Selama 25 tahun di Surabaya, meski nggak selama itu seterusnya di kota pahlawan, saya baru ngeh tentang gang-gang sempit dan (lumayan kumuh), setelah akhir tahun 2024 lalu.
Bermula dari saya mencari kontrakan yang terjangkau tapi harus dekat dengan sekolah anak-anak. Dan masalahnya adalah sekolah anak-anak tuh berada di lokasi yang dekat kampus terkenal, dan off course mencari kontrakan atau kos lumayan effort.
Mengapa cari sekolahan di situ, Rey?. Ya karena terlanjur masuk di situ, setelah awalnya berencana tinggal agak lama di rumah eyangnya yang berakhir trauma.
Baca juga : Kronologi (Merasa) Diintip Lansia Ketika Mandi
Well, sebenarnya kalau masalah tinggal di tempat yang kumuh di Surabaya, saya pernah ngalamin sebelumnya. Yaitu ketika masih kuliah.
Dulu tuh pertama kali kuliah, awalnya ngekos di tempat yang terbilang mahal buat ekonomi ortu saya. Jadinya saya hanya bertahan sebulan di kos tersebut, berikutnya pindah ke tempat yang jauh lebih terjangkau. Minusnya ya kosnya sangat sederhana, sampai-sampai jujur nggak sehat deh buat ditinggali.
Nggak heran selama ngekos di situ, saya bolak balik sakit, bahkan pernah sampai parah dan bikin ortu kebingungan.
Tapi gimana dong, orang keuangan ortu sangat terbatas.
Namun meski kosnya di tempat kumuh, semua kerempongan belum seberapa dirasakan, karena kan yang tinggal cuman saya sendiri, barangnya juga belum seberapa banyak.
Bandingkan setelah punya anak, barang lebih banyak, ada anak-anak yang harus dipertimbangkan kesehatan dan keamanan mereka.
Karenanya, setelah punya anak, kami sengaja nggak pulang langsung ke Surabaya, selepas dari Jombang, ikut paksu yang saat itu bekerja di proyek pembangunan jalan tol Jombang.
Kami memilih tinggal dengan mengontrak rumah di perbatasan Sidoarjo dan Surabaya. Karena kebetulan juga paksu saat itu kembali bekerja di proyek pembangunan tol Sumo dengan kantor di perbatasan Sidoarjo dan Surabaya.
Karena paksu juga sadar betul kalau istrinya ini introvert parah, makanya cari kontrakan ya di lokasi yang terbilang sepi dan tenang, salah satunya di kawasan kompleks perumahan.
(((Etapi dulunya saya pikir dia melakukan hal ini karena alasan saya yang introvert, akhir-akhir ini saya sadar, sebenarnya bapakeh anak-anak yang nggak mau tinggal di sembarang tempat)))
Jadi, selama bertahun-tahun kami terbiasa tinggal di komplek hunian yang terbilang sepi dan tenang. Bahkan selama kurleb 6 tahunan kali ya, kami tinggal di rumah mewah aka mepet sawah, hahaha.
Di situ nggak ada tetangga selain 1 orang aja, sementara rumah-rumah lain di blok tersebut kosong melompong dan kadang serem juga vibes-nya.
Setelah anak-anak pindah sekolah di Surabaya, mau nggak mau saya harus cari tempat tinggal sewaan di Surabaya. Awalnya sih kami masih bisa tinggal di satu tempat yang terbilang nyaman, full furnished, tapi mihilnyaaaaa.
Sampai akhirnya, di Oktober 2024 lalu, papinya anak-anak dengan kesadaran penuh menelantarkan saya dan anak-anak. Dan sejak saat itu saya berusaha pindah mencari tempat tinggal yang lebih terjangkau.
Baca juga : Ayah Santai Tiktokan, Anak Kelaparan ditemani Ibu yang Depresi
Dengan susah payah saya dan anak-anak keliling di sekitar sekolah mereka untuk mencari kontrakan atau kos yang memenuhi untuk saya dan anak-anak.
Nggak perlu terlalu luas sih, tapi juga nggak bisa yang kecil-kecil amat, karena saya harus tinggal dengan 2 anak sekolah. Buku-buku mereka aja udah memenuhi 1 ruangan luas, apalagi dengan barang urgent lainnya.
Ternyata, mencari kontrakan atau sewaan yang demikian di wilayah Surabaya Timur (terutama sekitar Gubeng), sangat sulit.
Ada sih, tapi mahal banget. Ada yang murah, rebutan banget deal-nya.
Dalam kebingungan saya berhasil menemukan beberapa informasi tentang rumah kontrakan kecil yang masih terjangkau lah untuk saya yang super bokek.
Tapi ketika di-survey ke alamatnya, shock banget saya dong.
Makanya harga sewanya agak terjangkau dibanding lainnya, ternyata letaknya di dalam gang sempit, yang saking sempitnya cuman bisa dilewati 1 motor saja. Itupun motornya nggak harus dituntun, padahal tuh gang masya Allah syekaleh panjangnya.
Belum-belum saya udah stres duluan mikirin pindahannya gimana?. Angkut barangnya gimana?. Jangan lupa saya adalah mamak-mamak dengan 2 anak, yang tentu saja barangnya gak kayak barang mahasiswa kuliahan.
Dan jangan lupa, saya korban penelantaran keluarga, bapakeh anak-anak nggak peduli dengan kami, jadi mau nggak mau pindahan harus mengandalkan diri sendiri dan anak-anak.
Baca juga : Mencari Kontrakan di Surabaya
Tapi sehebat-hebatnya ujian, tentunya Allah kasih juga jalan keluar, setelah berhari-hari keluar masuk gang di sekitar wilayah sekolah anak-anak, akhirnya saya menemukan 1 rumah kontrakan yang udah lama dipajang di grup facebook, tapi belum laku-laku.
Setelah janjian dengan empunya pemilik, kamipun memutuskan untuk datang survey lokasinya. Dan ternyata, iyessss, lokasinya ada di gang kecil yang cuman motor yang bisa lewat.
Tapi bedanya di lokasi ini gangnya nggak terlalu panjang seperti sebelum-sebelumnya yang saya survey. Dan karena itu pulak kali ya, jadinya harganya juga lumayan mahal, setidaknya buat saya.
Makanya enggak laku-laku, hahaha.
Namun udah nggak ada waktu, kami harus segera pindah dari kontrakan lama, jadi dengan berbekalkan uang yang tersisa, saya pun menyetujui untuk mengontrak di rumah tersebut.
Hidup di Gang Kecil di Surabaya Itu Ternyata,...
Dan begitulah, momen kehidupan di gang kecil yang ada di kota pahlawan pun dimulai.
Banyak banget hal-hal yang harus dijalani dengan sabar buanget, salah satunya masalah angkat barang pas pindahan.
Meski gangnya katanya bisa dimasukin kendaraan roda 4 sejenis Tosa, tapi ternyata nggak bisa seenaknya kita masuk gitu aja. Hal ini dikarenakan jalan akses gang kecil itu tak leluasa gitu aja, ada begitu banyak motor yang terparkir di depan rumah-rumah tersebut.
Tentu saja kendaraan tosa pun juga tak bisa masuk dengan mudah, alhasil kami mengangkut semua barang pas pindahan dengan motor. Dan akhirnya nggak bisa bawa lemari dan kasur.
Alhamdulillah empunya rumah kasih pinjam kasurnya, meski tipis dan kecil, tapi mending lah ketimbang nggak ada kasur sama sekali.
Hal nggak enak lainnya adalah, saya nggak bisa sama sekali buka pintu lama-lama, karena pas buka pintu tuh udah jalanan gangnya, mana hadap-hadapan dengan rumah lain, dan off course keliatan saya yang sedang nggak jilbaban.
Jadinya, pintu rumah nutup terus, jendela juga sama, karena takut ada yang ngintip.
Kendati demikian, saya bersyukur karena awal-awal kepindahan kami, ternyata ketakutan akan hal-hal yang nggak nyaman tinggal di gang kecil belum terjadi.
Saya kan takut dengan paksaan ibu-ibu harus sering ngumpul dan ikut arisan segala. Seperti yang sering terjadi banyak di tempat tinggal perkampungan gitu.
Tapi ternyata tidak.
Lingkungannya bahkan terbilang sepi, jam 8 malam udah pada tidur keknya, Jarang banget ada suara-suara kumpul di atas jam 8 malam.
Empunya rumah juga terbilang care, meminta bayaran iuran kampung dan lainnya melalui dia, biar nggak ribet katanya. Saya ikut aja, daripada harus ketemu ibu-ibu lainnya kan.
Tapi semuanya ternyata hanya permulaan, setelah beberapa minggu tinggal di gang tersebut, mulailah hal-hal yang nggak nyaman saya rasakan, khususnya untuk sifat introvert saya.
Hal ini bermula dari ibu yang punya kontrakan tersebut yang selalu baik dengan kami. Suka kasih makanan, kasih jajan anak-anak. Jujur saya yang nggak terbiasa dengan kebaikan terus menerus dari orang, jadi nggak nyaman.
Dan ternyata ketidak nyamanan itu berlanjut, si ibu lama-lama bukan hanya care dengan kasih makanan, tapi juga datang untuk ngobrol, kasih semangat dan lainnya.
Lah, bagus dong Rey?.
Iya, harusnya memang bagus. Tapi masalah utamanya adalah saya nggak suka cara itu.
You know, ketika si ibu datang, dalam 15 menit saya bisa tahu aib-aib tetangga hingga 5-6 tetangga, hahaha.
Katanya sih, berbagi cerita, biar saya belajar bersyukur dan mengerti, kalau yang susah bukan cuman saya.
Dari alasannya saja saya udah nggak nyaman.
I mean, memangnya saya nggak tahu kalau di dunia ini banyak yang susah, bukan cuman saya?. Tau banget lah, kagak usah diceritakan dan dinasihatin gitu, akoh udah terlalu tuwah untuk menyadari hal itu.
Dan, masalah saya ya saya, nggak usah dicampurkan dengan masalah orang lain dengan alasan suruh saya bersyukur.
Lalu yang paling nggak nyaman adalah, saya nggak suka banget loh tau banyak aib orang lain. Jadi beban banget. Apalagi buat saya yang memang jarang berinteraksi, dan lagi punya masalah sendiri pulak.
Ternyata, meski gangnya sepi, hal-hal nggak nyaman seperti itu tetap terjadi juga, dan jujur ini bikin ketenangan kami terusik.
Dan akhirnya di bulan ke-3 kali ya, empunya rumah tiba-tiba WA bilang katanya mau pakai rumahnya, dan saya diminta pindah.
Jujur meski sedih dan kesal banget, karena plis lah saya baru aja menarik nafas lega atas rempongnya cari kontrakan, kok ya udah disuruh cari kontrakan lagi.
Pengen marah banget sama kehidupan, tapi untungnya masih banyak teman-teman yang kasih semangat meski lewat online.
Jujur, saya lebih suka disemangatin teman-teman online ketimbang oleh tetangga yang cuman kepo dan suka bawa aib-aib tetangga lainnya.
Dan setelah menangis sama Allah, ditunjukanlah jalan keluar yang meskipun saya kurang yakin, tapi nggak ada pilihan lain yang lebih baik dari itu.
Apa itu?.
Tiba-tiba banget mama saya nelpon suruh pulang.
Untuk kisahnya saya akan tulis lengkap di e-book kedua saya yang entah kapan nih selesainya, hahaha.
Jadi begitulah pengalaman saya tinggal di gang sempit kota Surabaya. Nano-nano banget, menyedihkan banget karena sulit banget proses pindahannya, karena kendaraan angkut barang nggak bisa masuk.
Belum lagi dengan tingkat kekepoan tetangga yang semakin intens, saking rapatnya rumah-rumah yang ada.
Jadi, bagi yang ingin mengontrak rumah di gang kecil, sebaiknya pahami dulu hal-hal yang jadi tantangannya. Mulai dari gimana cara angkut barang pindahan?, apakah nggak masalah dengan interaksi tetangga yang kepo dan lebih intens?. Jadi sulit nutup pintu karena pas banget dekat jalan gang.
Meskipun, ada juga hal-hal positifnya, salah satunya ketika ketemu tetangga yang sering ngasih makanan atau semacamnya.
Elweel, 07-05-2025
Lumayan mb Rey, dari ibu2 itu serasa punya cctv se RT :)
BalasHapus