Terciduk Mengunjungi Psikolog? So What?

Terciduk Mengunjungi Psikolog? So What?

Sharing By Rey - terciduk mengunjungi psikolog, bagi beberapa orang kadang bagaikan aib diri.
Padahal, sesungguhnya tidak ada yang salah bagi orang mengunjungi psikolog.

Yang salah itu, udahlah kita selalu bikin siapapun di sekeliling kita merasa terganggu, tapi kita tetap saja merasa baik-baik saja.

Ada yang kayak gini?
Sebenarnya banyak loh, bahkan beberapa orang malah tidak sadar atau mungkin tidak mau tahu.
Malah beranggapan, kalau tidak ada yang salah dengan menjadi diri sendiri.
Dan sungguh fake jika kita hidup hanya untuk menyenangkan orang lain.

Iya sih.
Menjadi diri sendiri itu penting banget.
Akan tetapi bukan dengan merugikan orang lain juga kaleeee..
Kalau menjadi diri sendiri kita dengan merugikan orang lain, itu mah egois namanya.

Beda lagi nih, kalau ada orang yang nyaman dengan dunianya, salah satu hal yang bikin orang lain merasa nggak nyaman adalah, si orang ini sama sekali nggak mau bersosialisasi, lebih suka ngendon di rumah, meski banyak sahabat atau siapapun yang ngajak pergi.

Itu mah, oke-oke saja sih menurut saya.
Kan dunia....dunianya sendiri, hidup... hidupnya sendiri, sama sekali nggak bikin orang lain rugi apapun kan ye?
 Meski aneh, saya rasa itu sah-sah saja.

Btw, seperti yang sudah saya singgung sedikit di artikel tentang ide blogpost sebulan, bahwa saya menuliskan hal ini, selain memang ada kaitannya dengan tema kesehatan mental, pun juga karna beberapa hari lalu, saya liat judul berita di Google Trend, tentang Yuni Shara yang terciduk mengunjungi psikolog.

Yang ternyata memang udah rutin banget dilakukan Yuni dan mantan suaminya, demi konsultasi pengasuhan anak mereka.

So sweet ya, such a good parents.
Di mana, perceraian bahkan sudah memiliki keluarga baru, tapi tidak membuat mereka melupakan anak-anaknya.


Konsultasi Di Psikolog Itu Wajar


Paham banget sih, mengapa beberapa berita masih menggunakan judul klikbait untuk menggaet view.
Salah satunya karena memang psikolog itu masih dianggap tabu oleh banyak orang.

Terciduk Mengunjungi Psikolog? So What?

Saya sendiri, baru bisa menilai psikolog berfaedah, kira-kira sejak setahunan lebih ini.
Setelah saya merasa, saya harus bisa memperbaiki diri khususnya dalam menstabilkan mood yang bagaikan roller coaster, dan saya tidak bisa melakukannya seorang diri, terlebih dukungan orang-orang terdekat, tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Lucky me, sejak aktif ngeblog, saya jadi sering banget blog walking, mendapatkan lebih banyak pengetahuan baru, termasuk juga dengan psikolog.
Dari situlah saya mengenali atau mencurigai sikap saya, yang mungkin memang mengalami depresi.

Bagaimana meyakinkan keluarga?
Tidak mudah!
Bahkan suami menganggap saya lebay.

Memang ya, bahkan orang yang berpendidikan tinggi pun, masih sulit untuk membuka pola pikirnya.
Padahal psikologi itu ada loh sekolahnya.
Tapi mengenalkannya pada orang yang bersekolah pun sulit rasanya.

Apalagi pada orang yang memang terbatas pengetahuannya.
Lucky me sekali lagi.
Saya menikah dengan lelaki yang punya bapak dengan pola pikir terbuka.

Bapak mertua saya adalah mantan dosen.
Beliaulah yang selalu paling nyambung kalau diajak ngomong.
Dan beliau jugalah yang mau turun tangan membantu saya, untuk mengenalkan saya pada para psikolog, meski dimulai dari para mahasiswa psikologi terlebih dahulu.

Ketika saya bertemu dengan anak-anak mahasiswa yang sedang menempuh S2 Psikolog Unair tersebut, mereka berkali-kali meyakinkan saya, bahwa saya tidak perlu takut, mereka bakal menjaga identitas dan masalah saya rapat-rapat.

Saya tersenyum dan berkata,
"Untuk apa? kenapa disembunyikan? saya loh bahkan menuliskan keadaan saya yang sedang tidak baik-baik saja di medsos maupun blog! Saya rasa, bukan hal yang aneh kan kalau ketahuan orang saya dari psikolog"
Anak-anak mahasiswi tersebut sedikit terkejut, dan berkata bahwa sangat jarang ada orang seperti saya, biasanya orang bahkan kalau bisa mau pakai cadar, hanya agar nggak ada yang tahu kalau mengunjungi psikolog.

Terciduk Mengunjungi Psikolog? So What?

Memangnya kenapa coba dengan mengunjungi psikolog?
Takut dibilang kurang iman?
Ih cuek aja, cukup bilang aja, 
"Alhamdulillah saya muslim, dan saya masih sholat, situ rajin sholat nggak? jangan-jangan situ bilangin saya kurang iman, tapi justru situ yang sholatnya seminggu sekali. Harusnya situ yang kurang iman. Bagaimana mungkin seseorang mengaku cukup iman? sementara dia mengingkari perintah Tuhannya?"
Qiqiqiqi.

Intinya, keadaan mental itu sebenarnya sama aja dengan keadaan fisik.
Saat orang mengunjungi dokter, bukan berarti orang tersebut sakit parah.
Bisa jadi orang tersebut mau ngecek kesehatannya.

Demikian pula dengan orang ke psikolog.
Bukan berarti semua orang ke psikolog karena dia gila.
Eh bahkan bukan hanya ke psikolog, mengunjungi RSJ pun tidak selalu karena sakit jiwa, tapi memang para psikolog kan banyak yang praktik di sana hahaha.

Dan juga, seperti orang yang sakit DBD misalnya, lalu mengunjungi dokter.
Seperti itulah juga orang yang merasa ada yang nggak baik dengan mentalnya.

Lalu, salahnya di mana?
Kurang iman?
Kalaupun benar seperti itu, memangnya apa yang salah?
Jika semua punya iman yang kuat, ini bukan dunia namanya, tapi surga, di mana tidak akan ada setan yang menggoda kita untuk galau, hahaha.

So, tidak ada yang salah mengunjungi psikolog.
Semua itu wajar-wajar saja.


Tidak Perlu Menunggu Gila Dulu Baru Ke Psikolog


Iya, psikolog itu bukan dokternya orang gila (saja), tapi bisa jadi dokter buat orang yang sehat mentalnya.

Terciduk Mengunjungi Psikolog? So What?

Seperti dengan kesehatan fisik, kadang kita merasa baik-baik saja, hanya sesekali merasa sakit kepala, mual, pusing.

Tapi diabaikan, sampai akhirnya suatu saat dia beneran drop, sampai harus dilarikan ke rumah sakit, dan saat itulah baru terdeteksi, ternyata dia mengalami penyakit kronis, dan sedihnya lagi, karena diabaikan, penyakit tersebut sudah masuk stadium akhir.

Hal tersebut, bisa juga terjadi pada kesehatan mental kita.
Kita merasa ada yang aneh dengan diri kita, tapi kita abaikan, terus aja seperti itu, sampai suatu saat kita mengalami hal-hal yang mungkin merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Misal amit-amit nih ya, bunuh diri ataupun bunuh orang.

Baru deh shock dan peduli bahwa ternyata mentalnya lagi nggak sehat. 

Dan sama seperti penyakit kronis stadium akhir, saat berada di tahap tersebut, akan lebih sulit dan panjang pengobatannya untuk bisa sembuh.

Terlebih jika masalah mental, di mana kesembuhan seseorang itu bergantung penuh pada diri pasien serta lingkungannya.

So, nggak ada salahnya mengunjungi psikolog saat merasa ada yang salah dengan diri kita ya.
Nggak perlu nunggu gila untuk mengunjungi psikolog.

Kalaupun terciduk sedang mengunjungi psikolog, so what?

Etdaaaah, saya kayak nulis  sponsored-nya psikolog dong, hahahaha.
Ada yang udah pernah ke psikolog?
Share yuk gimana rasanya?


Sidoarjo, 13 Agustus 2020


Sumber : pengalaman dan opini pribadi
Gambar : Canva edit by Rey

31 komentar :

  1. Memang kalo ke psikiater itu orang biasanya konotasinya masih negatif, sudah mulai oleng lah, atau mungkin sudah ngga waras.😂

    Psikologi memang perlu agar kita bisa memperbaiki mood atau kondisi batin kita, agar keluarga juga nyaman terutama anak anak. Salah satunya misalnya pertengkaran dalam rumah tangga.

    Ok, sebuah keluarga tanpa pertengkaran katanya ibarat sayur tanpa garam, tapi kalo kebanyakan garam ya jadinya keasinan dan bikin darah tinggi terus suka marah. Eh tapi ada orang yang darah tinggi tapi ngga suka marah sih, contohnya admin blog ini.😄

    Kalo saya Alhamdulillah belum pernah ke psikolog, tapi kalo ada masalah biasanya curhat sama orang tua atau saudara. Alhamdulillah saya cukup dekat dengan keluarga jadinya gampang curhatnya, kalo ke teman atau tetangga takutnya malah masalah malah pada tahu, kan malu. Nanti tetangga pada tahu, "tuh si Agus sudah beberapa bulan nganggur, mainnya hape aja.” 😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ente ke Psikolog kalau udah baca buku Enny Arrow Episode ke 100 Gus....


      Ente kalau nganggur bukannya hobi baca Eny Arrow Gus...🤣🤣🤣🤣

      Hapus
    2. gawat juga tuh kalau sampai 100 episode bisa spaneng 🤣

      Hapus
    3. wakakakakaka astagaaaa... cuman bisa ngakak, terlebih baca bahwa admin blog ini nggak suka marah, wakakakakak

      Hapus
    4. Ya kan ngga pernah ke psikolog karena ngga pernah baca buku Eny Arrow biarpun tahu, dilarang keras sama ustad Satria, katanya dosa tauk.🙄🙄🙄
      Tapi alasan utamanya karena ngga ada duit buat beli bukunya.🤣

      Mbak mbul pernah baca sampai 100 episode??? 😱

      Adminnya ngga suka marah, cuma kalo ngomong nadanya naik satu dua oktaf doang 😄

      Hapus
    5. wakakakaka, astagaaa, saya ngakak malam-malam.
      Iya juga ya, saya nggak pernah marah kok, tapi biasanya seriosa wakakakakaka

      Hapus
  2. Pikiran banyak orang itu kalau ke psikolog berarti gila, padahal menjadi gila itu karena sewaktu masih tahap awal, nggak berani pergi ke psikolog 😂

    Tapi bersyukurnya, semakin ke sini, kesehatan mental semakin dipedulikan kak. Menurutku, lama-lama, pergi ke psikolog bukan hal yang tabu lagi. Lagian ke psikolog bukan hanya karena depresi, bisa juga untuk belajar ilmu parenting seperti yang Yuni Shara dan suami lakukan ☺️

    Juga, jaman sekarang teknologi sudah sangat maju dan sangat membantu sehingga kalau ada yang malu untuk pergi ke psikolog, bisa lewat aplikasi aja. Praktis banget 😆

    Semoga lebih banyak orang yang sadar akan bahaya dari penyakit mental ya. Depresi sedikit aja bisa memberi akibat yang besar, jadi jangan takut untuk ke psikolog ☺️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah iya, yang orang masih awam itu, gila itu ibarat stadium lanjut.
      Dan itu juga bermula karena penanganannya terhadap mentalnya salah, alhasil malah makin parah jadi gila.

      Sama kayak kanker gitu :D

      Iya, sebenarnya bisa lewat online, cuman memang beberapa kasus, lebih enak kalau ketemu langsung, beda rasanya.
      Saya pernah konsultasi online, pernah juga ketemu langsung, pernah juga lewat vidio call, paling enak itu memang ketemu langsung :D

      Hapus
  3. Halo Mbak Rey..
    Aku suka sama postingannya dan yup setuju!

    Bersyukur punya pengalaman untuk bersinggungan langsung dengan masalah psikologi. Salah satu orang terdekatku butuh bantuan, dan waktu itu aku menawarkan diri. Sebenernya bingung aku harus gimana, karena takutnya salah tindakan, bisa bikin yang bersangkutan makin depresi. Beruntung lagi, ada salah satu teman blogger yang pernah bercerita perjalanannya berkonsultasi dengan psikolog. Langsung aku hubungi supaya dapat insight dan perspektif mereka.

    Sejauh ini hal yang ikut membuatku sakit ketika mendengar curhatan mereka, mereka merasa dihakimi karena dianggap kurang iman. Aku ikutan sedih dan rasanya nggak kuat juga kalau dihakimi seperti itu.

    Melihat perkembangan saat ini, sudah banyak platform digital yang memberikan bantuan konsultasi psikologi secara online, rasanya lebih tenang. Jadi lebih accessible dan lebih murah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi, jujur nih ya, kayaknya saya kayak candu ngeblog ini, bahkan saya ke psikolog gitu, harusnya kan fokus curcol, etapi pas mau pulang saya kok sempat-sempatnya nanya, boleh nggak saya tulis pengalaman saya di blog?
      Etdaahh, psikolognya heran, biasanya kliennya minta masalaha dan datanya si jaga , eh ini malah ditulis-tulisin segala :D

      Iya ya, online lebih murah, saya pernah online lewat Vidcall, tapi gratis sih, pas dapat hadiah giveaway gitu, eh psikolognya baik banget, sampai follow up dengan gratis dong :D

      Hapus
  4. Rata2 memang orang Malu yaa ke Psikolog. Padahal kalau menurut saya kenapa meski malu.😊😊 Malu tapi ingin masalahnya selesai bijimane ceritanya.😊😊

    Makanya sekarang banyak Psikolog2 Online dengan segala embel2 bla2 lainnya, Mungkin karena banyaknya tuntutan rasa malu orang kePsikolog secara umumnya kali yee..🤣🤣

    Pas udah mentok aja baru dah mewek2 kePsikolog.🤣🤣 Tapi pada umumnya seorang ahli Psikolog, kalau dia punya masalah larinya kemana yaa Uni Rey....🤯🙄🙄😲😲 Kan nggak mungkin juga dia curhat ke Psikolog AGUS. 🤣🤣🤣🏃🏃🏃🏃🏃

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin psikolog curhat nya ke novelis ganjen dari Depok kang.😄

      Hapus
    2. Kalau ke Kang Sat boleh nggak?
      Lumayan curhat dikasih pulsa hahahaha.

      Iya, untungnya sekarang udah lebih banyak yang ngeh dengan psikolog, meski banyak juga yang masih ngotot ngga butuh psikolog :D

      Hapus
  5. Bersyukur bgt punya bapak mertua yang openminded bgt ya mbak. Akupun pernah selama 6 bulan ke psikolog kok, dulu memang takut sm anggapan orang lain tp makin kesini ya bodo amat. Toh aku nggak merugikan mereka, asal aku bisa sehat jasmani dan rohani. Hhh
    Mangats mbakkk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah menarik tuh sampai konseling selama 6 bulan.
      Saya baru beberapa kali sih, itupun dengan psikolog beda-beda :D

      Hapus
  6. Memang orang sering tertukar mana lingkup psiolog, mana lingkup psikiater. Orang ke Psikolog biasanya berkaitan dengan masalah dalam kehidupan sehari hari misal pekerjaan, rumah tangga, tugas akhir kuliah, dsb, untuk dicarikan solusinya. Psikiater lebih ke kejiwaan, lebih rumit (termasuk gejala psikopat, gila, dsb). Tapi terkadang stigma dan bully yang berlebihan bisa saja membuat pasien semakin tertekan, dan sudah down duluan akhirnya malu ke psikolog maupun psikiater. Padahal, terapi yang cepat dan tepat dari ahlinya bisa menentukan kesembuhan pasien

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ya, kalau psikiater lebih ke yang complicated, dan biasanya lebih fokus ke obat, beda dengan psikolog lebih ke jiwanya, memahami :D

      Hapus
  7. keren, ternyata bapak mertua kakrey mantan dosen, pantas saja banyak pengetahuan serta enak diajak diskusi dan bahkan memilihkan kenalan psikolog ya ^___^


    baru tau kalau beberapa orang memilih ke psikologi dengan cara sembunyi2 kalau perlu pakai cadar supaya ga ketahuan orang..takpikir aku jarang nemu anggapan begini, yaitu bahwa ke psikolog karena kurang iman...malah aku baru tau abis baca blog kak rey..alias selalu uda rada rada error yang datang konsultasi...di tempatku blom nemu sih anggapan macam ini..mungkin karena lingkunganku juga udah mayan paham bahwa hal ginian adalah wajar adanya dalam kehidupan yang sejatinya sering di hadapkan dengan masalah yang belum tentu bisa dipecahkan sendiri..

    tapi aku sendiri kayaknya belom pernah ke psikolog
    paling dulu kali ya kalau pas masih SMA masuknya cuma di pelajaran BK pas konseling mau lulusan dan minta rekomendasi cocoknya masuk jurusan apa waktu kuliah, tes iq eq dan sq, sama konsul konsul waktu sekolah aja..hehe


    terus aku baru tau juga ni berkat baca kak rey berita tentang mba yuni yang tetep bekerja sama dengan mantan untuk kepengasuhan anak dan mempercayakan konsulnya ke pihak yang berkompeten yaitu psikolog..ini nontonnya di infoteinment kah, jadi pengen nyari hiburan infoteinment juga deh aku uda lama ga lihat acara hiburan artis artis :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah keren dirimu Mbul, saya dulu sama sekali nggak pernah ke BK, eh malah dulu BK itu image-nya buat anak nakal hahahaha.

      Diriku nggak liat berita infoteiment Mbul, tapi selalu mantau Google Trend, biasanya banyak artis tuh masuk Google Trend :D

      Kalau bapak mertua malah dulu yang aslinya kurang setuju sama saya, soalnya saya sakit-sakitan hahaha, terus sekarang justru yang paling belain saya ya bapaknya itu.
      Mungkin karena udah lama saya menikah dengan anaknya, bapak bisa liat, meski saya memang agak aneh buat keluarganya, setidaknya saya nggak pernah pergi :D

      Hapus
  8. Aku belum pernah ke psikolog tapi adek sepupuku berulang kali bilang ke aku kalau ada baiknya aku konsultasi ke psikolog. Tapi aku masih belum berani ke psikolog. Mungkin nanti kalau aku udah berani kali ya, kalau malu si enggak cuma ya belum siap aja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangat say, bisa gunakan online juga sebenarnya kalau memang pengen tahu dulu :)

      Hapus
  9. Orang yg menjadi diri sendiri tp malah merugikan orang lain itu egois, setuju banget Mba rey. Kadang banyak orang yg tidak sadar mereka udah masuk dlm tahap 'butuh bantuan'

    Btw, senangnya ya bapak mertua open minded jd bisa diajak diskusi macem2. Memang akademisi itu beda ya jalan pikirannya.

    Ngomong2 tntng ke psikolog, sama kayak Mba Rey, dr blog walking aku banyak dpt insight tntng psikologi. Sampai aku jg cerita ke temen yg kondisiny lg down, dan aku sarankan akhirnya dia jg mau ke piskolog.. Makasi ya sharing2nya Mba rey..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah iyaaa... kadang orang tuh bangga sekali dengan segala kelakuannya, merasa nggak fake lah, asli lah, tapi dia ngerugiin orang lain hahaha.

      Ini yang kadang saya takutkan dalam mendidik anak, saya ingin mengajarinya tak masalah merasa down, kayak di drakor itu :D

      Tapi juga jangan sampai merugikan orang lain :D

      Hapus
  10. Tak salah berjumpa dengan pakar psikologi. At least dapat mengurangkan beban pendam segala permasalahan yang terbuku di hati. Kalau rasa nak pergi, just go on jika perlu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget, pas habis dari psikolog itu, beban terasa lebih enteng loh :)

      Hapus
  11. setujuhh, kalau pergi ke psikolog bukan berarti nih orang "ga waras", yabisa jadi pengen sharing dan mungkin nasihat psikolog lebih oke, karena mereka selain mendengar permasalahan clientnya, pastinya juga memberikan alternatif solusinya
    kalau pergi khusus ke psikolog, selama ini belum pernah. tapi temenku ada yang kuliah di psikologi, jadi dia ngerti aja dari tingkah laku aku sedang hepi, kasmaran atau sedih hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha asyik tuh Mba Inun, lumayan tuh bisa dijadikan teman curcol :D

      Hapus
  12. Emang ya mbak, kenapa kalau kita curhat sama orang masalah mental kita dibilangnya selalu kurang iman. Jujur itu nyebelin banget...
    Orang-orang masih berpikir kalau pergi ke psikolog dianggap gila padahal nggak juga. Bisa sekedar konsultasi kesehatan mental juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha itu deh, seolah mereka bisa ngukur imannya orang kek malaikat :D

      Hapus
  13. Dulu yaaa Rey, salah satu pilihan jurusan yg aku pilih selain akuntansi, itu psikolog :D. Sayangnya ga lolos, dan jd nya fokus ke Accounting.

    Yg terbersit di pikiran kenapa ilih psikolog, karena dari dulu aku slalu temen yg terbaik di antara temen2 lain, dalam hal dengerin curhatan temen bermasalah hahahahaha..

    Eh tapi beneran, aku ini good listener. Aku bisa tahan dengerin sampe lama temen curhat walo ngalor ngidul, dan kdg bisa ksh solusi. Kalopun ga bisa, tapi kebanyakan temen2 udh seneng tiap abis curhat :p. Mungkin jadi lega kali yaaa, uneg2nya udh kluar.

    Naaah itu yang sempet bikin aku pengen jadi psikolog :). Belajar LBH dalam, supaya bisa ksh solusi juga, tidak hanya dengerin masalah.

    Lagian lulusan psikolog juga banyaak yang diterima sebagai HRD biasanya di perusahaan2 besar. Mereka dianggab bisa 'membaca' karakter calon karyawan hihihi... Menarik sih kalo buatku. Issshhhhkan jd nyeseel kenapa aku gagaaal dulu :p.

    Ga ada yg salah lah visit psikolog. Ati psikiater sekalian :). Aku memang blm pernah, tapi seandainya suatu saat butuh bantuan yang menyangkut mental, aku ga akan keberatan dan malu utk datang ke mereka :).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Laaahh Mba Fanny mah keceh, udah tahu apa yang Mba mau saya dulu daftar kuliah asal aja, karena menganggap saya dari STM, kudu ke teknik gitu.
      Padahal, yang saya sukai itu menulis atau psikolog.

      Harusnya dulu saya ambil sastra Inggris kek, atau psikolog.
      Malah ambil teknik sipil yang susahnya minta ampun itu, saya beete ama hitungan soalnya :D

      Hapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)