Film Tully, Rey Dan Depresi Pasca Melahirkan

review film tully

Sharing By Rey- Bermula dari share postingan seseorang di grup MHI, sebuah grup yang menampung ribuan orang untuk diedukasi dan sharing masalah depresi khususnya postpartum depression maupun baby blues.

Saya akhirnya kepo dan mencari review film Tully ini di google.

Eh ternyata malah nemu trailernya yang bikin saya makin nggak bisa ngapa-ngapain sebelum menonton filmnya dengan lengkap.
Mamak Rey mah gitu, kalau ada maunya, sampai dapat baru bisa tidur, hahaha.

Tapi... di youtube nggak nemu dong, filmnya.

Nggak nyerah, saya pelototin satu persatu link yang ada di google.
Dan lucky me, akhirnya nemu dong.
Kagak usah minta link-nya ya, soalnya kan sebenarnya itu nggak boleh ya, nyebarin film utuh gitu di internet (tapi kamu malah nonton, Rey!, lololol)


Dengan penuh semangat saya mulai menontonnya, pas juga situasi menguntungkan, si adik ngantuk dan tertidur dengan lelapnya, saya sih sebenarnya mau nulis, tapi karena memang lagi flu, entah mengapa saya lebih suka scroll mulu berakhir dengan nonton film hahaha.

Etapi, sampai beberapa menit saya kok malah mulai ngantuk, adegan-adegan yang bikin kepo di trailer yang saya liat, sama sekali nggak menggambarkan keseluruhan filmnya, bahkan review kebanyakan orang yang menitik beratkan tentang postpartum depression pada film ini juga tidak sepenuhnya benar.

Well, menurut saya filmnya justru cenderung membosankan, kurang klimaks kayak trailernya, semua klimaks di kumpulkan di akhir film, itupun menggantung sehingga penonton disuruh mikir sendiri.
Ribet amat yak nonton film drama itu, hahaha.

Etapi, bukan berarti nggak layak tonton loh ya.
Menurut saya, film ini amat sangat recomended buat semua wanita, sejak anak remaja, wanita dewasa single, pasangan muda hingga pasangan yang sudah menikah lama.

Karena sesungguhnya, film 'datar' ini sarat makna banget.


Review Film Tully, Awas Spoiller !




Betewe, i warning you! ini bakalan spoiller abis.
Jadi kalau temans kepo ama filmnya, mending skip aja bagian ini, lanjut ke bagian bawah aja hahaha.

review film tully
tahu nggak sih, si Charlize Theron rela menaikan BBnya demi film ini

Latar belakang tokoh utama, Marlo (Charlize Theron)


Jadi ceritanya, si Marlo hamil kembali (tanpa terencana) atau mungkin disebut kebobolan, setelah sebelumnya sudah punya 2 anak yang mana salah satunya, si bungsu Jonah (Asher Miles Fallica) adalah anak special needs, saya kurang ngeh pasti entah special needs nya apa, sepertinya sih semacam autis gitu kali ya, tapi yang nggak parah-parah banget.


Dalam beberapa scene diperlihatkan, bahwa dalam keadaan perut membesar, si Marlo harus mengurus Jonah yang mana sebelum tidur ada rutinitas menyikat kulitnya (mungkin semacam mandi kali yak, orang Barat kan suka banget mandi malam sebelum tidur).

Atau ada juga scene yang mana si Jonah histeris di mobil, hanya karena ibunya parkir mobil di tempat yang nggak seperti biasanya karena parkiran penuh.
Atau juga, saat berada di toilet umum sekolah dan Jonah histeris karena mendengar suara kloset yang di flush.

Tahu sendiri kan ya, mengasuh 2 anak yang sehat saja sudah bikin mamak depresi, kayak si Rey, apalagi mengasuh anak special needs, tentunya butuh lebih banyak energi dan kesabaran tanpa batas banget tuh.

Terlebih, karena ekonomi keluarga mereka masih terbilang pas-pasan, membuat si Marlo yang memang adalah seorang wanita yang menganggap dirinya adalah supermom, demi pengertiannya pada suami, dia rela melakukan semuanya seorang diri.

Related banget yak ama si empunya blog ini, bedanya si Marlo nggak pernah ngeluh, kalau empunya blog ini mah rajin ngeluh, makanya nggak sampai gila, hahaha.

Si Marlo ini, adalah sosok perempuan yang memang sangat idealis.
Yang mana ternyata hal itu akibat terbentuk dari pola asuh ibunya sewaktu mereka kecil.
Hal itu, terlihat dari scene di mana si Marlo ngobrol dengan kakaknya, Craig (Mark Duplass), yang menawarkan seorang pengasuh malam sebagai hadiah untuk bayinya.

Sebagai seorang kakak, yang mana tahu persis bagaimana mereka dibesarkan dengan penuh idealis, sangat mengerti kalau adiknya butuh hal itu. Mengingat efek negatif dari mentalnya akibat inner child pola asuh ibunya, sangat tidak baik jika adiknya terlalu capek.

Sayangnya, Marlo menolak.
Kalau dilihat sih, mungkin karena beberapa hal.
Pertama, sifat idealisnya.
Dia merasa nggak nyaman jika ada orang asing di rumahnya (feel so related sama si Rey).
Yang kedua, dia menghormati suaminya, karena hubungan suami dan kakaknya kurang hangat.

Oh ya, si Marlo ini juga sewaktu single, kehidupannya sepertinya seru. Layaknya wanita single dewasa lainnya, yang mana bebas dan selalu energik.

Hal ini dilihat dari scene, sesaat setelah mengantar anak-anaknya ke sekolah, si Marlo mampir untuk menikmati kopi dan kue di sebuah kedai, lalu todak disangka dia bertemu temannya di masa single, dan terlihat jelas, betapa temannya tersebut terkejut melihat penampilan Marlo sekarang.


Drama Marlo, si ibu yang kelelahan mengasuh anak


Dan begitulah, setelah beberapa scene yang menunjukan latar belakang kehidupannya. Sampailah juga di scene melahirkan yang sungguh sangat tidak ribet.

Di mulai dari Marlo mendapati ketubannya pecah di kamar mandi, lalu tiba-tiba adegannya sudah di rumah sakit bersalin, dan tiba-tiba sudah melahirkan lalu mendapat kunjungan sang kakak tercinta di saat suaminya sedang terlelap, sepertinya ngantuk karena begadang.

Khas mamak-mamak abis lahiran banget dah.


Berikutnya, scene yang persis seperti trailer-nya pun berjalan, dan you know?
Sungguh scene filmnya malah tidak semenarik scene trailer-nya, *sigh.

review film tully indonesia

Ya ternyata, scene drama-drama mengasuh baby newborn itu sederhana banget, padahal jujur yang menarik saya menonton film ini tuh ya gara-gara tayangan tersebut.

Ye kan.
Adegan ngantuk dan tidur sekenanya, sementara rumah kayak kapal pecah dan anak-anak berlarian.
Adegan pompa ASI ditaruh di kantung ASI, terus ditinggal dan tumpah, hahaha.
Lalu adegan yang sungguh related banget dengan saya, yaitu kelonin anak sambil liat hape, terus hapenya jatuh menimpa si baby dan baby-nya nangis kejer, lol.

Sudah gitu, orang barat itu kan rempong banget.
Mereka menidurkan bayi di kamar sendiri, sementara mamaknya tidur di kamar utama bersama sang suami.

Kan aneh yak, repot banget pas malam si bayi nangis, dan si Marlo terseok-seok menuju kamar baby.
Atuh mah, coba deh taruh di samping tempat tidurnya, pas anak nangis langsung sodorin ASI, kelar deh.

Semua kerempongan khas mamak berbayi newborn itu, ditutup dengan adegan si Marlo tergesa-gesa ke sekolah, hendak menghadiri panggilan kepala sekolah, yang dengan berat hati si Jonah harus keluar dari sekolah tersebut.

Oh ya, meskipun anaknya punya gejala special needs, si Marlo tetap memasukan anaknya ke sekolah normal, kebayang deh dia selalu menghabiskan perhatian guru-gurunya saking memang anak special needs.

Marlo kesal minta ampun, karena permintaannya agar Jonah tidak dikeluarkan bisa dikabulkan, ditambah memang keadaannya yang kelelahan dan kurang tidur.

Namun, salut banget!
Marlo masih bisa menahan kesalnya, memasukan anak-anaknya yang mana si bayi udah nangis kejer ke dalam mobil, lalu dia sendiri keluar dan teriak di luar melepas kekesalannya.

Sungguh saya pengen peluk si Marlo ketika adegan itu, i know thats feeling.
Sayangnya saya nggak bisa lari sebentar dari anak dan teriak di luar rumah.
Saya hanya bisa membentak anak-anak, hiks.

Setelah agak tenang, Marlo kembali masuk ke dalam mobil, menarik napas panjang karena suara tangis si bayi, lalu tiba-tiba dia mengambil sebuah kartu nama dari dalam tasnya.

Yup, kartu nama si penjaga anak di waktu malam, yang diberikan kakaknya, Craig.


Memutuskan menyerah dan memanggil si nanny malam


Begitulah, dengan wajah masam karena kelelahan tak terperi, Marlo mencoba melayani anak-anaknya, meskipun seadanya.

Tidak ada lagi aturan makan sehat, makanan yang tersaji cuman pizza beku yang dihangatkan.
Anak-anak bebas main gadget di meja makan, padahal biasanya aturan Marlo sangat keras terhadap hal-hal demikian.


Hingga akhirnya Marlo berkata pada suaminya, akan menyewa nanny malam, agar dia bisa beristrahat di malam hari.

film tully tentang postpartum depression

Demikianlah, malamnya seseorang wanita cantik yang masih muda, super langsing, energik dan begitu telaten mengerjakan segala hal, datang ke rumahnya dan memperkenalkan diri sebagai Tully (Mackenzie Davis).

Dan sejak saat itu, hidupnya berubah.
Dia bisa tidur dengan nyenyak, paling sesekali terbangun saat si bayi disodorin ke dirinya untuk disusui.

Yup dia bagai ratu yang hanya tidur lalu membuka gentong ASInya sebentar, lalu si bayi minum dengan kenyang dan dia tertidur lagi dengan pulas.

Bahkan, di pagi hari dia begitu terkejut mendapatkan seisi rumahnya yang kinclong sekinclong-kinclongnya, bahkan di atas meja terhidang mufin enak buat sarapan.

Sungguh dia bahagia, bagaikan mendapatkan malaikat penolong yang super hebat, persis seperti yang dia inginkan, bahkan lebih.
Karena sesungguhnya, tugas nanny malam tersebut hanyalah menjaga si bayi saat malam saja.

Bukan hanya telaten mengerjakan semua hal, si nanny yang bernama Tully itu, juga merupakan teman berbicara yang asyik.
Marlo merasa mendapatkan hidupnya kembali, meski tanpa meninggalkan rumah.

Dia bisa istrahat dengan tenang, bisa menikmati rumah seperti yang diinginkan.
Yup, rumah bersih dan rapi, makanan sehat, dan anak-anak yang disiplin.
Hmm... i feel soooo related banget tau nggak sih!

Rey banget itu mah! lol.
Maunya semua under control!

Makin lama, Tully juga menjadi seseorang yang mengisi semua kekosongan hatinya, termasuk suatu malam, ketika anak-anak sudah tertidur, Marlo dan Tully keluar untuk bersantai di pekarangan, lalu bercakap-cakap mengenai hal pribadi Marlo.

Okeh, saya mulai merasa nggak related dengan adegan tersebut.
Karena ujung-ujungnya, si Tully, memaksa mengenakan pakaian Marlo, hanya untuk menggoda suaminya.

Daann, Marlo menyaksikan sambil tersenyum puas ketika Tully menggoda suaminya di ranjang mereka.
Oh em jiiihhh!!!!


Akhir yang mengejutkan!


Begitulah!
Jujur, film drama ini sungguh terasa membosankan.
Entahlah, meski banyak yang review kalau filmnya lucu, saya heran.
Lucunya di mana coba?

Satu-satunya adegan yang bikin saya ketawa, adalah saat si Marlo main hape, lalu hapenya melorot jatuh ke bayi dan bayinya nangis kejer.
Soalnya saya pernah kayak gitu, hahaha.

Ah mungkin juga selera humor saya sedang terganggu yak.

film tully charlize theron

Hingga sampai di ujung film ini.
Semuanya lalu terjawab.

Karena...

TAHU NGGAK SIH?
SI MARLO ITU UDAH HAMPIR SAMA PERSIS KAYAK SI REY!


Ternyata, dia mengalami depresi akut, yang karena terlalu sabar melawan rasa depresi tersebut, dia sudah nggak bisa bedain, mana hayalan, mana kenyataan.

KARENA...
TERNYATA TULLY ITU ADALAAAHHH..
NAMA TENGAHNYA!

Iya..
Sesungguhnya Marlo sama sekali tidak pernah memanggil nanny yang direkomendasikan oleh kakaknya.

Dia menciptakan sendiri karakter nanny tersebut, berdasarkan dirinya di masa muda yang energik, cantik, langsing dan telaten mengerjakan semuanya seorang diri.

Iya, didikan super keras dari ibunya di masa kecil, membuat Marlo tumbuh dengan habbit yang sebenarnya bagus, tapi karena berlebihan jadinya tidak bagus.

Dia dituntut harus mandiri, harus bisa mengerjakan semuanya sendiri, rumah harus bersih dan rapi, anak-anak disiplin mengikuti aturan, pokoknya super idealis banget!

Makanya, terjawab juga, mengapa Marlo malah senyum-senyum saat Tully menggoda suaminya di ranjangnya.
Ladalah, ternyata yang menggoda itu ya dirinya sendiri.

Saya lalu membayangkan, betapa si Marlo itu, bukan hanya menderita semacam anxiety saja kayaknya.
Tapi juga bipolar.

Ye kan!
Bayangin, dia berlaku bagai biasanya saat suaminya belum tidur.
Dia temani suaminya tidur, lalu saat suaminya tidur, dia bangun dan menjelma bagai super mom beneran dan membereskan semua kerjaan rumah, bahkan menyiapkan makanan-makanan sehat.

I think, dia nggak tidur semalaman ya.


Marlo, Tully Dan Rey, So Related!


Teman-teman yang sering main di blog ini, pasti sudah pernah kan membaca postingan saya, tentang cerita saat saya selingkuh dengan seseorang saat awal-awal saya menikah dengan suami.

Baca juga : Ketika Rey Selingkuh

Tahu nggak sih, selingkuhan saya itu, si mas Arie itu benar-benar menguatkan saya, sehingga saya bisa naik motor ke Malang dari Surabaya.

Bayangin.
Saya yang bahkan dibonceng saja muter-muter Surabaya, bisa tidur di atas motor.
Ini, saya ke malang saudara!
Naik motor, seorang diri!

Si Rey, yang bahkan ke pasar seorang diri saja takut.
Tapi dia berani loh ke Malang naik motor seorang diri.

Sungguh, saya sepertinya sudah mengalami gejala depresi sejenis anxiety sejak dulu.
Sehingga juga sepertinya kayak si Tully.
Beruntung, saya nggak sampai celaka.

Saya pun persis seperti Marlo.
Hingga saat ini, sulit bagi saya untuk bisa menerima rumah kotor dan berantakan.
Terlebih, memang saya dikaruniai anak-anak yang spesial.
Iyaaa, anak-anak keduanya alergi debu, huhuhu.

So, saya bakalan ngomeeell banget kalau rumah berantakan dan berdebu.
Lalu, setelah ngomel, saya bakalan kelonin anak-anak, setelah mereka tidur, saya begadang kayak upik abu membereskan semuanya hingga kinclong sekinclongnya. hahaha.

Tidak jarang, saya kadang nggak tidur sampai pagi, lalu kehabisan kesabaran di pagi hari karena ngantuk dan capek minta ampun.


Pelajaran Dari Film Tully


Meskipun film ini tergolong membosankan bagi saya, tapi jadi nggak membosankan karena related sama keadaan saya.

Meskipun, setelah nonton filmnya saya jadi baper dan insecure aja rasanya.

Pertama..

Si Tully aka Marlo punya suami yang mau berpikiran terbuka akan penyakit mentalnya.

review tully movie


Iya, suaminya akhirnya sadar, ada yang salah dengan istrinya, setelah Marlo kecelakaan.
Mobilnya masuk sungai, saking dia berhayal diajak clubbing sama Tully.

Kenyataannya, dia pergi sendiri dong ke klub yang letaknya jauh banget dari rumah, mengendarai mobil seorang diri, dalam keadaan supeeerrrrr lelah.
Alhasil, dia tertidur saat nyetir mobil pas pulang dan nyemplung ke sungai.

Sementara si Rey?
Boro-boro suaminya ngerti.
Saya bahkan dikejarin pisau dong, saat saya bercerita histeris ke dia, kalau saat PPD kemaren saya selalu takut akan pisau, karena saya sering membayangkan mencelakai anak-anak sendiri.

Iya, menurut pak suami saya lebay, kurang iman, selalu berpikiran negatif.
Makanya saya harus melawannya dengan memegang pisau tersebut dan menodongkan ke anak-anak saya beneran.

BAYANGIN!!!!!
ISTRINYA DEPRESI, SELALU TERPIKIR MENCELAKAI ANAK-ANAKNYA, DAN SUAMINYA MALAH NANTANG AGAR ISTRINYA BENAR-BENAR MEMBUKTIKAN PIKIRANNYA TERSEBUT!!!!

Sungguh sakit hati saya entah kapan bisa terobati, hiks!
Lalu saya berpikir, apa saya harus celaka beneran dulu kayak si Marlo, biar suami saya percaya kalau mental illness itu NYATA!

Etapi, saya takutnya mati beneran.
Terus, siapa dong yang ngurus anak-anak saya? hiks.

Kedua

Marlo hidup 'sederhana' namun terasa mewah buat saya.
Ye kan..

Dia bisa mandiri, semua dikerjakan sendiri, karena didukung oleh alat-alat modern.
Dia bisa ke sana ke mari dengan gerombolan 3 anaknya, karena ada mobil yang lengkap dengan segala keperluan di dalamnya.

Sedangkan saya?
Hanya bisa bersyukur naik motor sambil menggembol si bayi dengan gendongan di depan, berharap dia nggak masuk angin, karena itu berarti saya kudu merawat anak sakit seorang diri lagi.

Dan di belakang ada si kakak, yang setiap 5 meter kami berjalan, saya tak henti berteriak.
"kakak! pegangan yang kuat dong!"
Atau,
"Aduuhhh, aduuhh... ngeri... kakak pegangan, berdoa! nanti kita jatuh, nanti kita ditabrak!"
Juga,
"Aduuhh...aduuuhh.. adekkkk... jangan goyang-goyang dong, diam aja, mami nggak bisa keliatan nih jalannya!" 
Iyaaa, saya sejujurnya sangat takut naik motor!
Tapi karena terpaksa, ya dipaksa-paksain.

Sehingga tidak jarang, saya cuman pergi ke Alfamidi depan gerbang kompleks, tapi membutuhkan waktu sejam lebih, karena saya nggak berani nyebrang.
Saya nunggu jalanan benar-benar sepiiiiiii banget baru berani nyebrang pakai motor wakakakaka.

Beruntung, banyak orang baik, misal tukang parkir yang akhirnya turun ke jalan menyetop semua kendaraan biar saya bisa lewat, wakakakakaka.


Pun juga alat-alat modern membantunya mengerjakan pekerjaan rumah, sedangkan saya?
Ngepel berkali-kali setiap hari, pakai pel-pelan yang tongkatnya udah tinggal separuh, saking tongkatnya patah, saat dipakai oleh pak suami.


Dan setelah pekerjaan di rumahnya selesai, Marlo mah bisa bersantai main sama anak-anaknya, kalau saya? cari uang lah melalui blog atau medsos, huhuhu.

Ah sudahlah insecure-nya, bapernya! lol.

Karena ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari film ini, yaitu :


1. Kenali kesehatan mental kita


Iya, saya mengerti, mental illness itu masih sangat awam di masyarakat kita.
Saya, berani saja memproklamirkan diri ke suami, keluarga dan semua teman medsos tentang gejala anxiety yang saya alami, dengan mempersiapkan mental menghadapi reaksi massa.

Buktinya?
Suami nggak percaya bahkan nggak peduli.
Kakak saya yang notabene kerja di dunia kesehatan, mengatakan saya terlalu berlebihan.
Nggak mau terima kenyataan katanya, hmm...

Mertua?
Di depan saya sih, mencoba memaklumi dan berjanji akan membantu, entah di belakang saya, hihihi.
Tapi saya yakin mereka bisa mempertimbangkan demi cucu-cucunya.
Karena sesungguhnya, mertua saya masih sedikit terbuka pikirannya ketimbang keluarga saya.

Tapi bukan berarti kita diam saja.
Menampung semuanya sendiri.
Okelah kalau daya tampung kita luas, kalau enggak?
Ya pecah kan!

Itulah yang terjadi pada ibu-ibu yang membunuh anak-anaknya yang viral di berita itu.

Demikian juga si Marlo, meskipun kakaknya sudah mewanti-wanti dia, karena kakaknya memang dididik sama oleh ibu mereka sewaktu kecil.

Bedanya kakaknya kan lelaki, jadi nggak mungkin depresi karena pekerjaan rumah, selain itu kakaknya menikah dengan istri yang begitu berpikiran terbuka, sehingga kakaknya bisa mengelak dari luka batin masa kecil dan tidak melukainya.

Beda dengan Marlo, dia selalu memandang remeh keadaan mentalnya, merasa semua akan baik-baik saja, dan dia percaya semuanya bisa dia lakukan.

Sehingga..
Tubuhnya tak sanggup lagi bekerja sama dengan otaknya.
Jadinya celaka deh.

Untungnya juga celakanya pas sendirian, bayangin kalau dia celaka saat bersama anak-anaknya, hiks.


2. Boleh idealis, tapi be logic


Saya sangat mengerti mengapa Marlo sedemikian idealisnya meski sama sekali nggak bisa dinalar secara logika lagi.

Iya, didikan masa kecil itu amat sangat sulit dihilangkan.
Bapak saya, bakalan marah besar kalau beliau pulang ke rumah dan rumah kotor serta berantakan.

Bapak tidak suka melihat hal-hal yang nggak rapi.
Begitulah, saya tumbuh besar dalam amarah bapak kalau rumah kotor.

Jadilah saya terbiasa dan amat sangat tidak bisa jika berada di tempat yang berantakan.
Dapur harus bersih, kamar mandi nggak boleh bau.

Dan, entah mengamini kebiasaan saya, kok ya saya diberi anak-anak yang mendukung habbit kepaksa dari kecil itu.
Mereka alergian dong, huhuhu.

Bapak juga mengajari saya untuk mandiri.
Melarang saya bergaul dengan orang yang kurang pandai dalam akademik.
Melarang saya bergaul dengan tetangga.

Yang akhirnya, dari awalnya saya sedih karena ingin ikutan teman-teman main di luar, lama-lama berganti amat nyaman sendiri di rumah.

Saya tidak suka orang asing di rumah.
Saya merasa lelah kalau ada yang mau main ke rumah.

Bahkan, saya butuh pembantu, tapi nggak suka ada orang asing di rumah.
Yup, seperti itulah si Marlo.

Amat idealis, tapi lupa memikirkan dengan logika, bahwa tubuhnya berhak untuk istrahat.


3. Tontonlah bersama suami


Suami lagi baik dan mengikuti maunya kita?
AJAK DEH TONTON FILM INI!

Film ini, amat sangat rekomen banget jika ditonton oleh suami, biar mereka tahu, bagaimana sih perasaan kita sebagai ibu yang kelelahan mengurus anak?

Bagaimana kita kadang merindukan masa single yang masih bebas.
Perut yang belum bergelambir.
Payudara yang kencang.
Pipi yang kencang, licin dan merona.
Kebebasan yang tanpa digandoli anak.

Bahkan membayangkan saja, sudah bikin auto mood booster banget!

Suami harus tahu semua itu, agar mereka setidaknya bisa bertanya kepada kita istrinya,
"Are you OK?"
"Apakah kamu baik-baik saja?"
Bukan hanya,
"Anak-anak lagi apa?"
"Anak-anak sudah tidur?
Padahal, suami bisa menyingkat semua pertanyaan tentang anak, dengan bertanya tentang keadaan kita, ibunya.

Karena, jika ibunya bahagia.
Anak-anak pasti juga amat bahagia dan terurus dengan baik bahkan sempurna.

Begitulah..
Biar lebih jelas, temans bisa cari deh DVDnya, terus nonton sama suami masing-masing yak.
Jangan sama suami orang, *eh!

Sidoarjo, 22 November 2019

@reyneraea

Sumber : Pengalaman diri
Gambar : Berbagai sumber di google

29 komentar :

  1. Kadang saya berpikir juga seperti itu. Apa saya harus mengalami kecelakaan dulu baru orang-orang disekeliling saya (terutama suami) percaya bahwa saya mengalami masalah mental setelah melahirkan. Bukan sekadar baby blues karena kondisi psikologis yang saya alami telah sampai pada tahap PPD.

    Untungnya saya bisa berjuang sendiri dan keluar dari depresi itu ddengan menjadikan aktivitas blogging saya sebagai self healing.

    Mengumumkan kondisi kita pada orang lain itu memang penting, bukan dengan maksud untuk "dikasihani" justru itulah cara untuk menolong diri kita dan anak-anak kita. Kalau kita merasa sok kuat menampungnya sendiri justru itu yang membahayakan kan Mbak. Ibu menyakiti dirinya sendiri, bahkan sampai membunuh anaknya itu karena dia menanggung "penyakit mentalnya" itu seorang diri.

    Btw saja juga cukup wanti-wanti dengan kondisi psikologis saya setelah kelahiran kedua nanti. Semoga saja nggak sampe depresi lagi.. btw Mbak Rey yang kuat ya. Banyak yang sayang sama Mbak Rey, jadi Mbak harus tetap semangat dan berjuang melawat mental ilness yang Mbak alami.

    BalasHapus
    Balasan
    1. typo

      *saya juga
      *setelah melahirkan anak kedua nati
      *melawan

      Hapus
    2. Aamiin, makasih banyak doanya Mbasay :*

      Setuju banget, banyak sebenarnya yang salah pengertian saat kita berani speak up atas apa yang kita rasakan khususnya dalam hal mental.

      Ada yang bilang lebay, kurang iman, pikiran negatif dan lain-lain.
      Ada juga yang bilang buka aib.

      Tapi Alhamdulillah saya merasa lebih baik dengan menuliskannya.
      Asal anak-anak saya selamat, apapun saya akan lakukan terutama untuk sembuh :)

      Hapus
  2. Belum pernah denger ataupun nonton filmnya

    Tapi kayaknya kurang bagus banget ya mbak?

    Padahal psikologi ibu yang abis melahirkan itu menarik untuk dipelajari. Sayang aja sih kalau filmnya udah nyoba mengankat tema itu, tapi nggak maksimal dan nggak komprehensif

    Jadinya nanggung

    Apalagi kalau plotnya datar. Bisa-bisa baru dua puluh menit tayang orang udah ngeluarin HP dan main games wkwkwkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, jujur kalau bukan penikmat film drama dan nggak merasa related, film ini terasa membosankan, tapi karena memang saya mamak-mamak dan merasa related, jadinya menikmati :)

      Hapus
  3. aku bakal cari filmnya, dan nonton, walo kamu bilang flat :D. ttp penasaran, mungkin krn aku pernah ngalamin babyblues, walopun ga parah, krn suami yg sangat mensupport. Tapi selalu sedih baca ttg sindrom depresi yg dialamin para ibu, apalagi yg ga mendapat support dari lingkungannya :(. Alhasil malah mencelakai si anak..

    Tetap kuat ya Rey.. Sedih baca yg bagian "kamu celaka dulu baru suami sadar".Jangan sampe kayak gitu :(. Kalo masalah idealis, susah sih untuk diubah apalagi kalo sjk kecil udah kayak didoktrin dengan hal2 begitu. Tapi memang ada kalanya kita perlu ngerubah kebiasaan. dari yg terlalu perfeksionis, dikurangin sedikit supaya ga stress liat rumah berantakan :D. aku dulu termasuk yg sangat pembersih. mama dulu jg keras kalo ttg rumah kotor. tp setelah nikah, menyerah dengan yg namanya kerapian rumah. Sudahlaaah, rumah berantakan, bodo amat drpd aku stress dan capek marah mulu :D.

    tapi aku ngerti kok, ga semua org bisa cepet ngerubah pola pikirnya ato kebiasaannya. Pelan2, dan butuh waktu. semoga juga pak suami bisa cepet sadar.. Semoga juga dengan kamu mau menuliskan semua curhatan di medsos, itu bisa membantu meringnkan beban pikiran ya Rei. Peduli setan dengan komen julid. Tendang dari friendlist aja semua yg julid2 :D.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba, sebenarnya malah si Marlo ini nggak mengalami baby blues atau PPD, karena dia sama sekali nggak berpikir mencelakai dirinya atau anaknya.

      Kalau menurut saya, justru dia depresi karena super capek, jadinya kayak di padang pasir gitu semacam fatamorgana, tapi dia lakukan sendiri, kalau dibiarkan dia bisa menjelma jadi punya banyak kepribadian :)

      Hapus
  4. Aku waktu itu nonton film nya di Hbo, ga tau itu film apa, nonton karena ga nemu film lumayan lg d channel lain. Pas banget nonton lg hamil anak ke 2. Mnrt aku bagus sig filmnya, walau alurnya lambat. Jd awal2 agak bingung ini film apa, apalagi buat aku yg ga ada klu sama skali itu film tntng apa 😁

    Semangat terus mba rey, skrng makin banyak kok komunitas yg mendukubg PPD. Mungkin klo ga dpt support dr keluarga terdekat, mungkin sedikit2 kita bs dpt support dr komunitas. Untung2 nanti komunitasnya jg membantu mengedukasi keluarga jg..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha bener kan, saya mau nonton karena liat trailer-nya, trailer-nya bagus, tapi ternyata cuman potonan-potongan cerita aja hahaha

      Iya mba, saya gabung di beberapa komunitas juga, cuman memang lebih baik ke psikolog :)

      Hapus
  5. Kak rey, kok aku mbrebes mili yg bagian naik motor tapi sebenarnya dikau taku sambil melindungi si kakak dan adek huhu

    Trus yg bagian mlh dihadiahi pisau #mellow aku

    Hmmmm ini kok mirip aku ya, maksudnya yg bagian Saya tidak suka orang asing di rumah.
    Saya merasa lelah kalau ada yang mau main ke rumah.

    Bahkan, saya butuh pembantu, tapi nggak suka ada orang asing di rumah.
    Aku pun klo ada tamu yg kucluk2 dateng tanpa kita persiapan, rasanya hadew ku bakal riweuh luar biasa karena aku harus bersiin rumah dll dan ga mau tamu ngliat keadaan berantakan, kdg hal itu bikin mood swing jg

    Etapi aku kok pnasaran, tully ini kan khayalan wujud marlo pas masi singset, nah apakah pemerannya sama? Jd ada marlo pas uda kucel dan marlo dlm bentuk langsing gitu ya kak rey

    Ohya sejak uda jd ibu, aku jd belajar memahami ibu ibu lainnya, ibu ibu dg kondisi yg berbeda2, makanya kalau ada ibu lain yang kelihatannya sdg dalam keadaaan ga baik baik saja, aku berusaha empati, ga mau menggurui dan ngomen ini itu, karena belajar memposisikan seandainya kita yang ada di posisi mereka...

    Hiks mellow

    Etapi bener emang, kalau di barat mah, support sistem dari sisi alat2 uda pada canggih2 yak, sementara kenyataan di lapangan maybe termasuk aku, kadang ya financial ga semapan banget kayak tokoh marlo atau kondisi di negara barat yang notabene lebih maju itu

    Ah, filmnya relate banget ma permasalahan di usia usia kayak sekarang, jadi penasaran

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah kaann, yang bikin rempong itu, kalau ada tamu, dan saya malu kalau emreka liat rumah berantakan, makanya kadang nggak suka kalau ada orang ke rumah haha.

      Pemeran Tully beda orang say, emang super langsing.
      Sementara Marlo gendat mbleber2 lemaknya hahaha.

      Btw itu Charlize Theron beneran naikin BBnya loh demi film ini, terus setelah filmnya rampung, dia diet lagi, langsung singset lagi, ckckckckc

      Hapus
  6. Eee....gambar si Tully Ekstrim banget yah, kayak orang baru pulang dari pertempuran 3 hari tiga malam. :)

    Belum selesai nih saya baca artikelnya, jadi komentnya belum bisa fokus kudu berkata apa. :)

    yang masih saya ingat adalah....si Mbak kangen, masa - masa single.hahaha....Upsss!

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahahaha, kok kang Nata bisa baca pikiran saya yak :D

      Hapus
  7. Kasihan baby ketiban HP-nya, Mbak...hihi. Tapi, saya juga pernah ngalamin itu...kwkwk. Saya juga termasuk orang yang kalau belum dapat maunya nggak bakalan bisa tidur...haha. Seperti kemarin waktu ketemu film korea keren, sampai begadang hingga kelar dong padahal saya tuh jaraaang banget nonton, sekalinya suka bisa nggak tidur...haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha sama Mba :D
      Saya makanya jarang-jarang mau kepoin film, karena saya hobi nonton banget sebenarnya, sama dengan hobi baca, kudu kelar dulu baru mau diam :D

      Hapus
  8. Spilernya kurang lengkap nih...di indoXXi ada gak ya...soalnya kalau disana bisa download...sesekali mau ngintip filem style ginian soalnya selama ini di recoki filem action mllulu nih. OK langsung kesana saja mumpung lagi online.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waahhh saya baru tahu indoxxi, mau liat juga ah, pengen cari film action hahaha

      Hapus
  9. aaakk.. sungguh bener-bener spoiler mbaakk.. wkwkwk..
    meski spoiler, udah tau dikit jalan ceritanya dan kata mbak rey ini film flat banget tapi aku penasaran banget mau nonton juga. keliatannya menariq dan memang related banget sama mak mak macem kite ya mbaa.. (meski anakku alhamdulillah baru satu). hehehe..

    auto nonton nanti malem. moga aja ada di indoxxi.. hihi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha, kalau liat trailer-nya dijamin lebih suka nontonnya, trailer menipu hahaha

      Hapus
  10. Kalau saya menonton video ini, saya pasti akan membayangkan kehidupan Mbak Rey di dunia nyata.Walau mungkin ngak 100 % mirip, paling tidak saya akan terhanyut dalam suasana yg ditampilkan di film tsb.

    eeee..kalau Mbak Rey,,,dibuatkan kisahnya dalam sebuah layar lebar, kira - kira mau ngak...? Siapa tahu ntar ada Produser film yang ingin membuat film si Tully versi Indonesia.Bisa tambah populer loh...! dan saya mau kok jadi peran pembantu, jadi tukang kebun atau tukang pos gitu, atau pura - pura menjadi tukang service pipa ledeng, hahahah.#Menghayal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha kalau saya bikin cerita film, kagak ada peran tukang kebun atau service ledeng kang, ya udah kang Nata ya tetep jadi temennya si Rey aja hahaha

      Hapus
  11. Film yang unik, saya rasa mba nya juga unik :)
    Semua berawal dari pikiran
    Selalu berpikiran positif dan bahagialah dan bersyukurlah

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihihi harusnya seperti itu, JIKA KITA BERMENTAL SEHAT :)
      Tully itu selalu berpikiran positif loh, dia tidak pernah marah-marah pada suaminya, dia tidak mau membebani suaminya.
      Dia yakin bisa menyelesaikan semua sendiri.

      Justru karena semangat dan keyakinannya itulah yang membuat dia celaka dan nyaris gila :)

      Pikiran positif itu harus diusahakan, tidak bisa muncul begitu saja, karena mental tiap orang itu beda, tergantung masa lalunya juga.

      Hapus
  12. Saya jadi membayangkan semisal ada tully beneran dan nyata, saya pingin request satu kalau saya sudah nikah nanti, kayaknya enak

    Btw
    Dari baca tulisannya mbk rey yang ini, rasa rasanya patut banget saya bersyukur dengan kondisi sekarang, menikmati dengan senikmat nikmatnya masa single sebelum datang masa pengabdian menjadi doble

    At last, semangat buat mbk rey
    Jagoan jagoan mbk rey amat sangat membutuhkan mbk rey

    Ada momennya, nanti badai akan berlalu
    Saat anak anak mbk rey dewasa dan mandiri, mbk rey bisa me time tiap hari, aamiin

    Peluk cium jauh untuk mbk rey

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya bisa jadi pekerjaan sampingan ya itu, jagain anak bayinya orang pas malam, toh juga anak bayi banyakan bobonya kalau malam.

      Sayangnya kayaknya belum pernah dengar ada yang sewa nanny malam, biasanya siang :D

      Bener say, nikmatilah masa singlenya.
      Masa jadi mamak-mamak itu, nggak sesederhana yang terlihat.

      Btw thanks semangatnya say :*

      Hapus
  13. Saya belum nonton "Tully" tetapi film psikologis memang menarik karena itu berdasarkan sesuatu yang dekat dan nyata. Tentang seseorang yang alami sakit mentak karena didikan ibunya yang barangkali "sakit" juga.
    Kesehatan mental perempuan itu sangat penting diperhatikan karena mereka akan melahirkan generasi baru, jangan sampai hasil didikannya cuma akan menyakiti generasi bar sehingga menciptakan efek bola salju yang menggelinding.
    Berharap semoga Mbak Rey tetap kuat dan bisa lalui segala fase melelahkan itu. Semoga suami mau terbuka hatinya untuk dukung istri secara penuh.
    Faktor yang bikin saya depresi adalah ibu kandung sendiri yang mentalnya sudah menjelma monster dalam wujud halus tetapi menipu-daya. Entah masa lalunya bagaimana tetapi sejak kecil sudah tidak disukai saudara kandungnya sendiri.
    Ibu sudah tidak ada, tetapi nyeri jiwani itu tetap ada dan tidak bisa pulih karena bekas tetaplah akan membekas.
    Saya harap semoga anak-anak baik-baik saja setelah Mbak Rey bisa atasi masalah anxiety dengan bantuan ahli.
    Suami dan keluarga besarnya harus dukung demi kenaikan anak-anak juga. Mbak Rey adalah yang harus paling beroleh perhatian besar dari suami karena kewajiban suami sebagai selimut istrinya, untuk membuat nyaman, hangat, dan aman dalam perlindungan, cinta, dan kasih sayang.
    Saya dulu pengen getok suami kala baru melahirkan dan harus tinggal di rumah mertua karena mertua yang semuka baik malah terpengaruh omongan nyinyir keluarga besar adiknya jadinya masam mulu ke saya, hu hu. Soal persalinan caesar, ASI yang kurang, harus beli susu formula, sampai gak kuat kerja berat. Sedang ibu saya malah mengusir dari rumah yang mestinya jadi hak saya karena lain-lainnya juga sudah dia habiskan untuk riba. Padahal ibu saat menikah lagi dengan suami ketiganya, bilang bahwa rumah itu untuk saya. Memang sebagai anak tetap saja saya beroleh hak waris karena segala sesuatu kebanyakan dari peninggalan almarhum bapak secara otomatis, sayangnya saya tidak dapat apa-apa.
    Sakitnya diusir oleh seseorang yang menjelma monster bagi banyak pihak.
    Lakukan hal apa yang bisa membuat Mbak Rey merasa lebih baik. Semoga sembuh dan punya kehidupan yang tenang. Optimislah bahwa bisa sembuh dan jalani hidup dengan tenang lagi nantinya jika banyak yang mendukung.
    Peluk dari jauh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya Allah, makasih banyak Mba :*
      Benar banget ya, jadi perempuan itu benar-benar penuh tantangan, karena harus melewati fase meneruskan keturunan serta paling dekat dengan anak yang mana kalau kita tidak pandai memutus rantai salah asuh, bakal diteruskan ke anak kita dan parahnya mereka mungkin akan lebih oarah dibanding kita hiks

      Hapus
  14. Aku belum nonton film ini nih. Jadi penasaran apalagi ngangkat mental health issue ya. Itu scene Marlo kecapekan kok totalitas banget yaaa.

    BalasHapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)