Anak Juara Kelas Bukanlah Segalanya, Tapi Ini 3 Manfaat Utamanya!

anak juara kelas

Sharing By Rey - Lagi marak di media sosial, meski sudah lewat nyaris seminggu sih, masalah anak juara kelas.

Hal ini bertepatan dengan penerimaan rapor yang sepertinya diadakan nyaris serempak se Indonesia, di hari Sabtu 21 Desember 2019 lalu.

Akibatnya sudah bisa ditebak!
Media sosial bertebaran postingan nilai rapor anak-anak, baik yang posting foto rapornya dengan nilai sempurna, hingga update status semacam,

"Alhamdulillah, si kakak juara 1 lagi"
Dan, bisa ditebak juga, reaksi netizen.
Banyak yang iri dong, hahahaha.

Mulailah bermunculan postingan yang menyanggah hal tersebut, mulai dari memberikan opini bahwa pamer begituan bisa jadi penyakit 'ain.
Hingga akhirnya melebar ke masalah, bahwa anak tidak juara kelas bisa sukses, sementara yang juara kelas, jauh dari kata sukses.

Makin melebar reaksinya, sehingga bertambahlah ibu-ibu yang insecure, khususnya ibu rumah tangga.
"Saya dulu juara kelas terus, saya kuliah lulus IPK 4, tapi ujung-ujungnya duduk diam di rumah saja, jadi IRT, teman saya dulu juara kedua dari belakang, sekarang sudah sukses kerja di perusahaan bagus"
Wow! HANYA DUDUK DIAM DI RUMAH SAJA, JADI IRT?

Penasaran saya, memangnya IRT itu cuman duduk diam aja setiap hari?
Sementara saya, bahkan mau nulis ini, saya rela begadang belum tidur sama sekali sejak kemarin loh, lololol.

Ya begitulah.
Kadang kita para wanita ini rempong sendiri.
Kita ciptakan pola pikir yang picik sendiri, lalu setelahnya kita insecure sendiri, hingga akhirnya stres berujung depresi.

Atuh mah, padahal ya, BAHAGIA ITU ENAK LOH!
Ngapain juga kita rempong stres oleh pola pikir kita sendiri? hahaha.

Balik ke masalah juara kelas.

Kalau ngomongin juara kelas, saya tunjuk jari dong!
Sayapun dulu juara kelas mulu, terutama waktu SD.
Saya hanya boleh menempati urutan juara 1 atau 2, sampai saya kelas 5 SD.
Setelah naik kelas 6, saya wajib juara 1.

Mengapa?
Agar betis aman dari biru-biru dihajar bapak saya, lol.
Iya, saya nggak pintar-pintar banget sebenarnya, saya juara kelas karena saya belajar yang rajin, makanya saya bisa jawab pertanyaan saat ulangan, dan lalu saya keluar sebagai juara 1.

Ye kan, dipukul pakai kayu di betis itu sakit loh,
Eh nggak sakit saja sih, tapi SAKIIITTTTT BANGET!
Betis saya yang kayak betis belalang itu sampai biru-biru dan memarnya baru hilang beberapa hari kemudian.

Bahkan, tidak jarang saya sampai ngompol di celana, saking takut dan sakitnya dipukul bapak, hiks.

Tapi, tidak ada hal yang sia-sia, berkat pukulan bapak tersebut, saya tumbuh jadi wanita yang kuat, selalu semangat berbenah agar menjadi lebih baik setiap saat, dan pastinya open minded.

Karena didikan keras tersebut pula, saya bisa bertahan di jalan yang benar.
Kuliah jauh dari orang tua, tapi masih bisa menjaga diri, masih bisa menepati janji bisa lulus dengan cepat, minimal nggak bikin dompet orang tua makin jebol karena bayar SPP kuliah saya.

Lalu, apakah saya sekarang tidak sukses?

TENTU SAJA SAYA SUKSES!

Sukses itu sesungguhnya, bagaimana pola pikir kita memaknai kesuksesan tersebut.
Jadi, tidak melulu sukses adalah punya uang banyak (menurut saya loh ya).
Saya yang sekarang, tentu saja merasa sukses, karena saya selalu semangat untuk hidup lebih baik lagi.

Sukses bagi saya bukanlah tujuan, tapi perjalanan.
Saat saya menikmati perjalanannya, di situlah letak kesuksesan saya.

Justru, saya sedih melihat banyak orang, khususnya IRT yang masih juga melihat kesuksesan dari pola pikir punya karir oke, uang banyak, jalan-jalan ke luar negeri dan semacamnya.

Kasian banget kan ya.
Iyaaa, kalau berjodoh dengan suami kaya, kalau enggak?
Yang ada dia bakal menderita selamanya.

Sukses adalah, bahagia.
Jadi, cara termudah untuk sukses ya cukup ubah pola pikir kita dan bersyukurlah.

So, kata siapa anak juara kelas nggak bisa sukses?
Nih contohnya, jarang banget kan ada orang yang dalam pandangan orang kebanyakan, masih hidup berkekurangan, tapi merasa dirinya sukses??

Iya, kayaknya sih cuman si Rey aja, wakakakakakak.


3 Manfaat Anak Juara Kelas


manfaat anak juara kelas

Saya percaya, anak yang juara kelas itu, kebanyakan adalah anak yang punya semangat tinggi untuk mendapatkan juara tersebut.
Sepertinya amat sangat jarang ada anak yang ujug-ujug langsung juara kelas saja.


Mungkin ada, tapi biasanya anak spesial needs.
Nah, dengan itu, anak juara kelas itu bukanlah sesuatu yang tidak pantas diperjuangkan.

Karena manfaatnya amat sangat banyak, baik untuk anak sendiri, maupun orang tuanya, khususnya ibunya.

1. Anak juara kelas adalah anak disiplin


Tahu nggak sih, ada begitu banyak orang yang (merasa) gagal dalam hidupnya, yang penyebabnya adalah ketidak disiplinan.

Dengan punya target juara kelas, anak secara otomatis dilatih untuk disiplin.
Harus pandai memanajemen waktu, di mana waktu itu erat kaitannya dengan kedisiplinan.

Membiasakan anak memanajemen waktu sejak kecil, insha Allah akan menjadi good habbit yang sungguh luar biasa di masa dewasanya.
Saya misalnya, karena sejak kecil terbiasa hidupnya teratur, saya bisa depresi kalau hidup saya malas-malasan aja, hahaha.


2. Anak juara kelas adalah anak yang selalu semangat berjuang


Meraih posisi juara 1 itu mudah sebenarnya. Yang sulit itu mempertahankan!
Kalimat itu selalu saya ingat sejak saya SD dulu, kepala sekolah kami sering banget mengulang kalimat tersebut saat pengambilan rapor.

Iya sih, meraih juara 1 lebih mudah, karena biasanya orang-orang yang duduk di posisi nomor satu cenderung merasa puas karena sudah tidak ada yang harus ditaklukan lagi.
Sikap demikian, membuatnya lengah, sehingga tampuk urutan pertama, bisa dengan mudah kita rebut.

Masalahnya, setelah itu kita harus mempertahankannya, dan untuk itu amat sangat butuh semangat tinggi agar tampuk urutan pertama itu tidak bisa direbut orang lain.

Untuk saya pribadi, hal itu menimbulkan efek yang luar biasa.
Bagaimana tidak, semangat tersebut seolah membuka semua keran energi saya, sehingga energi saya jadi sedemikian besarnya.

Itulah yang membuat saya bisa bertahan hidup jauh dari keluarga, bisa bekerja di mana saja dengan memberikan kinerja terbaik.
Bisa bangkit cepat dari keterpurukan.

Bukan saya banget deh, kalau lagi stres terus kurung diri berhari-hari di kamar, saya nggak kuat.
Saya pasti keluar dan mencari solusinya.
Demikian juga saat bekerja di luar.

Saya bahkan bisa pingsan, lalu sadar, bangun dan mulai menghadap komputer lagi, kerja lagi dong hahaha.
Saya menolak disuruh pulang, ya iyalaaah, kalau saya pulang, tetap saja kerjaan saya nggak kelar, dih.


3. Anak juara kelas menjadi pencapaian dan obat depresi ibunya.


Ini mungkin terdengar kontroversial!
Karenanya, harap disimak dengan seksama.

Banyak yang menyarankan agar seorang ibu sebaiknya jangan terlalu memaksa anak untuk juara kelas. Iya, untuk poin ini saya setuju.

Namun menyemangati anak untuk juara kelas, mendampinginya, mengajarinya dengan kasih sayang, membantunya, menemaninya berjuang itu amat sangat dianjurkan.

Yang perlu dihindari itu, pola asuh pemaksaan kayak bapak saya, meski jujur efeknya bisa bikin saya jadi lebih baik, namun tidak semua anak bisa mengubah efek negatif seperti yang saya alami, jadi lebih positif.

Karena kondisi mental tiap orang kan beda.

Maksud dari poin nomor 3 ini, berhubungan dengan insecure-nya seorang ibu, khususnya IRT, yang merasa SHE JUST A HOUSEWIFE!
Dia tidak berguna, dia hanya mengurus anak, nggak keren kayak kerja kantoran.

Nah, mengapa nggak bikin saja, mengasuh anak itu kayak kerja kantoran?
Meskipun, nggak kita bikin saja, kerja jadi IRT itu amat sangat lebih keren dari kerja kantoran (setidaknya bagi saya), karena saya pernah kerja kantoran bahkan di proyek, super sibuk sampai nyaris tiap hari lembur.

Tapi sungguh semua kerjaan itu MUDAH dibandingkan kerjaan rumah yang tak berujung ini hahahaha.

Kalau memang kita sebagai IRT merasa tidak bahagia dengan kondisi kita sebagai IRT, mau kerja lagi tapi nggak memungkinkan.
Daripada kita depresi tidak berujung, mending kita bikin aja kerja di rumah kayak kerja kantoran.

Jobdesc-nya ya step by step mendidik anak.
Goal-nya? anak juara kelas.

Kerjakan jobdesc tersebut dengan sepenuh cinta, anggap saja lagi kerja kantoran, bukankah kinerja kita hebat dalam kerja kantoran?

Jika itu tercapai, anak dapat positifnya, kita ibunya dapat pencapaiannya.
Bahagia, dan akhirnya bisa berdamai dengan stresnya jadi IRT.

TENTUNYA...
Ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi ya, seperti kerja kantoran.
Kalau gagal ya perbaiki, jangan marahin anaknya, jangan pula sibuk meratapi diri dengan menyalahkan diri sendiri.

ANGGAP SAJA KERJA KANTORAN.
Memangnya kalau kerja di kantor dan kita gagal, kita langsung gebukin kerjaan itu?
Enggak kan? hahaha.

So, sekali mendayung, bisa snorkeling sambil liat ikan *loh? hahaha.


Begitulah, sesungguhnya anak juara kelas itu tidak melulu salah loh, pamer hasil sekolah anak di medsos juga tidak salah kok.
Ye kan, ini pamerin diri sendiri, sesuatu yang positif, enggak merugikan orang lain, enggak menjelekan orang lain.

Di mana salahnya coba? 

Berarti, ibu-ibu yang julid tentang anak juara belum tentu sukses itu salah dong?
ENGGAK JUGA DONG!
Biarkanlah orang berekspresi sesukanya, menghibur diri atau mengeluarkan opini.
Selama nggak merugikan orang lain.
Ya biarin saja!

Jadi, ada yang tertantang menjadikan anak juara kelas sebagai goal jadi IRT?
Saya sih enggak!
Soalnya di sekolah anak saya nggak ada yang namanya juara kelas, lololololol.

Etapi, saya juga punya goal dong.
Saya ingin anak saya tumbuh jadi anak yang mandiri, disiplin dan selalu positif thinking serta semangat meraih hal-hal yang positif.

Oh ya, tulisan ini adalah opini berdasarkan pengalaman saya semata, tentunya mungkin berbeda dengan lainnya. So, bukan berarti ini baku ya.

Begituhhh...

Sidoarjo, 25 Desember 2019

@reyneraea

Sumber : pengalaman pribadi
Gambar : unsplash

28 komentar :

  1. Memang bukan segalanya seorang anak juara kelas atau juara lainya.

    Tetapi setidaknya kita punya gambaran positif untuk anak kedepannya nanti.😄😄

    BalasHapus
  2. dulu waktu SD sempat juara kelas, tujuannya buat apa coba, bapak saya selalu kasih janji beliin baju baru**yg ga hrs nunggu lebaran** atau ngajak rekreasi ke ragunan, taman mini, safari, tapi ya itu berjuang cuma buat liat wak aung*nyebut orang utan** motivasinya itu doang, pengen pake baju baru saat jalan2 ke taman mini*sesimpel itu..beda lah sma anak skrg, punya baju bagusan aja nunggu juara dulu

    BalasHapus
    Balasan
    1. huhuhuhu, enak banget sih.
      Saya mah waktu lulus SD juara 1 se rayon, dan nggak dikasih hadiah apapun, cuman nggak kena pukul aja hahahaha

      Hapus
  3. Hahaha
    Orang tua saya juga termasuk jenis orang tua yang mengharuskan anaknya juara, meskipun mereka ga bisa maksa juga ke saya karena saya termasuk beda dengan dua saudara saya yang langganan juara 1 di kelas.
    Saya pernah sih beberapa kali, tapi harus extra keja keras dan itu menyiksa banget. Cuman, di banding dua saudara saya, saya lebih berani dan punya kepercayaan diri lebih sehingga banci tampil.

    Segala sesuatu ada plus minusnya, cuman gitu netizen suka berlebihan, terlampau over reaksinya terhadap sesuatu, hahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar ya, selalu ada plus minusnya.
      Saya sebenarnya nggak pinter banget, tapi dipaksa pinter, dan karena didikan itu, saya bisa jadi seorang yang daya juangnya tinggi kayak sekarang :D

      Hapus
  4. Saya termasuk langganan juara kelas dulunya hihi, tapi ortu saya justru biasa saja (lebih sering ditinggal karena mereka sibuk semua)~ cuma dulu seingat saya, saya memang kompetitif anaknya jadi selalu mau belajar agar nggak tergeser peringkatnya. Nah, mungkin karena kecilnya terlalu memforsir diri untuk jadi juara, ketika masuk SMA, saya justru jadi pemalas dan nggak peduli dengan peringkat. Alhasil nggak pernah lagi juara bahkan terlempar dari 3 besar, walau masih di 10 besar :D

    Semakin ke sini, saya pun semakin malas, jadi heran juga kenapa dulu bisa jadi juara kelas. Tapi sepengamatan saya memang ketika saya jadi juara, itu lumayan berefek ke orang tua saya. Mereka jadi lebih percaya diri hahaha dan untungnya orang tua saya bukan tipe yang galak dan membebaskan saya mau jadi apa nanti :D

    By the way, sudah lama nggak berkunjung ke blog mba Rey hihi. Apa kabar mba? Semoga sehat selalu yaaaa, kangen juga baca cerita-cerita di sini~ :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ih kangen bener nih :D

      Btw sama nih, sayapun, setelah jauh dari ortu saya semakin malas hahaha.
      Cuman, pemaksaan bapak saya sejak saya kecil ternyata sudah melekat dan jadi habbit yang sulit dihilangkan, salah satunya adalah saya selalu nggak suka lama-lama di bawah, saya maunya di atas :)

      Hapus
  5. Einstein di sekolah sampai dikelurin saking dianggap bodohnya. Saya suka baca otobiografinya setebal 746 halaman dalam bahasa ibrani (kebetulan kakekku mengajarkan bahasa itu dulu kepadaku) lalu kuulang membacanya dalam bahasa inggris, halamannya malah bertambah tebal.

    Ibunya memang sempat kecewa, lalu sadar Einstein hanyalah anak anak. Disangka penyandang disabilitas, jadi disini peran seorang ibu sangat besar, dia tidak putus asa, karena tau anaknya sangat pintar bukan spt anggapan guru guru yang telah mengeluarkan dan menolaknya saking sulitnya membuat Einstein mengerti pelajaran.

    Saya ingat apa kata kata salah seorang guru: dia tidak bisa diajarin, kurang dapat menangkap pelajaran.

    Alpha Edison dianggap tukang contek saking tidak perhatiannya sama mata pelajaran. Bill Gate hampir membuat ibunya frustasi karena berhenti kuliah dan sebagai pelajar dulu dia biasa biasa saja.

    Einstein bilang, imajinasi lebih penting daripada kecerdasan.

    Dunia pendidikan bercampur dengan jargon bisnis: Jika mereka bilang sekolah pavorit, jika mereka bilang mendidik anak anda jadi jenius, mereka hanya mau bilang: inilah bisnis.

    Semua ada benarnya: mendidik anak dan menjadikannya juara kelas pasti akan berdampak positif seperti terungkap pada artikel ini. Tapi tidak bisa dipaksakan. Itulah alasannya mengapa sistem pendidikan harus segera di rombak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sumpah ya, saya iri banget sama orang-orang yang pengetahuannya luas dan menguasai banyak bahasa, dan melahap banyak buku dalam berbagai bahasa.

      Itu impian saya waktu kecil, entah mengapa semakin besar, saya semakin malas, lebih tepatnya saya semacam dipenjara oleh waktu yang sempit, hidup dengan pasangan yang pola pikirnya seluas daun kelor, *curcoolll..

      Thanks ya, saya jadi terinspirasi untuk lebih rajin baca, baca yang berbobot bukan gibah melulu hahahaha

      Hapus
  6. Setuju, Mbak Rey, jadi ibu rumah tangga bukan berarti terpuruk dan tidak sukses. Pastinya akan sangat membanggakan jika menjadi seorang ibu yang bisa membesarkan anak-anak yang sehat dan cerdas. Dan itu juga termasuk salah satu bentuk kesuksesan pula. Semoga saja aku segera dikaruniai anak supaya bisa merasakan nikmatnya mendidik anak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, semangat.
      Sekarang siapin mental saja, insha Allah semua akan indah pada waktunya :)

      Hapus
  7. interesting, saya juga ngalamin energi yg sama waktu mnati-matian pertahanin juara kelas dulu dan yep, juara kelas bukan karena pinter, tapi karena semangat mati-matian belajar hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi, gapapa, semangat itu insha Allah jadi good habbit :D

      Hapus
  8. Saya belum di tahap ini sih, Mba. Karena anak masih kecil.

    Juara kelas atau enggak, emang bukan masalah utama. Yg penting anak bisa enjoy dengan dunianya di sekolah. Gitu sih yg saya baca, hehehe.

    Soal IRT, aaakk, setujuuu dan dapat pencerahan banget. Saya masih sering ngeluh ke paksu krn melihat karier teman wanita di grup angkatan yg udah woke2 banget. Iri sih wajar ya. Tapi saya ga boleh lama2 krn hidup kita udah beda. Dan IRT adalah pilihan saya.

    Makasih, Mba Rey, buat sharingnya. Jadi semangat lagi ngurus keluarga.^-^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba, kalau di anak memang yang terpenting dia enjoy, tapi yang saya maksud di sini, menjadikan anak juara kelas tapi dia enjoy itu bisa jadi goal kita loh saat merasa hidup jadi IRT itu nothing hihihi.

      Semangat Mba, wajar kok semuanya, saya juga pernah ada di masa itu, believe me, waktu bakal membuat kita jadi lebih dewasa :)

      Hapus
  9. Juara Kelas itu belum tentu akan membuat seseorang jadi sukses dimasa akan datang. Karena masih tergantung dng banyak faktor, salah satunya adalah Faktor " NASIB ". # Dan Contohnya adalah saya, hahaha.....,

    Malu rasanya saya Mbak, kalau ingat masa lalu, terlihat berprestasi, tapi kok nasibnya kayak " ngene ". :).

    Tapi apapun nasib kita, kita tetap kudu bersyukur, mungkin inilah jalan terbaik. Siapa tahu kelak kita bisa sukses juga....minimal sukses menjadi blogger atau Yotuber gitu. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah kang Nata cuts citanya dulu pingin jadi dokter ya.. 😁

      Hapus
    2. Semangaaatt Kang!
      Sebenarnya sukses itu ada di pola pikir saja.
      Saya sudah belajar untuk lebih cerdas menyikapi kehidupan, daripada meratapi hidup yang belum saya capai, meding menikmati perjalanan saya sebagai bentuk kesuksesan bagi saya hihihi.

      Kang Nata mah juga hebat, terlihat 'ngene' tapi saya sungguh salut akan perjalanan hidup kang Nata yang saya baca di blognya :)

      Hapus
  10. Sistem pendidikan Indonesia dari dulu sampai sekarang masih mengkotak kotakkan prestasi anak dalam sebuah ranking rapor, jadi wajar kalau orang tua membanggakan ranking anaknya. Kalau sistem pendidikan berubah sesuai dengan minat bakat anak,pola pikir orang tua pasti berbeda

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi iya juga ya Mba, cuman sepertinya masih sangat jauh untuk bisa mengubah pola pikir ortu tentang juara, karena meskipun sesuai minat bakat, pasti ada persaingan juga di situ :D

      Hapus
  11. Seperti biasa, dari tulisanmu aku sering jd kepikiran utk ngelakuin 1-2 yg kamu saranin. Kayak tentang kerjaan IRT dibuat seolah kantoran dengan segala job desknya, itu keren sih menurutku Rey. Dan bakal aku praktekkan pas aku resign ntr. Setidaknya aku bakal ada target yg hrs dicapai lagi supaya hidup ga monoton kalo udh ga kantoran. Dan buatku justru tantangannya jauh LBH gede drpd target kantor :D.

    Kalo ttg ranking, jujur aja aku jg ga mentingin itu. Lbh pgn tau apa aja kelemahan dan kelebihan si Kaka di sekolah. Dr situ aku bisa LBH fokus mengarahkan Fylly utk bisa kuat setidaknya di 1 bidang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, aku juga ngerasa keren pas bagian kak rey ngejelasin menghalau segala insecuritas dengan mengubah pola pandang yakni jadikan tanggung jawab di rumah sebagai konsekuensi dari pilihan kita yang irt ini sebagai job desk dengan gambaran kayak kerja kantoran, outputnya keberhasilan anak mencapai perkembangannya.

      Tapi sama kayak mb fanny n kak rey, ga dengan jalur memaksakan juga, yang penting apa yang sekiranya bagus di mana, ya arahannya ke situ. Dari situ kita sebagai ibu yang memilih di rumah dan menangani sendiri proses mendidik anak jadi bisa ngukur kayak kerja kantoran, o jadi performa kita kayak gini nih n bla bla bla nya....kalau blom kecapai target atau goal yang dimau, kita bisa lebih instrospeksi dan mengupayakan yang tetbaik lagi supaya paling ga kelihatan di anaknya langsung bagaimana prosesnya.

      Yang penting kita happy anak juga ikutan happy seiring sejalan dengan mood emaknya

      Hapus
    2. Sebenarnya juara kelas yang saya maksud ini bukan ke pemaksaan sih, tapi lebih ke goal kita sebagai ortu, dan manfaat buat anak.

      Jadi keduanya bersinergi.

      Anak juara kelas, melatih dia untuk punya daya juang buat bersaing dan bertahan.

      Pengalaman hidup saya nih yang membuat saya berpikir seperti ini.
      Ada kalanya, hidup kita tidak bisa sejalan dengan passion dan keinginan kita.

      Ada kalanya, kita harus melewati jalan berduri yang kita nggak sukai hingga akhirnya sampai di minat dan passion kita.

      kalau kita nggak terbiasa punya daya juang dan bertahan sejak kecil, yang ada kita bakal depresi.

      Ini yang terjadi pada banyak sekali wanita zaman now, eh dan pria sih.

      Kita ambil contoh Kim Ji-Young meski hanya sebatas fiksi.

      Dia terpaksa harus menjalani kehidupan yang sama sekali dia tidak sukai, tapi memang nggak ada jalan lain, akhirnya? dia depresi.

      Ini juga yang terjadi sama saya dan suami.
      Saya sejak kecil dipaksa harus bisa, sementara suami hanya diarahkan buat bersaing.

      Sekarang? saya jadi pejuang sejati, sementara suami cenderung lari dari kenyataan, bukan salahnya juga sih, hanya saja dia tidak terbiasa berjuang.
      Jadi saya yang harus ngalah berjuang hiks.

      Saya tidak mau anak-anak saya seperti itu, terlebih mereka seorang lelaki.

      Nah untuk ortu atau ibunya, dengan goal anak menjadi juara kelas atau juara apapun itu, TENTUNYA HARUS DENGAN CARA YANG BENER.
      Itu juga mau nggak mau memaksa kita untuk lebih smart lagi menjadi seorang ibu, dan bukankah itu keren? kita bukan ibu biasa, kita ibu rumah tangga yang luar biasa.

      Begitu kira-kira penjabarannya hahaha

      Hapus
  12. Aku jadi ngebayangin, kalo si Arfan sekolah nanti apa yang bakal aku lakukan kalo nantinya dia gak juara kelas? belum kepikiran mbaaa reyyy.. hehe

    aku sendiri, sejak SD sampai lulus sekolah selalu merasakan juara kelas. Dan berkat itu, aku jadi selalu dapet beasiswa, bahkan sampai lulus kuliah. Alhamdulillah, ortu ku jadi gak merasakan susah nya bayar sekolah.

    Ya, emang dulu salah satu tekad ku untuk jadi juara kelas memang agar dapat beasiswa dan bisa meringankan beban orang tua. hanya itu aja pemikiranku. Bukan untuk supaya sukses saat sudah kerja nanti dsb.

    Jadi, ya emang betul anak yang juara kelas memang belum tentu sukses, saya aja contohnya dulu juara kelas sekarang ya belum bisa juga dibilang sukses. hahaha.. tapi kan setidaknya dengan begitu bisa meringankan beban orang tua nya.

    Oleh karenanya kalo ada yang pamer status anaknya juara kelas gak perlu lah dibalas statusnya dengan "juara kelas belum tentu sukses" lebih baik dikasih ucapan selamat aja. hahaha :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, mamak blogger keceh langganan menang lomba blog ini, apanya yang belum sukses say? ih dirimu mah sudah punya segalanya kok, insha Allah lebih hebat lagi :*

      Tenang saja, anak saya juga nggak punya prestasi khusus kok, selain di sekolahnya nggak ada juara-juaraan, pun juga saya mengerti bahwa pelajaran sekarang itu sulit hahahaha.

      Saya malah takjub banget kalau liat si kakak pulang bawa nilai 100, soalnya dia juga terbilang anak yang jarang belajar serius kalau di rumah hahaha.

      Goal saya juga terhadap anak bukan tentang juara kelas, namun memang caranya saya seperti mendukung anak untuk juara kelas.

      Dan PR terbesar saya adalah mendidik anak menjadi lelaki pejuang tangguh, tahan tekanan hidup, disiplin dan menikmati prosesnya, jadi sukses bukan tujuan, tapi perjalanannya :)

      Hapus
  13. Aku dulu rermasuk langganan rangking 1 di usia sd dan smp, sma mentok di 3 besar...ya maju mundur antara rangking 2 dan 3 hahahah
    Kuliah masih akademic minded, pokoknya ip paling ga 3 koma sekian, hoho...cukup stress juga sih hidup dlam keadaan penuh pressure bgitu walau dalam bahasa nyatanya ga ada yang mewajibkan, cuma kalau secara tersirat iya...didorong untuk selalu berprestasi di atas kertas...sebab memang lingkungan keluarga menekankan pendidikan banget..,
    Nah setelah kerja 3 tahun, lalu merried, dan ketemu suami yang super duper berpikiran sellow ga sekemrungsung obsesi tinggi atau sekompetitif lingkungan keluarga urusan pendidikan, jadi makin ke sini juga makin tahu keragaman cara pandang tentang pendidikan

    Jadi ketika dulu langganan juara dan prestasi di atas kertas sekarang jadi irt, alhamduilah tetep happy, insyaalloh, ya walau ga tau juga roda kehidupan ntar gimana apa tetap terus jadi irt atau ada kemungkinan kemungkinan lain

    Hihih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau saya kuliah udah mulai males Mbul, maklum jauh dari ortu, dan ortu saya nggak kuliah, jadi mereka nggak ngerti penilaian kuliah yang nggak ada juara kelasnya hahahaa.

      Tapi sama aja, pemaksaan dari bapak di masa kecil udah melekat sulit dihilangkan, jadi saya tetep berusaha mendapatkan nilai bagus, berusaha cepat lulus.

      Kalau pak suami orangnya selow, tapi selownya terlampau juga buat seorang lelaki hahaha.

      Jadilah, habbit selalu berjuang di masa kecil, kepakai banget setelah menikah.
      Soalnya nggak bisa juga sepenuhnya bergantung ama suami, dia bakalan patah nggak kuat digantung hahahahahaa *curcooll

      Hapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)