikin aku jd ga confident kalo harus jd centre of attention. Mnding ga usah kliatan sekalian deh :D. Kebawa sampe skr deh.

    Kalo ketemuan biasa, aku mungkin udah berani, tapi tetep yg namanya depan kamera, aku rasanya ga akan prnh jadi biasa :). Ga nyaman.... EMG ga akan ada peluang jadi artis sih aku hahahahaha

    BalasHapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)