Hal-Hal Menyedihkan dan Bikin Malas Saat Mudik Ala Rey

hal-menyedihkan-ketika-mudik

Hal-hal menyedihkan dan bikin malas saat mudik buat saya tuh banyak, makanya saya heran kalau ada yang bilang saya beruntung, punya tempat mudik.

Saya malah menganggap, kalau diri ini menyedihkan, karena punya kewajiban mudik. Padahal ya jarak mudik saya itu jauh, dan saya kebetulan ditakdirkan bukan menjadi wanita yang duitnya berlebih-lebihan.

Tapi, dari masa single dulu, sampai menikah, punya anak satu, punya anak dua, selalu aja ditanya nggak mudik, Rey?

Giliran dijawab enggak, abis deh saya kena ceramah, seolah saya ini buta huruf, kagak pernah kenal bangku cikolah. Sampai-sampai dijelaskan secara detail, bikin eneg aja dengarnya, tapi akoh nggak berani ngomong, wakakakak. 

"Usahakan mudik Rey, jadikan momen lebaran sebagai waktu untuk menjenguk orang tua, mumpung mereka masih ada!"

"Kalau orang tua udah nggak ada ya Rey, mau kita jungkir balik juga, udah nggak bisa sama sekali bertemu ortu"

"Uang bisa dicari Rey, tapi umur orang tua nggak ada yang tahu!"

Dan lain sebagainya.

Gaessss, serius loh, saya sedih karena buta huruf, nggak sekolah, jadi nggak tahu kalau ortu udah mati, kita nggak bisa ketemu lagi.

Dan gaeessss, akoh juga nggak tahu loh, kalau uang ternyata bisa dicari, umur ortu kagak!

Makanya Rey, kamu sekolah sana, biar pintar.

Baiklah, itu sindiran buat yang suka nasihatin akoh! AKOH UDAH TAUK!!!

hahahaha.

Kenyataannya, ada banyak hal yang bikin momen mudik, malah menjadi sesuatu yang menyedihkan buat saya, di antaranya:


1. Mudik Butuh Banyak Biaya

1.1 Biaya transportasi

Saya tinggal di Sidoarjo, mama saya tinggal di Kabupaten Buton. Kalau dulu masih single dan saya masih bebas ajukan izin ke kantor. Demi menghemat biaya, saya mudik naik kapal Pelni.

Mudik dengan kapal Pelni itu, butuh perjuangan triple banget dibanding naik pesawat. Bahkan kalau dipikir-pikir, sama aja pengeluaran dan capeknya.

Saya nggak tahu sih tiket sekarang, tapi dulu tuh kalau nggak salah 300ribuan per orang. Cuman nggak enaknya, jadwalnya nggak ada setiap saat, dan udah nggak ada nomor tempat tidur, jadi naik kapal kudu rebutan tempat.

Tapi itu dulu ya, terakhir saya naik kapal Pelni, keknya 11 tahun lalu.

Dari Surabaya ke Bau-Bau, butuh 3 hari 2 malam. Selama itu terapung-apung di lautan, untungnya sih tiket yang dibayarkan udah include makan dan minum. 

Setelah punya anak, apalagi anak-anak udah sekolah, papinya anak-anak udah butuh banget yang namanya patuh aturan kerja. Mudik dengan kapal itu, sudah menjadi hal yang mustahil. Karena butuh waktu yang lama.

Terpaksa deh naik pesawat, hitung aja tiket pesawat Surabaya - Bau-Bau untuk 4 orang di masa mudik lebaran, dan untuk pulang pergi.

Saat menulis artikel ini, saya intip Traveloka, paling murah 2,2 juta per orang. 

2,2 x 4 x 2 = Rp. 17.600.000,-

Itu buat tiket aja ya, tiket pesawat dari bandara ke bandara. Belom ini itu selama perjalanan, biaya akomodasi dari rumah ke bandara, biaya makan dan jajan selama di perjalanan. Biaya perjalanan dari bandara Bau-Bau ke rumah mama saya.

Bisa-bisa ya bulatnya jadi 19-20 juta juga.

Uang kan bisa dicari lagi Rey! Iya, emang, tapi sulit, wakakaka.

Dan jangan lupa, AKOH NGGAK PUNYA UANG BANYAK WOEEEE! ANAK AKOH UDAH SEKOLAH DUA-DUANYA, SPPNYA MIHIL!.


1.2 Biaya oleh-oleh

Mau mudik ke Buton, artinya kudu beli oleh-oleh dulu. Keluarga dan teman saya di Buton banyak, kasih oleh-oleh ke satu orang, lainnya kudu dikasih juga. Nggak enak soalnya.

Well, saya sih enak-enak aja, aka cuek. Tapi kakak saya yang selalu jadiin masalah, dan saya nggak enak kalau bikin kakak saya kepikiran.

Oleh-oleh, buat mama, buat kakak saya dan anak-anak serta suaminya, buat saudara sepupu saya, tante saya dari mama, bibi (panggilan ke tante) saya dari bapak.

Buat mertua kakak saya, buat keluarga mertua kakak saya. Buat tetangga mama saya, buat teman-teman saya, yang banyak dan baik-baik semua. 

Mulai dari mikirin mau bawa oleh-oleh apa aja udah pening, belum mikirin biayanya. 1 juta, mana cukup say!

Oh ya, itu belum termasuk oleh-oleh pas balik ke Surabaya dong ya. Jangan lupa, papinya anak-anak adalah KB aka keluarga besar. Tetangga kami, dan lainnya.

Bayangin, saya nulis ini aja, udah pening mikirinnya, wakakakakak.


1.3 Biaya persiapan

Biaya persiapan juga tidak bisa dipandang remeh loh, bahkan sangat menyita isi rekening juga. Mulai dari pakaian atau perlengkapan lainnya.

Misal, topi, kacamata dan lainnya.

Mungkin ada yang bilang, pakai yang ada aja Rey, lah kalau kagak ada? hahaha.

Misal nih kayak terakhir saya mudik 2 tahun lalu, saya butuh beli pakaian dalam baik saya dan anak-anak, karena pakaian dalam kami udah usang. Nggak enak kan jemur pakaian dalam usang di rumah mama saya, entar mama saya makin melas hatinya melihat kemiskinan anaknya, wakakakaka.


2. Mudik itu Rempong

Kalau nggak salah, 2 kali mudik terakhir saya, selalu dilakukan dengan mendadak, nggak kasih tahu keluarga sama sekali. Pas besok mau mudik, atau pas perjalanan ke bandara atau pelabuhan, baru kabarin mau mudik.

Alasannya? saya punya 1 kakak yang kebanyakan perintah, wakakakaka.

Kalau dia tahu saya mudik, mulai deh dia kirim list titipan sepanjang kereta api. Dia lupa ini Surabaya, bukan Bau-Bau yang luasnya seperberapa dari luas kota Surabaya.

Nitip beliin ini, nitip beliin itu. Dikira akoh ini penjual yang update harga dan tempat yang jual semua barang yang dia pesan. Misal dulu pernah pesan lampu mancing kalau nggak salah, gelagapan akoh keliling Surabaya, cari tempat yang jualan.

Banyak yang mungkin berpikir, kenapa dia nggak beli online aja? Masalahnya ongkir ke Buton itu bikin nangis.

Dan kegiatan riwah riwih itu, selain butuh tenaga, waktu dan juga butuh uang. Belum lagi kaki pegal dan mau nangis ketika mencari barang, harus yang murah, huhuhu.


3. Mudik itu Menyedihkan Karena Sambutan yang Dingin

Ini deh kayaknya yang bikin saya merasa mudik itu malesin dan menyedihkan banget. Karena dari semua biaya luar biasa yang harus kami keluarkan.

Capek tenaga, waktu dan uang.

Dan sampai di sana, ya udah biasa aja.

Terakhir kali kami pulang misalnya, hati saya sakiiitt banget, air mata nyaris jatuh dan saya berusaha kuat menahan air mata. Merayu hati untuk memaklumi, karena saat itu memang bapak saya sakit dan mama sedang capek.

Dua tahun lalu itu, pas masa-masa beratnya pandemi. Dengan bantuan sana sini, saya bisa membeli tiket pesawat untuk mudik di masa pandemi dengan anak-anak.

Mudik bertiga dengan anak, ketika itu si Adik masih 3 tahunan, dan masa parno akan virus masih luar biasa. Pesawat delay di Makassar lama banget. Anak-anak kebanyakan tingkah, berantem melulu.

Pas naik pesawat tangan mau putus rasanya, antara gendongin si Adik, sama pegang tas yang isinya makanan buat anak-anak. Di pesawat anak-anak berantem rebutan pengen duduk di pinggir jendela.  

Ya ampuuunn, rasanya saya pengen duduk di lantai dan menangis meraung-raung saking capek dan stresnya.

Beruntung, sampai di Bau-Bau udah sore, tapi kakak ipar mengusahakan untuk menyediakan kendaraan sewa jemputan. Jarak antara bandara dengan rumah mama saya masih sekitar 80Km soalnya.

Dan karenanya, kami tiba di rumah mama setelah magrib. 

Mama udah tahu kami mau datang, karena saya udah SMS sehari sebelum kami datang. Dan itu pertama kalinya saya mudik, SETELAH 5 TAHUN NGGAK PERNAH MUDIK.

PERTAMA KALI SI ADIK KETEMU KAKEK NENEKNYA.

Dan tahu nggak sambutan mama gimana? biasa aja tuh, kayak nyambut tamu biasanya. Pas nyampe nggak ada makanan, untung saya sempat mampir beli Coto Makassar di jalan, dan untung juga saya belinya sama burasnya.

Karena boro nyiapin makanan untuk menyambut cucu-cucunya, masak nasi aja enggak dong.

BAYANGKAN! BAYANGKANLAH!

Saya udah 5 tahun nggak pulang.

Anak-anak nggak pernah ketemu kakek neneknya, terutama si Adik yang sejak lahir nggak pernah ketemu kakek neneknya. Dan mereka sampai ke rumah kakek neneknya, disambut biasa aja.

Kekecewaan saya ternyata masih ditambah, setelah beberapa hari kemudian kakak saya datang bersama anak-anaknya.

Dan you know? mama heboh banget menyambut cucu-cucunya itu, cucu-cucu yang sering dia temui setidaknya sebulan sekali itu.

Ya Allaaaahhh, sekuat tenaga saya menahan air mata. Memasang senyum selebar mungkin, pura-pura manja aja ke mama, padahal hati rasanya kayak disilet dan disiram garam.

I know, mama memang bukan orang yang pandai mengeluarkan ekspresinya, tapi sikapnya itu bikin saya kecewa banget nget.  

Satu-satunya yang bikin saya semangat mudik itu sebenarnya Bapak. Seandainya beliau masih sehat kala itu, nggak mungkin dia membiarkan saya datang ke Buton tanpa dijemput.

Waktu bapak masih sehat, mau saya datang naik kapal atau pesawat, mau tiketnya beli sendiri atau dibeliin mereka. Saya selalu dijemput sama Bapak dan mama serta kakak sekeluarga. 

Bapak akan memaksa mama untuk menyambut kami dengan baik, menyiapkan makanan kesukaan. Bapak bakalan mengumpulkan banyak buah kesukaan saya. Intinya, bapak memperlihatkan betapa saya dan anak-anak itu, berharga buat beliau, hiks.

Dan Bapak, paling takut kalau saya maupun kakak kecewa karena diperlakukan beda. Jadi kalau saya datang, bapak akan mengajak semua cucunya bermain bersama tanpa memilih-milih.

Intinya, ketika bapak masih ada dan sehat, ketika mudik, semua lelah mengumpulkan uang buat mudik, dan persiapan serta perjalanan mudik itu, hilang oleh hangatnya sambutan Bapak.


4. Mudik Terasa Nyebelin Karena Cuman Boleh Di Rumah Terus

You know kan ya, betapa perjuangan kami kalau mau mudik, dari biayanya yang sungguh bikin nangis, sampai persiapan dan perjalanannya.

Sampai di sana, kerjaan saya ya cuman masak, makan, nyuapin anak, urus anak, mandi, masak lagi, makan lagi, tidur and repeat.

Kalau mudik 2 minggu, ya 2 minggu itu kerjaan saya.

Jangan mimpi kayak anak-anak lain yang pulang ke rumah ortu buat bermanja-manja, dan merasakan masakan ibunya lagi.

Saya mah malah disuruh masak, jadi sama aja kayak di sini, pindah masak lebih rempong di sana. Karena mama belum pakai kompor gas, masih pakai minyak tanah saking di sana gas mahal dan mama takut gasnya meledak, hadeh.

Waktu mudik kemaren dan saudara bapak datang karena Bapak meninggal, mereka meminta saya datang ke rumah mereka. Saya merengek dong sama mama agar kami bisa jalan-jalan ke rumah paman dan bibi saya tersebut.

Dulu, ketika bapak masih hidup, mama beralasan bapak melarang mama jalan-jalan atau silaturahmi. eh pas bapak udah nggak ada, ternyata alasannya juga segambreng.

Kakak saya juga ikut mengomeli, katanya saya maunya jalan-jalan melulu dan boros. Padahal itu silaturahmi loh, dan saya seumur-umur belum pernah ke rumah paman-paman saya itu.

Ketika saya di Bau-Bau, menginap di rumah Kakak, kegiatan saya juga sama aja. MASAK, NYUAPIN ANAK-ANAK, KETAMBAHAN ANAK KAKAK SAYA, URUS MEREKA MANDI, LALU MASAK LAGI, NYUAPIN ANAK LAGI, pokoknya gitu aja melulu.

Pas saya izin mau jalan-jalan, langsung diceramahin, katanya boros banget. Bahkan sekadar keliling kota aja, nggak bisa dong.

Jadi, udahlah habisin uang, tenaga, dan waktu banget. Di sana cuman ngedapur mulu, huhuhu. Sampai-sampai papinya anak-anak sedih, ikut saya mudik berkali-kali, tapi dia belum tahu daerah lain, selain rumah ortu dan rumah kakak saya.

Padahal ya, kami cuman pengen explore, dan nggak perlu mahal-mahal, you know lah kami selalu lebih mementingkan, yang penting udah tahu, gitu aja.

Dan ah ya, bahkan selama berkali-kali saya pulang, sedikitpun nggak pernah ada waktu untuk bisa ketemu teman-teman saya, hiks. Kadang kebahagiaan seperti itu agak sulit dirasakan.


5. Saya terus yang disuruh mudik, mereka nggak pernah mau jenguk saya

Selama bertahun-tahun kerjaan saya cari uang cuman buat nabung untuk mudik, saya sedih jadi nggak bisa beli apa-apa karena nabung ya buat mudik mulu. Apalagi saya  kebetulan bukan manusia yang ditakdirkan punya banyak uang kan.

Pas saya iseng nanya, kapan mereka mau menjenguk saya di Jawa?

Dengan santainya dijawab, nggak punya uang.

Uwowwww!

Kakak saya PNS, jabatannya udah lumayan di RSUD Bau-Bau. Suaminya tentara, dan juga udah senior di Kodim Bau-Bau.

Saya, udah lama nggak kerja, mengandalkan uang dari papinya anak-anak yang juga tak punya kerjaan tetap kayak orang-orang.

Penghasilan dari blog, buat biaya sehari-hari membantu penghasilan papinya anak-anak. Jadi, saya mudik itu, bukan karena saya banyak duit, tapi emang benar-benar berjuang.

Duh, sedih sih, padahal perjalanan mudik itu harusnya menyenangkan.


Kesimpulan

Saya kangen banget sama keluarga, tapi jujur saya sering sakit hati dengan mereka. Yang selalu membebankan masalah ketemu sama saya, dengan alasan,

"Siapa suruh tinggal jauh?"

Lah kalau emang keputusan saya tinggal jauh, dan Allah mengiyakan, gimana?. 

Harusnya, masalah ketemuan, jika mereka benar-benar kangen sama saya, mereka juga mau ke sini kan, setidaknya mama saya.

Dan, apapun itu, setidaknya sambutannya bikin senang lah. Nggak perlu ke saya, tapi ke anak-anak saya lah.

Jujur, saya jadi sering membandingkan dalam hati, bagaimana anak-anak disambut oleh eyangnya. Ketika anak-anak datang, kalau kami kabarin, ibu (ketika masih sehat dulu) akan ribut aja nanya,

"Mau makan apa, Rey?"

Kalaupun, kami datang tanpa bilang-bilang, pas kami muncul di depan pintu, ibu dan bapak bakalan keluar menyambut kami dengan senyum lebar.

Terutama anak-anak, bakalan dicium dan dipeluk. Termasuk saya juga kebagian pelukan ibu. Setelah itu, ibu bakalan ribut menyiapkan jajan, kalau nggak ada beliau akan keluar meski kakinya sakit, tetap jalan ke luar beli makan atau jajanan.

Lalu saya menyadari, hidup memang gitu ya.

Kalau perhatian tidak kita dapatkan dari orang tua kandung, Allah pasti menyiapkan perhatian itu dari orang tua lainnya, kayak mertua saya yang sebenarnya bukanlah orang hebat, tapi sikapnya menyambut anak cucu, selalu bikin kami merasa hangat, ketika ke rumah mereka. 

Note: tulisan ini curhatan unek-unek semata, bukan berarti tulisan kebencian saya kepada mama. Saya tetap mencintai beliau dengan kekurangan dan kelebihannya. Hanya saja lebih diberikan dalam doa, bukan dalam usaha ngotot sering mudik kayak dulu. Karena kondisi sekarang udah berbeda.


Sidoarjo, 10 April 2023

10 komentar :

  1. Sedih banget sih baca poin ketiga. Kayaknya keseluruhan kesedihan di tulisan ini ngumpul semua di poin itu, hiks. Kebayang sih, aku yang mudik cuma 200Km naik bis atau mobil aja sering ngerasa capek, apalagi yang nyebrang pulau gitu. Dapet sambutan hambar tuh mungkin pengen banting anak orang rasanya, hahaha

    Aku belum lama ini liat sebuah quotes kurang lebih gini "Kampung halaman adalah tentang orang-orangnya. Jika tiada, maka itu hanyalah sekedar sebuah lokasi semata".

    Jadi ya... Alasan pulang kampung ya bukan karena kampungnya. Tapi untuk mengobati kerinduan hati yang entah masih ada atau tidak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul banget, yang bikin ngenes itu sambutannya, udahlah kita korbankan semuanya, tapi berasa nggak diharapkan pulang hiks

      Hapus
  2. ancen biaya itu adalah kunci
    klo pas mudike deket si ga masalah tapi klo seharga motor ya hmm
    apalagi ga bisa ke mana-mana
    eh bau bau itu di buton ya mbak aku mesti bingung buton sama bau bau
    sebenere mudik itu enak klo keliling
    di tempatku malah ada reuni besar satu marga kadang banyak yg ga kenal
    sering dapet celotehan gini
    Oh ini Ikrom yang dulu umbelen sama suka pup di celana ya...dan itu dilihat banyak orang

    Hello, wis berapa puluh tahun wkwkkw makanya aku juga males mudik meski deket

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwkwkwkwk bisaaa aja :D
      BauBau itu ada di Pulau Buton, kota madya, jadi sekarang pisah sama Buton.
      Tapi kalau mau ke Buton, emang pintunya di BauBau.
      Baik bandara maupun pelabuhan semua ada di BauBau

      Hapus
  3. Duh....mudik malah jadi menyedihkan begini ya Mbak...
    Jangankan yang jauh, yang dekat saja bikin repot kalo mudik. Dulu saya tinggal di Bekasi, orang tua di Sukabumi, tuh jarak cuma berapa langkah saja repot banget kalo mudik lebaran.
    Untung sekarang sudah gak ada lagi cerita mudik bagi saya. Tinggal giliran anak-anak saya yang harus tetap mudik...

    Salam,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bangeeeettt, apalagi kalau bawa anak kecil ya, ya duitnya, waktunya, tenaganya, luarrrr biasa :D

      Hapus
  4. Memang mudik kalau jauh gitu repot banget ya mbak, saya bacanya aja ikut kaget. Biaya sebanyak itu untuk mudik nabungnya pasti penuh usaha.
    Apalagi baca pas sampai disana nggak disambut begitu hangat. Kalau saya jadi mbak rey, mungkin saya udah nangis. Dan mau cepet-cepet pulang aja.
    Saya sendiri mau mudik tahun ini ke kediri, untuk pertama kalinya bawa bayi.
    Semangat ya mbak rey, semoga rejekinya makin lancar💪💪☺

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sampai nggak bisa beli ini itu saking duit cuman ditabung untuk mudik terooosss hahahaha

      Hapus
  5. Rey, sedih aku bacanya.. tapi gimana lagi Yaa, namanya masih ortu sendiri. Aku saluuut Ama kamu, kuat, mental baja sebenernya. Krn ga mudah bgt utk bisa pulang sejauh itu, tapi tanggapan keluarga malah kayak dingin 😔. Mungkin kalo aku yg ngalamin, aku ga tertarik utk pulang lagi Rey.

    Tapi setidaknya sambutan mertua masih lebih hangat ya Rey. Terkadang memang gitu. Ortu sendiri kayak cuek, eh mertua jauuh lebih perhatian.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener Mba Fan, pasti diganti sama Allah, kalau ortu kita cuek, pasti kita dapatkan dari tempat lain :)

      Hapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)