Teori Parenting Modern Kadang Bikin Ibu Jadi Depresi

parenting artinya

Parenting adalah .... sebuah teori yang kadang bikin saya depresi!
Iya, bener!

Teori-teori parenting modern apa saja sih, yang kadang bikin saya sebagai ibu jadi depresi?

Sebelumnya saya mau warning dulu, postingan ini mengandung curhatan, eh bukannya hampir semua postingan mengandung curhat ya Rey? lol.

Zaman sekarang, informasi begitu mudah didapatkan, demikian pula informasi tentang ilmu parenting. Dan saya berbahagia banget, karena dengan hal itu, saya bisa mengasuh dan membesarkan si bungsu (iyaa, pengennya sih 2 anak cukup, gak tahu yang bagus menurut Allah berapa) dengan lebih baik dibanding si sulung.

Sebut saja, semua ilmu tentang mengasuh bayi sejak newborn, mulai dari memberikan ASI, menerapkan GADDD, hingga pada tahapan tumbuh kembangnya.

Bukankah hal yang menyenangkan, bisa mengasuh anak sesuai dengan teori yang baik?
Kerennya juga, saya tidak perlu merogoh kocek banyak untuk itu, tidak perlu antri  di dokter hanya untuk bertanya hal-hal yang sebenarnya banyak bertebaran di buku maupun info serta sharing para orang tua di dunia maya.

Namun di sisi lain, entah mengapa, saya merasa, ilmu parenting yang saya baca zaman sekarang mempunyai 2 sisi yang bertentangan.
Ada sisi baiknya bagi tumbuh kembang anak menjadi anak yang sehat dan cerdas, juga ada sisi buruk bagi orang tuanya.

Loh kok????


Beberapa Teori Parenting Modern Kekinian yang Bikin Ibu Gila 

Ada setidaknya nyaris depresi, dan bisa saja terjadi pada saya :


1. Stimulasi tumbuh kembang anak dengan montessori atau sejenisnya.

Sejujurnya, hingga kini saya belum ngeh banget ama yang namanya montessori dan semacamnya itu. Mungkin juga saya butuh adanya blogger gathering di Surabaya yang membahas hal ini, dan sayapun diundang serta dan dibayar, lol.
Baca : Sudahkah Si Kecil Tumbuh Kembang Sesuai Usianya?
Tapi sekilas dari yang saya baca, sekolah-sekolah anak piyik zaman now dengan metode tersebut biayanya sangat fantastis.

Lalu, sekilas juga sering liat teman-teman para mama yang punya anak, begitu bahagia mengajak anaknya bermain sekaligus stimulasi dengan montessori.

Beragam kegiatan yang kreatif dilakukan mereka bersama anaknya, dan melihat hal tersebut, sebagai ibu saya merasa gagal.

"Ini sebenarnya kamu stres gegara gak bisa nemani anak main dengan metode montessori yang keratif itu ya, Rey?"

IYAA... hiks..

Sebagai ibu yang kurang bakat seni dan kreatifnya saya merasa sedih. Dan semakin melihat stimulasi anak lainnya, saya semakin tertekan, atuh mah jangan sampai depresi ya, Rey.

2. Tidak boleh berkata 'JANGAN' pada anak.

Banyak teori-teori parenting modern yang mengatakan bahwa tidak boleh mengatakan kata 'jangan' pada anak, tapi gantilah dengan kata lain yang artinya sama tapi tidak mengandung kata larangan (jangan).

Misal : "jangan manjat-manjat dek, nanti jatuh"
Diganti : "main di sini aja dek, di situ bahaya"
Baca : Anak Mencoret Dinding? Yay or Nay?
Atuh maaahhh, sulit amat mikirin kata gantinya.
Bayangin, saya lagi masak, terus si adek manjat kursi, lagi fokus jagain wajan, eh saya kudu mikirin kata gantinya, hanya gegara gak boleh ada kata 'jangan'

Lagian, setelah akhirnya terbiasa tidak pernah mengatakan kata 'jangan'.
Lalu bagaimana caranya anak tahu apa maksud kata 'jangan' sedang selama ini gak pernah diajarin kata jangan, hahaha.

That's why, saya nggak peduli dengan teori tersebut, dan tetap mengatakan,
"ADEKKKK JANGANNN MANJAT ITU... NANTI JATUUHHHH, MAIN DI SINI AJA LOH"
Pakai intonasi yang agak naik 1/4 oktaf pula hahaha.
Oktafnya disesuaikan , soalnya kalau sampai 1/2 atau 1 oktaf, si bayi cengeng ini bakalan mewek nangis, cengeng kayak maminya :D


3. Parenting itu bukan hanya tugas ibu, ayah juga wajib hadir dalam mendidik anak.

Saya sih amat sangat maklum, tapi kadang beberapa orang terlalu dalam memahami maksud ini. Jadi seolah porsi kehadiran ayah itu sama dengan porsi kehadiran ibu.

IYA.. MUNGKIN MEMANG BENAR, SAMA PORSINYA.

Tapi, dalam realistisnya, hal tersebut amat sangat sulit diterapkan.
Jangankan berharap porsi kehadiran ayah sama dengan ibu, bahkan kadang kehadiran ibupun zaman sekarang berkurang, karena kudu kerja kantoran.

Apalagi ayah?
Baca : Ayah, Terimakasih Telah Memaksaku Jadi Perempuan Yang Kuat
Okelah, kalau beberapa orang yang sangat beruntung, punya suami dengan ritme kerja yang pasti, berangkat jam 5-6 pagi, pulang sampai di rumah pukul 7-8 malam.

Hanya ada satu jam sebelum pukul 9 malam ketemu anak.
Lalu Sabtu Minggu libur, bisa digunakan untuk bonding dengan anak, menerapkan teori parenting yang dipelajari.

LAH BAGAIMANA KALAU SEPERTI SUAMI SAYA?

Kerjanya di luar proyek, i mean proyek infrastruktur kayak bangun jalan tol itu, bukan proyek kayak bikin event apa gitu, hahaha.

I told you ya, bagi yang masih awam dengan kerjaan di proyek pembangunan infrastruktur, terlebih di masa hampir dekat pemilu ini, semua proyek itu DIWAJIBKAN HARUS CEPAT SELESAI SEBELUM PEMILU DATANG. Biar bisa buat pencitraan *eh *plak nyinyir aja kamu, Rey!
Kalau perlu, pakai ilmu membangun candi Sewu yang bisa terbangun dalam semalam aja, lol.

Jadinya, si pak suami amat sangat jarang TIDAK LEMBUR.
Kerja Senin sampai Senin eh maksudnya seminggu kerjanya nyaris 7 hari (kalau Rey gak manyun kayaknya kerjanya 7 hari terus alias kagak ada libur), sehari nyaris 24 jam, (kalau bisa mungkin mereka bakal kerja 24 jam).

Ye kan, baru saja jalan tol dibangun, besoknya orang udah ngomel, woiii kapan jalan tolnya jadi? lambat amat????
INGIN KU ISI MULUT ORANG YANG TERIAK-TERIAK ITU DENGAN BETON, eh salah yaaa...

INGIN KU COR JARI-JARI ORANG YANG SEENAKNYA TULIS PROTESAN DI MEDSOS ITU DENGAN BETON MUTU K500 biar jarinya sedikit beradab hahaha.

Intinya, apa yang ingin saya sampaikan adalah jika sang ayah harus bekerja mencari uang buat bayar SPP si kakak yang lebih mahal berkali-kali lipat dibanding SPP mami papinya saat kuliah dulu.
Lalu, bagaimana caranya memaksakan porsi kehadiran ayah sama dengan ibu??

Itulah yang saya herankan dari teriakan-teriakan ibu-ibu yang mengatakan tugas mengasuh dan mendidik anak itu sama antara ayah dan ibu.
Lalu saling menyalahkan, lalu saling bilang egois, lalu berlarut-larut, lalu pisah, naudzubillahi min dzalik, huhuhu

Sungguh saya gak ngerti dengan teori parenting tersebut, dan kadang bikin saya nyaris depresi.


4. Sekolah tidak bertanggung jawab akan akhlak dan kecerdasan anak

"Sekolah itu bukan tempat mencuci anak"
Atuh yaaa...
Menyekolahkan anak zaman sekarang itu bagai makan buah simalakama.
Maulah di sekolahin di SD Negeri, tapi ilmu agama Islamnya sangat minim.

Memilih sekolah Islam swasta, masha Allaaahhh.... SPPnya bikin sedih, uang masuknya bikin nangis, uang daftar ulang tiap tahunnya bikin nyesek.
Baca : Ketika Darrell Membuat Teman Perempuannya Menangis
Tapi butuh...
Lingkungan zaman sekarang serem amat..

Pemahaman-pemahaman asa kebebasan yang setiap hari mencari PEMBENARAN atas aturan agama Islam (khususnya) semakin digalakkan.

Mirisnya, hal ini banyak dianut oleh para mamah-mamah muda muslim zaman now, dan pengaruhnya amat sangat dalam.

Saking dalamnya hal-hal yang haq dan bathil susah dibedakan, yang salah menurut agama dicarikan pembenarannya, yang benar menurut agama, mati-matian dicarikan kesalahannya.

Duh sungguh ngeri bagi saya yang gagap agama Islam ini.
That's why, saya dan pak suami sepakat menikmati rasa sesak membayar SPP bulanan anak yang bikin huhuhu itu.

Lalu, bagaikan dipalu ama godam hati ini, ketika mendengar kata-kata 
"sekolah tidak bertanggung jawab atas akhlak dan kecerdasan anak, namun orang tualah"

INGIN KUTERIAK.
WAHAI PEMERINTAH!!

MOHON BIAYAI HIDUP KAMI, BIAR KAMI FOKUS TIAP HARI CUMAN NEMANI ANAK MAIN, BELAJAR MONTESSORI, MENGAJARI ANAK KAMI AGAMA DENGAN BAIK DLL..DLL..

Emangnya ada nenek moyang kita yang ngasih kita dana kucuran tiap bulan buat makan, bayar sekolah, bayar listrik??
Sampai waktu kerja kami dihilangkan saja demi mendampingi, mengasuh dan mendidik anak??

Atuh mah, saya kesal mikirnya.

Masih banyak sih hal-hal yang bikin nyesek, tapi saya udah capek nulis, udah malam, dan belom jemur pakaian di mesin cuci hahaha.

Semoga manfaat :)


Sidoarjo, 02 Januari 2019

32 komentar :

  1. Saya juga termasuk orang tua yang gak terlalu peduli sama teori-teori parenting. Padahal Saya praktisi pendidikan. Tapi saya setuju kalau sekolah itu bukan tempat untuk mencuci anak. Kenapa?! Karena jadi guru zaman now berat mbaaaak 😅, murid ditegor dikit polisi dateng ke sekolah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwkw, itu kayaknya penyebab utamanya ya mba, zaman now apa2 lapor polisi, dulu malah kita dijewer ama guru hahaha

      Gara-gara itu juga sekolah jadi gagal paham ama ortu, takut bertindak, dan menyerahkan ke ortu, ortupun pusing, merasa udah bayar mahal2 tapi kadang masalah kecilpun kudu sama orang tua.
      Teruuusss, kalau apa2 sama ortu, kapan dong kerjanya buat bayar SPP seabrek itu hahaha

      Hapus
  2. Ngebut amat nich Mbak Rey Nulis artikel.... ckkckckcck... salut... salutt... :)

    Sepertinya..... akan kesulitan utk membuat kata ganti, apalagi pikiran sedang galau, uang tipis, dll.... kalau orangnya super sabar, mungkin bisa yach mbak... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha, iya kang, udah dikejar2 waktu dan kerjaan, masih mikirin kata ganti wkwkwkw :D

      Hapus
  3. emang banyak banget sih yang bilang tidak boleh menggunakan kata "jangan" tapi ya kalau udah kebablasan mo gimana lagi? apalagi lagi di dapur lengkap dengan peralatan masak memasak.. hahahahaha..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha, selain itu, di Alquran aja banyak banget kata jangan haha

      Hapus
    2. Itu aja banyak yang melanggaaar 😂😂😂😂 *dibahas* ..

      Hapus
    3. @mba Ewa, wakakaka kaann...kannn...kaannn... apalagi kalau ga diajarin dari kecil *teteupppp :D

      Hapus
  4. Ngikutin kata hati aja Mom. 😂😂😂 .. Saya tipikal yang jarang ikut trend sana-sini sih. Entah itu gaya hidup atau lainnya. Cuma kadang ya gitu, sedikit di anggap agak aneh 😂 . Tapi sekiranya metode atau hal yang gak sesuai sama kita mah, emang gak perlu diikutin sih mbak. Yang paling tahu keadaan kan yang menjalani. 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Percayaaaa banget mbaaa, kalau saya sebenarnya masih punya pendirian, tapi kadang juga labil bin baper liat lainnya hahaha
      Kayak masalah tumbuh kembang anak pertama saya, dulunya saya kukuh gak ikutan kata orang, lah kok emang berdampak beneran, ya gitu deh, kadang emang kudu set pola pikir, kalau gak usah nambah beban hidup dengan teori kekinian itu hahaha

      Hapus
  5. Duh i feel you mbak 😂. Nah aku sendiri menemani anakku main montessori dengan riang nan ceria terus ada suatu saat aku lagi sibuk dan dia main kacang hijau dengan sepupunya. Beberapa minggu kemudian ketahuan anak berbiji-biji kacang hijau di telinganya 😅. Kapok setelah itu, semua perangkat montessori di simpan 😅. Aku paling stress perihal tumbuh kembang anak dan penggunaan gedget huhuhuhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwkwk, ups auto ngaka deh bacanya, jadi ingat anak pertama saya kemasukan butiran stereofoam di telinga nya terus kami panik keliling cari dokter ahli THT, setelah selesai, cuman diambil aja paai pinset trus bayar mahal, kamipun ngakak, kenapa pula kudu di dokter ahli, padahal di puskesmas juga bisa :D
      Tapi emang montessori itu butuh kesabaran dan waktu banyak dari pendampingan penuh ortu yang mana amat sangat tidak memungkinkan buat saya hahaha

      Hapus
  6. Benerrr
    Saya pun merasa capek sendiri kalau nurutun semua teori parenting yg mengharap eh menuntut ding ibu2 harus jadi sosok bijak tanpa boleh cela sedikit pun
    Huft

    BalasHapus
  7. Saya merasa teori parenting terlalu idealis jika sulit diterapkan dalam keseharian yang nyata. Saya baca teori agar bisa tambah wawasan, namun lieur sendiri karena rasanya saya tak bisa terapkan hal ideal itu. Ada banyak keluarga yang berbeda pola hidupnya.
    Sekolah tetap harus bertanggung jawab dalam pengembangan anak, bukankah itu membuat sekolah dekat dengan anak yang belajar di tempatnya. Saling bantu agar anak bisa berkembang lebih baik, jangan ngantepkeun alias membiarkan anak sampai mamahnya senewen dan depresi juga karena anak yang semula dididik dengan baik di rumah malah dibiarkan dan tak dibimbing dengan benar dan wajar. Itu pengalaman Palung kala TK. Saya trauma dan nyesal nyekolahinnya di sana. Gurunya gak memahami psikologi anak dan ilmu pendidikan dasar anak. sok galak dan disiplin namun pilih kasih dan terlalu keras dalam hal pembedaan dan pelabelan anak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbaaa, saya tuh paling suka baca tulisan mba meski di komen, selalu lengkap dengan penjelasannya kalau pakai bahasa yang gak biasa hehehe

      Itu salah satu hal yang bikin saya parno waktu sekolahin anak dulu.
      Kalau saya malah parnonya takut anak ikut lingkungan yang buruk, suka berkata kasar, saya selalu ngeri dengar anak zaman sekarang kalau ngomong kasar banget, duuhh

      Hapus
  8. kalo liat teori parenting jaman now kok kayaknya ribet amat ya banyak aturan ini itu... sampe pusing mau pake yang mana :D Tapi saya mah percaya bahwa yg paling tau anak adalah orang tuanya hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Absolutely mbaaaa, bahkan para pakarpun sebenarnya banyak yang hanya berteman teori saja, makanya kadang ga sesuai dengan yang terjadi di dunia nyata :)

      Hapus
  9. baca blog bunda, tapi belum punya anak. Nambah wawasan baru. Thanks for sharing!

    BalasHapus
  10. Kalau ga ngikutin dari teori parenting itu rasanya jadi merasa bad mom gitu ya mba.. Tapi da gimana, diikutin juga ternyata ga semudah membacanya, hihihi.. butuh proses dan kemauan yang kuat..
    Yang penting sudah ada niat dan berusaha terus jadi ibu yang baik menurut kita sendiri aja dulu.. sambil terus upgrade usahanya.

    BalasHapus
  11. Hem, yang buat teori parenting apakah sudah terbukti berhasil membuat anaknya sukses dan berhasil menjadi manusia? Jangan-jangan cuma pinter buat teori saja.

    Buat saya sendiri, menjadi orangtua adalah sebuah proses tanpa henti untuk belajar. Saya harus belajar tentang menyesuaikan kehidupan saya dengan kehidupan anak (dan istri). Saya harus menemukan caranya sendiri dan bukan bergantung pada teori yang dibuat orang lain.

    Mungkin sang pembuat teori berhasil menerapkan teori itu untuk keluarganya, tetapi keluarga saya berbeda, pasti berbeda, dengannya. Tidak akan sama karena manusia pasti berbeda. Belum tentu teori itu manjur dipergunakan untuk kita.

    Lalu kenapa harus diambil hati? Kenapa harus merasa menjadi bad mom?

    Baca saja teorinya sebagai pengetahuan, tetapi temukan cara dan gaya sendiri dalam menjadi orangtua. Baik atau buruk menurut ukuran orang bukan hal penting. Yang penting adalah anak kita pada akhirnya bisa menjadi anak yang mampu berdiri sendiri dan hidup berbahagia dengan jalan yang dipilihnya. Tentunya juga mereka merasa berbahagia memiliki orangtua kita.

    Bukan hidup sesuai teori orang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Awww... makasih yaaa pencerahannya :)
      Iya sih, saya juga gak yakin teori-teori tersebut dijalankan oleh yang bikin wkwkwk.
      Dan kalaupun ada yang berhasil jalankan, sudah pasti keadaannya beda dengan keadaan mama-mama lainnya :)

      Hapus
  12. Kenapa aku baca tulisan ini sambil ngegas sewot ya mbak. Apalagi yg caps lock itu. Haha... Aku jg sering make kata jangan kok. Mesti kapan gt Nahla sering niru2in..

    BalasHapus
  13. Setuju juga sih kalau dibilang sekolah bukan tempat mencuci anak. Saya sendiri guru. Sangat tidak mungkin saya akan bisa intens berinteraksi dengan anak per individu per menit di sekolahan. Mama papa tetap yang utama.
    Soal yang tercekik sekolahan bukan negeri , hehe.. saya juga ikutan merasakan nih. Duuh bikin ngap di awal bulan

    BalasHapus
  14. Dulu seneng baca buku parenting, ada beberapa yang saya setuju saya terapkan tapi yang tidak ya di skip. Tapi sekarang saya lebih suka mengikuti fb nya ust Harry Santosa. Di tulisan beliau menegaskan bukan cara karena kondisi tiap keluarga berbeda, dan setiap ibu punya insting untuk mendidik anaknya dengan baik yang di sebut fitrah keibuan. Yang penting adalah bagaimana menumbuhkan fitrahnya anak. Dan yang ini saya setuju sekali. Misal dari segi fitrah bakat aja tiap anak berbeda ya ga bisa pake metode montessory untuk semua anak.

    Anak saya tingkat kebawelannya diatas rata2 dan keingin tahuan tinggi serta kritis sekali serta berani bicara pada siapapun dalam kondisi apapun (8tahun) , dan saya yakin metode ajak duskusi berbagai tema itu yang terbaik bukan montessory dan cita2 masukkin dia les publik speaking. Jadi be your self tapi tetep upgred diri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah noted mba, sebenarnya saya lebih suka yang parenting Islami, karena memang itu wajib, makasih sharingnya, mau kepo FBnya ustadz Harry Santosa :)

      Hapus
  15. Dulu seneng baca buku parenting, ada beberapa yang saya setuju saya terapkan tapi yang tidak ya di skip. Tapi sekarang saya lebih suka mengikuti fb nya ust Harry Santosa. Di tulisan beliau menegaskan bukan cara karena kondisi tiap keluarga berbeda, dan setiap ibu punya insting untuk mendidik anaknya dengan baik yang di sebut fitrah keibuan. Yang penting adalah bagaimana menumbuhkan fitrahnya anak. Dan yang ini saya setuju sekali. Misal dari segi fitrah bakat aja tiap anak berbeda ya ga bisa pake metode montessory untuk semua anak.

    Anak saya tingkat kebawelannya diatas rata2 dan keingin tahuan tinggi serta kritis sekali serta berani bicara pada siapapun dalam kondisi apapun (8tahun) , dan saya yakin metode ajak duskusi berbagai tema itu yang terbaik bukan montessory dan cita2 masukkin dia les publik speaking. Jadi be your self tapi tetep upgred diri.

    BalasHapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)