Pengalaman Konseling Dengan Psikolog Dan Biayanya Di Unair

pengalaman ke psikolog

Sharing By Rey - Hah? Rey ke psikolog? gila ya?
Ish...
Kalau gila mah, bukan ke psikolog, tapi ke RSJ Menur dan langsung nginap, lol.

Sungguh ya, hidup kadang memang begitu lucu, begitu lucu sampai saya bisa nangis sambil ketawa secara berbarengan.



(Eh, itu mah memang kebiasaanmu, Rey! lol)

Beberapa tahun lalu, saat sedang jalan-jalan di Taman Bungkul saat car free day, saya melihat beberapa orang mahasiswa, entah dari fakultas psikolog mana, mereka membuka konseling gratis bagi pengunjung di situ.

Saya pun, tidak luput dari ajakan mereka, namun saya tolak dengan halus,
"Psikolog itu kuncinya di pikiran, mau konseling juga percuma!"
Demikian kata saya dulu dengan songongnya pada pak suami.

Eh ladalah...
Beberapa tahun kemudian, saya rela bayar psikolog demi konseling, lolololol.

Pun juga, saya teringat kejadian yang juga lucu.
Beberapa tahun lalu, saat saya masih kerja kantoran, saya sering banget sedekah kuping dan bertindak ala-ala psikolog, buat teman kantor saya yang punya masalah dengan suaminya.

Hampir setiap hari dia bercerita, sayapun mendengarkannya dengan seksama, mencoba memberikan solusi, meskipun kebanyakan di'tolak' oleh teman saya tersebut, dengan kengeyelannya.

Eh sekarang dong.
Saya rela membayar, demi konseling pernikahan, hahaha.

Iya, saya akhirnya memutuskan untuk mencoba menjalani konseling pernikahan, setelah dua kali bertemu dan 'ngobrol' bersama beberapa orang mahasiswi S2 Psikolog Unair.
Dan dari pengalaman tersebut, saya sudah bisa menemukan satu titik simpul dari ketidak stabilan emosi saya akhir-akhir ini.

Dan saya juga mengetahui, masih ada simpul lain yang belum ketemu, yaitu simpul hubungan saya dengan suami, yang kadang bikin saya ingin balikin anak-anak ini ke empuNya, agar saya bisa bebas melenggang pergi.

Iya, saya ingin sekali menyerah dengan pernikahan saya, tapi saya tidak tega memisahkan anak-anak dari saya dan papinya, hiks.

(Cerita tentang masalah saya, akan saya ungkap secara lengkap, kali aja bisa jadi pelajaran buat lainnya, tentunya dengan bahasa standar ya, bukan detail, sehingga terbaca aib :D, demikian juga cerita bagaimana saya ketemu anak-anak mahasiswi tersebut?, apa saja yang kami bahas?, bagaimana efeknya terhadap diri saya?, bakal saya tuliskan di postingan lain, meski alurnya jadi alur mundur hahaha).

Singkat cerita, saya akhirnya mengikuti saran si mahasiswi tersebut, untuk langsung menemui dosennya, yang konon katanya paling sabar dan baik di semua dosen psikolog Unair.

Tapi dosennya, laki!

Awalnya saya sedikit maju mundur, ya kali curhat masalah rumah tangga sama laki-laki, meskipun ahlinya, tetap saja saya merasa kurang nyaman.

Tapi, saya merasa harus banget menuntaskan semua yang sudah saya jalankan, yaitu ngobrol dengan mahasiswa psikolog tersebut.
Dan karenanya, saya memberanikan diri mengirim pesan kepada bapak dosen tersebut.
"Siang Pak Sanny, saya Rey, dapat nomor bapak dari Hilda, mahasiswi bapak.
Saya sudah ketemu 2 kali sama Hilda dan konsultasi.
Terakhir, Hilda menyarankan untuk bertemu bapak langsung di RSUA.
Kira-kira kapan bisa bertemu Pak?
Dan bisakah jika di hari Sabtu?
Terimakasih
2,5 jam kemudian, dijawab oleh si pak dosen, bahwa akan diatur waktunya agar bisa bertemu segera.
Yang mana, baru bisa terealisasi seminggu kemudian, hahaha.


Mengunjungi Psikolog di UPP Unair


Sebenarnya, tujuan awal saya menghubungi dosen tersebut, oh ya namanya pak Sanny, saya googling nama lengkapnya Imam Sanny Prakosa Wardhana, S.Psi. , karena konon beliau ini paling sabaaarr banget menurut hampir semua mahasiswanya, pun juga beliau prakteknya di RSUA yang katanya rate per session itu hanya sekitar 200ribuan saja.

Padahal, sebenarnya rate psikolog itu mihil kan ya, setidaknya minimal paling murah 200ribu per jam, itupun jarang banget.
Apalagi kalau psikolognya yang terkenal.


 Imam Sanny Prakosa Wardhana, S.Psi
Pak Sanny

Tapi, setelah berkali-kali menyesuaikan jadwal si bapak psikolog tersebut, ketemulah jadwal yang kami sepakati bersama, yaitu hari Kamis, 26 Desember 2019 , bertempat di UPP fakultas Psikolog di kampus Unair.

Happy dong saya, soalnya cuman selemparan kolor doang dari rumah mertua, jadilah saya sejak 2 hari sebelumnya sudah mengkondisikan kepada anak-anak, bahwa mami sama papi mau ke Unair sebentar, nantinya kakak harus bantuin mami jaga adik sebentar di rumah eyang.

Dan Alhamdulillah, pas waktunya tiba, si adik tenang saja nonton youtube di TV kamarnya adik ipar, kebetulan adik ipar lagi keluar, jadi saya kasih banyak mainan milik keponakan, setelin youtube, dan berpesan hanya boleh nonton kartun saja, lalu kami berangkat deh ke Unair.

Dan ternyata benar, jarak bangunan fakultas Psikolog itu dekat banget, ada di kampus B unair.
Kami lewat dari depan bangunan utama, dan setelah mendapatkan informasi dari bapak-bapak yang berjaga di dekat pintu, kami di arahkan di bangunan agak belakang.

Karena kami janjian pukul 18.00 dan agak bingung karena sholat Magrib sekarang tuh pas pukul 6 sore, akhirnya saya minta izin telat beberapa menit, karena mau sholat magrib di mushola dekat bangunan fakultas Psikolog tersebut.

Selesai sholat, kami bergegas naik lagi ke lantai 3, dan untunglah saya segera disambut oleh pak Sanny tersebut dan diminta menunggu sementara di dalam ruangan, karena beliau mau sholat Magrib dulu.

Etdaahh, tiwas saya udah nggak enak karena telat beberapa menit akibat sholat, ternyata si bapak malah belom sholat hahaha.

Beberapa menit duduk menanti, seorang wanita muda, sepertinya sih dia juga mahasiswi di situ, datang memberikan beberapa lembar kertas yang harus saya isi.


Kertas tersebut berisi pertanyaan biodata pasien (eh bener ya, saya menyebut diri saya dengan sebutan pasien, asal bukan pasien RSJ sih ya, hahaha).
Kalau nggak salah ada 4 lembar, dari nama, tanggal lahir, suku, agama, data sekolah, pengalaman kerja, kegiatan di luar rumah, persis kayak Curiculum Vitae orang bekerja hahaha.

Setelah terisi, barulah saya diarahkan ke sebuah ruangan yang agak jauh dari ruangan UPP tersebut.
Saya masuk bersama suami saya, namun pak suami diminta menunggu di luar, saya masuk ke dalam ruangan kecil yang di dalamnya ada 1 sofa dan beberapa kursi serta meja bundar mirip meja makan.

biaya ke psikolog di UPP unair
Saya duduk di kursi tersebut


Sesi Konseling Bersama Psikolog


Nggak lama kemudian, pak Sanny pun datang.
Berbasa-basi sebentar, lalu menanyakan keluhan saya.

pengalaman konsultasi ke psikolog di surabaya
Ini sofanya kayaknya buat terapi deh

Sungguh awkward momen rasanya, hanya berduaan sama lawan jenis dalam ruangan tertutup, untungnya sih masih berbentuk kaca, jadi terlihat dari luar dan ada pak suami di depan ruangan tersebut.

Mungkin karena sebelumnya saya sudah 'ngobrol' banyak ke Hilda, si mahasiswi psikolog Unair tersebut. Jadilah saat ditanya masalah saya apa, saya bisa bercerita dengan lancar, bahkan seolah runut, meskipun dalam hati bertanya-tanya, saya kan mau konseling pernikahan, mengapa cuman saya yang disuruh masuk?

Dan seperti biasa, psikolog pasti akan mendengarkan dulu, sambil sesekali bertanya hal-hal yang konkrit misal,

Saya (S) : "Kami selalu bertengkar pak, dan itu membuat saya jadi lebih emosian, lalu berdampak pada anak"

Psikolog (P) : "Contoh konkritnya gimana? kapan terakhir kalian bertengkar?"

S : "hampir setiap kali bertemu pasti bertengkar, Minggu kemaren juga"

Saya terus bercerita tentang detail apa yang saya rasakan, bermula dari hamil kedua kalinya di tahun 2017 lalu, emosi jadi meningkat, lebih parah setelah anak lahir, dan saya mencurigai kalau saya kena baby blues berlanjut PPD, gara-gara ikut seminar event blogger di RS Mitra Keluarga.

Keadaan itu terus berlanjut, sampai saya ketemu Hilda, ngobrol dan merasa menemukan simpul permasalahan saya dengan anak.
Dan itu memang sedikit banyak berhasil setelah saya coba.

Namun masih ada simpul lain yang memicu emosi, dialah hubungan saya dengan suami.
Sifat suami yang seolah lupa kalau dia sekarang adalah seorang ayah, yang mana punya tanggungan 2 orang anak, dan tentunya punya anak itu means wajib banget mencintai target, dan seolah si pak suami hidup let it flow banget.

Hasilnya?
Sudah 10 tahun menikah, orang lain udah mendarat di bintang, kami menuju tangga aja belom, hahaha.

Saya sungguh merasa lelah, merasa hidup bukan sebagai perempuan, selalu harus di depan menarik semuanya, saat saya lelah dan memilih ada di belakang, rumah tangga ini berantakan nggak karuan. "Reyne Raea"
Biar kayak tagline-nya Kim Ji-Young, lolololol.

Karena cara Rey salah dalam menghadapi semua masalah tersebut, Rey mengambil semua masalah saat sedang jatuh, dan memperbaikinya. Lalu menyerahkannya semuanya kembali ke suami saat sudah benar. SEMUANYA! "Pak Sanny"
Masalah terbesar saya kayaknya ini.

Iya, saya tahu Pak, karakternya memang gitu, karena pola asuh ortunya di masa kecil yang cederung santai dibanding pola asuh orang tua saya, tapi.. kita sekarang kan udah jadi orang tua, gimana bisa kita berlindung dibalik kata karakter? sementara saya sesungguhnya saya dulu tidak seperti ini, saya dulunya pemalu, saya kolot, tertutup, tidak open minded, saya berjuang berubah sehingga menjadi seperti saat sekarang ini, yang mana, seolah tidak ada seorang pun yang percaya, saya merasa depresi karena beban hidup, hanya karena saya terlihat riang, dan bisa ngobrol selancar ini ke Bapak "Reyne Raea"
Okeh, kayaknya sih udah nggak bisa jadi tagline lagi ya, kepanjangan, lol.
Etapi bener loh, dari sejak ngobrol sama Hilda, mereka tidak menganggap saya punya mental illness, menurut mereka saya sangat sehat secara mental.

konseling di psikolog unair surabaya

Kalau saya punya mental illness, sangat tidak mungkin, saya bisa ngobrol selancar itu, mengeluarkan semua uneg-uneg saya, tidak menahan apapun di dalam diri saya.

Iya, saya nggak peduli, meski saya nangis, soalnya saya sudah pakai mascara waterproof *eh, lolololol.

Enggak, maksudnya bahkan saat pertama kali ketemu Hilda dkk, mereka tuh ada bertiga loh, dan saya cuek aja ngobrol lancar seolah nggak ada rem hahaha.

Dan entah mengapa, seolah saya tidak memerlukan jawaban, saya seolah persentasi, karena saya tahu persis apa sebenarnya yang saya inginkan, apa yang saya butuhkan, apa yang harus saya lakukan.
Jadi sebenarnya  saya cuman butuh seseorang yang punya kapasitas buat meyakinkan saya.
"Iya, betul Rey! kamu memang harus seperti itu!"
Demikian juga dengan pak Sanny, sesungguhnya apa yang beliau katakan ke saya itu, semua sudah terpikir di benak saya.
Masalah kami itu adalah komunikasi, dan menurut pak Sanny, sebaiknya, daripada stres mengubah orang lain, akan lebih mudah jika saya yang harus mengubah diri sendiri.

Ya ya ya... tetep sama sulitnya sih, hahaha.
Karena beban mental dan fisik saya sama besarnya hahaha.

Tapi, entah karena mungkin masalah gender kali ya, atau memang pak Sanny nggak tahu kalau sesungguhnya saya inginnya pak suami yang konseling, karena pola pikirnya tuh, perlu sesekali di'lurus'kan.
Ye kan, dia tuh laki-laki loh, kepala keluarga, tidak boleh selamanya berlindung dibalik karakternya.

Pun juga sesungguhnya kalau mengikuti karakter, saya yang sekarang tuh bukan lagi seperti saya yang dulu, saya berjuang keras untuk menjadi lebih baik, berjuang keras untuk berdamai dengan segala hal yang tidak saya sukai, berjuang keras untuk berdamai dengan masa kecil saya yang pahit.

Jika orang lain tahu bagaimana masa kecil saya, bahkan mungkin orang akan kaget, mengapa saya nggak gila sekarang, hahahaha.
"Rey pasti bisa, Rey itu wanita yang kuat, wanita yang cerdas!" kata pak Sanny.
Okeh baiqlah, sepertinya memang semua psikolog akan memakai cara tersebut untuk menaikan rasa percaya diri pasiennya hahaha.
Padahal saya tidak sedang merasa minder, saya hanya merasa it's not fair!
Ini tuh rumah tangga, harusnya kami berdua berjuang?
Mengapa hanya harus saya saja yang memahami suami?
Mengapa semua kelakuan baik suami menjadi tanggung jawab saya?

Bukankah saya menikahi orang dewasa?
Mengapa saya harus memperlakukan suami macam anak kecil?
Sungguh hal itu sebenarnya yang saya alami.

Tapi entahlah, mungkin juga memang waktu 2 jam itu terasa nggak cukup.
Etapi nggak sampai 2 jam sih, saya masuk ruangan konseling tersebut sekitar pukul 18.30 dan sekitar pukul 19.30 sudah selesai.

Abisnya juga nggak ada cara lain yang disarankan oleh pak Sanny selain mengubah cara menghadapi suami, harus lebih mengenal kelemahan diri, tahu kapan emosi saya bisa dikendalikan, demikian juga tahu waktu saat emosi suami sedang tidak stabil, agar komunikasi bisa terjalin dengan baik.

Selain itu, saya juga kudu belajar memberikan pilihan luas kepada suami, misal.
"Papi mau pakai baju mana?" Tunjukan selemari, jangan kasih opsi 2 atau 3 saja. Ye kan, kali aja dia maunya yang ke-4, tapi karena malas berdebat dia pilih aja di antara opsi 2 pilihan yang saya kasih.
Kalau ini memang benar, kadang tanpa sadar saya menyetir pak suami.
Etapi bukanlah Rey kalau melakukan sesuatu tanpa alasan.

Saya sangat mengenal pak suami, kami berhubungan hingga 8 tahun sebelum akhirnya menikah.
Makanya saya tahu kelemahan dan kelebihannya, itulah mengapa saya selalu (kadang) seolah menyetir dia.

Dan terbukti juga, saat saya serahkan ke dia menentukan pilihannya sendiri, semuanya kacau berantakan dan tidak pernah bisa dia benarkan SAMA SEKALI!

KARENA KAMU TINGGALIN DIA SENDIRIAN, REY!

*Sigh.

Saya juga harus sering mengajak komunikasi pakai data, misal.
"Pi, 3 bulan lagi si kakak mau daftar ulang sekolah nih, dia butuh biaya segini, sementara uang tabungan kita segini"
Sertakan dengan kertas yang berisi data-data tersebut, ajak bicara dengan data yang nyata.
Jangan meminta, tapi memberi tahu, sehingga si pak suami, bisa berpikir sendiri, tanpa disetir.

Inilah mungkin yang dinamakan dengan memberi opsi luas, sekaligus melatih pak suami agar terampil berpikir tanpa batas.

Etdah, yang memalukan adalah...
Semua nasehat itu sebenarnya sama persis dengan nasehat yang saya berikan kepada teman kerja saya dulu, sewaktu saya masih kerja.

Did you know?
Ini sangat lucu!

Teman saya bebas curhat dan mendapatkan nasehat secara free dari saya.
Sementara saya HARUS MEMBAYAR untuk mendengarkan hal yang sebenarnya saya sudah tahu, wakakakak

MAKANYA REY!
DO IT, DON'T THINK THINK MELULUH! hahahaha.

Tapi terlepas dari hal yang lucu tersebut, saya jadi sadar, BETAPA MUDAHNYA KITA MENASEHATI ORANG, TERNYATA SULIT KITA PRAKTEKAN SENDIRI, lololol.

Semoga teman saya itu nggak baca tulisan itu dan bilang,
"Mangkane talah Mbak Rey, ojok mbacot ae!"
 Baca aja, jangan suruh saya ngomongin bahasa itu, pasti aneh, hahaha.

Singkat cerita, saya akhirnya memutuskan mengakhiri konseling tersebut, dan mengisi waktu terakhir dengan me'wawancara' si bapak dosen tersebut hahaha.
Etdah, kamu itu konseling atau liputan Rey?

Eh seharusnya kemaren itu gratis aja yak, kan saya ulas di sini juga, biar si bapak dan UPP Unair makin terkenal hahahaha.


Tentang Unit Pelayanan Psikolog Unair Dan Bapak Imam Sanny Prakosa Wardhana, S.Psi.


Unit pelayanan psikolog atau UPP unair berada di lantai 3, Gedung Fakultas Psikologi UNAIR, Jl. Dharmawangsa No.4-6, Airlangga, Gubeng, Surabaya.

UPP ini merupakan lembaga yang dibentuk secara formal, dan berada di bawah naungan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Secara struktural, Unit Pelayanan Psikologi merupakan salah satu Unit Terapan dari Fakultas Psikologi UNAIR yang awalnya sebagai dharma bagi masyarakat psikologi di Surabaya

Di sini, melayani pasien (eh namanya apa ya? klien atau pasien ya? hahaha) umum dengan beragam masalah kejiwaan.
Dan di sini, dilayani semua oleh para dosen psikolog yang ada di Unair.

Menurut pak Sanny, cukup banyak klien (oke saya nyebutnya klien aja kali ya, hahaha) yang datang, namun kebanyakan memang anak-anak muda, yang bahkan rela nabung demi bisa konsultasi dengan psikolog tentang masalah hidup ala anak muda yang absurd itu, lololol.

Etapi saya sangat memberikan apresiasi loh sama anak-anak muda seperti itu, daripada salah langkah, memang sebaiknya curhat dengan psikolog.

Nggak usah malu kalau masalahnya absurd, lolol.
Karena semua psikolog telah disumpah dengan kode etik profesi mereka dengan menjaga kerahasiaan data dan masalah kliennya.

Bapak Iman Sanny Prakosa Wardhana, S.Psi, atau yang biasa dipanggil pak Sanny sendiri, merupakan  salah satu dosen yang ada di kampus tersebut.

Beliau merupakan lulusan Unair (S1), Unpad (S2) dan menempuh S3 nya di  Universiti Putra Malaysia.
Keahlian beliau di bidang Psikodiagnostik, Konseling Penyesuaian Diri dan Kepribadian, Konseling Perkawinan dan Keluarga.

So sangat tepat sebenarnya kalau mau konseling pernikahan dengan memilih psikolognya ya beliau ini. Meski sejujurnya saya kurang nyaman ngobrol dengan laki-laki, karena biasanya pola pikir mereka menyelesaikan masalah juga masih dipengaruhi oleh gender.

Tapi, saya tidak bisa menyimpulkan hal demikian sih, soalnya saya baru sekali ke psikolog dan ketagihan sebenarnya, asal gratis sih, dibayar tulisan kayak gini, hahahahaha
*kabooorrr sebelum ditimpuk masalah.

Oh ya, selain praktek di UPP Unair, pak Sanny juga praktek di Poli Psikolog RSUA, beliau nggak hafal pasti sih berapa biaya konsultasi di RSUA, tapi kalau nggak salah sekitar 200ribu per session dengan waktu konseling sekitar kurang lebih 1 jam.

Cuman, kalau nggak salah, kata beliau di poli psikolog RSUA tidak menerima BPJS.



Biaya Konseling Bersama Psikolog Di UPP Unair Surabaya


Ada yang kepo berapa biayanya enggak?
Pasti pada kepo, kan? kan? kan? kan?

Bilang iya aja deh!
Kalau enggak, enggak bakalan saya tulis aja deh 
*kabooorrr lagi.

Eh bentar, sebelum saya kasih tahu berapa biayanya, sekalian deh saya mau ceritain tentang biaya yang saya siapkan untuk konseling ini. Sekalian menyemangati kepada semua teman-teman yang merasa butuh psikolog tapi ngeri bayarnya, hehehe.

Sebenarnya, sudah lama saya ingin ke psikolog, saya minta suami mengantar saya, tapi suami menolak, alasannya beliau belum punya duit.
Terlebih, dengar-dengar psikolog itu kan mahal!

Nah, karena saya merasa makin lama makin kacau, saya akhirnya mengalah, saya kumpulin sendiri uang untuk biaya konseling tersebut dari hasil kerja saya mengais rezeki dari blog dan instagram.

Meskipun kebanyakan terpakai lagi sebelum sempat terkumpul, karena memang kami sedang berada di zona bokek-bokek berjamaah hahaha.
Tapi Alhamdulillah, menjelang waktu temu konseling kami, seorang sahabat yang baik hati menawarkan saya pekerjaan menulis, yang hari ini nulis, eh besoknya udah ditransfer dong, masha Allahhhh...

Makasih banyak ya sahabat, no mention ah, dia pasti baca kok, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat padamu, wahai sahabat :)

Jadinya lumayan buat pegangan, kali-kali aja ternyata biayanya semahal yang dikatakan banyak orang.

Tapi dasar si Rey orang cashless banget.
Dengan pedenya saya cuman punya duit cash 220 ribu di dompet dong!

Saya punya kartu ATM BNI sih, dan di Unair itu banyak ATM BNI, tapi karena buru-buru, saya nggak sempat mampir ATM, beruntung pak suami punya duit cash 200ribu di dompetnya.

Pas selesai konseling, saya kembali ke ruangan awal saya masuk, dan disambut kwintasi oleh seorang mahasiswa yang berjaga di sana, lalu...

OH EM JIII DUIT SAYA KAGAK CUKUP DOOONGGG!!!

Totalnya Rp. 379,000.- alias tiga ratus tujuh puluh sembilan ribu rupiah.

Dengan biaya konsultasi selama 1,25 jam (ternyata bukan 2 jam sodarah, hahaha) = Rp. 354,000
Dan biaya administrasi awal Rp. 25,000

Tahu deh itu mahal atau murah, ye kan saya baru pertama kali ke psikolog, belum ada pembandingnya.

Entar deh, kalau saya udah ke psikolog lainnya lagi, atau mungkin ada yang mau endorse, hahaha.
Baru deh saya bisa bandingin.

Mahal nggak sih?

Kalau secara umum sih, sebenarnya itu terbilang murah sih ya.
Bayangin saja, mereka itu sekelas dokter kan ya, bahkan lebih kayak si pak Sanny udah S3.
Cara kerja seorang psikolog juga jauh lebih menantang dari seorang dokter spesialis, karena mereka bertugas membenarkan pola pikir manusia.

Kalau kliennya kayak saya sih, pekerjaan mereka lebih gampang.
Karena saya lebih open minded, bisa bercerita banyak, tanpa dikorek-korek hahaha.

Lah bayangin kalau yang datang tuh beneran punya mental illness yang parah, dijamin mereka kudu bekerja lebih keras lagi untuk mendapatkan data buat menyembuhkan si klien.
Makanya, sesi konseling tuh paling cepat ya sejam, kalau saya mah itu kurang hahaha.

Itu juga yang membuat kebanyakan psikolog membatasi kliennya, karena kalau kebanyakan otak panas juga berpikir hahaha.

Begitulah..


pengalaman ke psikolog di surabaya
Ngapain Rey? pose buat feed IG, lololololol

Kalau ditanya, saya menyesal ke psikolog?
Sama sekali enggak!
Menyesal biayanya di atas perkiraan, juga sama sekali enggak, karena se'mahal' apapun itu, selama saya masih punya duit buat bayar, ya memang belum mahal-mahal amat namanya hahaha.

Apa saya khawatir dengan masalah saya nggak di keep ama psikolognya?
Etdah, malu gimana, orang di sini saya ceritakan gitu loh, dibaca banyak orang dengan bebas, hahaha.

Enggak dong, ngapain malu ke psikolog.
Saya malah bangga, soalnya saya keren udah pernah ketemu psikolog, udah tahu konseling itu kayak apa, meski masih kepo terapi itu kayak apa? lol.

Lagian mengapa sih malu ke psikolog?
Takut dibilang gila?
Tidak semua orang ke psikolog itu gila loh, btw orang gila mah ke psikiater deh kayaknya, bukan psikolog hahaha.

Justru yang memalukan itu, adalah orang-orang yang suka nyinyir, mengejek orang ke psikolog karena gila, justru merekalah yang sebenarnya butuh psikolog banget nget.

Ye kan, orang yang suka nyinyir tapi nggak sadar kalau itu salah, adalah orang yang punya masalah mental, hahaha.

So, yang suka nyinyir, noh ke psikolog!

Sekian, dan bagi teman yang memang merasa butuh psikolog, jangan takut ke psikolog deh, setidaknya sekali saja buat curhat.
Enak tahu curhat sama psikolog itu, mereka itu beneran paham apa yang kita rasakan.
Dan mereka nggak pernah menyalahkan kita, tapi mengarahkan setelah uneg-uneg kita kosong.

Begituhhh...




Sidoarjo, 27 Desember 2019


Sumber : 
  • Pengalaman pribadi
  • Website https://psikologi.unair.ac.id/
Gambar : Dokumen pribadi

40 komentar :

  1. Habis baca kok jadi pengen ikutan ke psikolog ya 😂 siapa tau bisa dpet pencerahan gtu 😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo say, enak kok, bikin plong dan kita lebih bisa berpikiran positif :)

      Hapus
    2. Kak mau tanya, untuk membuat janji dengan beliau bagaimana ya?

      Hapus
  2. Emang tempat prakteknya dilingkungan kampus gitu ya mba...

    Aku tertarik jg nih ke pisikolog, tp yg bener bener bisa ngorek sampai ke alam bawah sadar. kaya hypnoterapi gitu.

    Karena terkadang apa yg kita lakuin itu hasil reflek dari reaksi alam bawah sadar kita, dan itu gak pake mikir dulu.

    Makanya kadang kok kita lakuin ini yah, dikondisi tertentu misal tersudut atau panik jadi reflek - ngomong gak ke rem, sikap gak ke kontrol, trus kalau udah bisa mikir tau itu salah, tp masih begitu.

    Alam bawah sadarnya yg harus dicari tau,akar masalahnya itu apa.
    Aku belum pernah hypnoterapi sih, tp selama ini bener bener mencoba mengontrol emosi yg meledak ledak aja.

    Awalnya susah bgt... Tapi lama lama jadi agak terbiasa. Meskipun akar masalahnya gak berubah, otomatis cara pandang ke permasalahan juga gak berubah. Tp Setidaknya reaksi yg keluar bisa sedikit ditahan biar gak doll.
    Hehehe...

    Makasih sharing nya mbak Rey,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sempat nanya nih ama mahasiswa Psikolog kemaren, karena kan kepo juga dengan beragam terapinya.
      Tapi menurut mereka, sebenarnya hypnoterapi itu nggak masuk dalam ilmu psikolog yang mereka pelajari.

      Jadi mungkin semacam pengobatan herbal kalau dalam penyakit fisik.

      Beberapa teman yang pernah ikut hypnoterapy juga pernah sharing sama saya, katanya memang nggak semuanya bisa work gitu.

      Kalau menurut saya, mending coba konseling dulu, awalnya memang hanya ngobrol-ngobrol biasa dulu, karena sama juga kayak ngobrol biasa, mereka butuh mengumpulkan banyak informasi tentang kita buat ditindak lanjuti :)

      Hapus
  3. Kalau jaman dulu mungkin iya banyak yang berpikir pergi ke Psikolog itu artinya gila hehe tapi kalau jaman sekarang, semua lebih terbuka, ilmu-ilmu pun bercucuran di mana-mana jadi kebanyakan dari kita mungkin sudah tau kalau pergi ke Psikolog itu adalah salah satu upaya untuk mengenal diri kita :D

    Jujur, saya selalu bilang ke siapapun yang saya kenal dan mereka butuh bantuan, untuk please datang ke Psikolog. Karena curhat ke Psikolog itu lebih terarah dan mendapatkan jawaban yang lebih konkrit. Dan bedanya curhat ke Psikolog daripada ke teman sendiri karena Psikolog lebih neutral dalam melihat polemik :>

    Mba Rey biaya konseling yang mba bayar itu masuk kategori murah menurut saya, jadi worth it dengan apa yang mba dapatkan hehe. Tapi mungkin ke depannya kalau mau ke Psikolog lagi, pastikan kenyamanan mba juga (apabila lebih nyaman sama Psikolog perempuan) karena itu akan membantu juga saat pengambilan tindakan :D sama saja seperti pilah-pilih dokter, dicari terus sampai ketemu yang cocok hehe.

    All in all, saya doakan semoga masalah mba Rey cepat mendapat solusi, bisa diselesaikan dengan baik, dan mba bisa survive di sekelumit problematika dalam pernikahan yang mba jalani. Cheers mba :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah bener, saya pengennya cewek sih, kalau bisa yang ibu-ibu, udah nikah lama dan punya anak, soalnya kalau udah pengalaman sendiri, bakal lebih luas lagi pemikirannya, bukan teori semata.

      Lah kemaren tuh si bapak seolah nyuruh saya aja yang kudu ngalah, padahal ya dia juga sadar kalau paksu juga punya andil salah hhhhh

      Hapus
  4. Kukira tadi bayarnya sampai 500an. Hihi. Btw suaminya nggak ikut konsul juga, ya, mbak? Kalau aku pribadi sih kayaknya nggak pernah berpikir mereka yang ke psikolog itu gila, ya. Nah kalau dokternya spesialis jiwa baru deh aku berpikir ada masalah jiwa. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha, kayaknya di tempat lain minimal 500rebo deh hahaha, untunglah nggak nyampe, kalau enggak kayaknya saya kapok datang lagi hahahaha.

      Suami saya ikut, tapi nggak disuruh masuk, salah info kayaknya tuh :D

      Hapus
  5. Kalau melihat Raut muka dan senyum Pak Psikolog diatas, Kayaknya separuh dari masalah bisa lenyap entah kemana.:) dan separuhnya tergantung hasil konseling. Hihihi :)

    Menurut saya orang yang pergi ke Psikolog itu tidak gila, kalau gila mana mungkin nyampai ke kantor Psikolog, yang ada malahan nyampai di RSJ. :)

    Kalau menurut saya lagi, tindakan Mbak Ke Psikolog itu sudah benar sih, karena itu adalah salah satu jalan Mbak untuk mencari Solusi Kepada yang Ahlinya. :)

    Terus hasilnya sekarang gimana Mbak....? jadi kepoh nih, hahaha.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha, sesungguhnya yang bikin saya semangat ke Piskolog kemaren ya karena penasaran aja, kalau hasilnya sih tergantung pola pikir, karena nggak ada terapi khusus kemaren :D

      Hapus
  6. dari penjelasan diatas, saya bisa sedikit mengerti apa yang Mbak Alami. ( Sok tau ajah loe Kang, hahaha.....wkwkwkwk ).

    Ada baris atau kalimat yang mewakili apa yang Mbak rasakan. Dan saya yakin bahwa tidak mudah menjadi sosok seperti Mbak.

    Kata orang dng bercerita maka beban pikiran kita akan sedikit berkurang, dan sisanya gimana....? Gotonglah beramai - ramai. Namun ketika mengotong beramai - ramai masalah tsb, kadang tidaklah mudah.Butuh Kerjasama dan Pengertian.

    #eeee...saya udah kayak Psikolog belum yah....hahaha.Bercanda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaahhh, Kang Nata kok tahu ajah hahaha.
      Betulm sebenarnya masalah saya tuh karena saya merasa beban saya pikul sendiri, yang diajak pikul malah kabur hahahaha

      Hapus
  7. Kata orang sih, ( maaf saya ngak punya ide sendiri nih, hahaha.....) coba bikin rencana kecil tapi manis & menarik setiap harinya kepada diri sendiri, kepada anak - anak dan kepada suami. Tujuannya agar kita mendapat energi positif dari rencana tsb, sehingga komunikasi bisa lancar.

    Misalnya : kayak iklan teh celup yang di tivi itu loh, biasanya setelah minum teh semuanya jadi Adem.

    # Maaf koment saya rada ngawurr, hahaha. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya malah mikir ide ini mirip kayak cerita film apa gitu tapi judulnya lupa, yang akhirnya menyusun kembali rencana rencana kecil tapi bermakna biar nyusun kenangan indah bersama lagi

      Hapus
    2. hahahaha iyaaa, sebenarnya kuncinya di komunikasi sih, dan cinta sebenarnya, kalau ilfeel itu, tantangannya lebih gede lagi hahaha

      Hapus
  8. Memang normal kok, Mbak, datang ke psikolog untuk konseling. Dan lebih bagus begitu daripada curhat ke orang lain. Konseling ke psikolog kita bisa merasa lebih tenang, lebih plong, dan mendapatkan solusi. Sementara curhat ke orang, bukannya dapat solusi malah bisa-bisa jadi bahan gunjingan atau bahan nyinyiran. Semoga masalah Mbak Rey segera terselesaikan dengan baik ya. Semangat terus, Mbak Rey.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha iyaaa...
      kalau yang ahli lebih tahu apa yang kita butuhkan, kalau cerita ke teman mah, udahlah nggak semua orang tahu kebutuhan kita, pun resiko kita disindir atau dijadikan bahan omongan :D

      Hapus
  9. Wah kalau dilihat2 bapak dosennya ini mirip dosen pembimbingku pas masih kuliah di bogor kak rey, tapi beda nama en mata pelajaran ding, soale yang diajarkan bliau mata kuliah ekonomi koperasi #yaiyalah cuma wajahnya aja yang mirip hehe

    Syukurlah, meski di tengah kesibukan dan ngatur taktik biar anak anak kepegang dulu (dititip saudara sebentar), yang penting uneg uneg sudah tersalurkan di tempat yang tepat.

    Biarpun jawabannya juga uda kak rey prediskikan sendiri seperti nasihat2 yang biasa kak rey berikan kpd teman yang curhat, yang penting ketika kita ada uneg2pun sudah tersedia mediator alias pendengarnya yang which was ditangani langsung oleh ahlinya, jadi paling ga solusinya juga ga penuh dengan judgmental

    Aku sendiri udah teredukasi dg baik sih, kalau masalah orang datang ke psikolog ya ga ada anggapan sedikitpun bahwa halntersebut adalah sesuatu yang 'mengganggu' atau dalam artian sesuatu yang konotasinya negatif.

    Normalnya manusia, kadang ya ada hal hal yang emang permasalahannya ga langsung terselesaikan dg cepat. Ada problematika kehidupan yang solusinya butuh proses dan pemahaman bukan hanya dari diri sendiri saja, melainkan juga dari lingkungan keluarga dekat yang terlibat.

    Pelan-pelan, yang penting menunjukkan arah yang lebih baik dengan saling komunikasi dan saling memahami

    Ditunggu session jilid 2 nya kak rey, chaiyoooo ! ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul banget, kalau selama ini saya tahu tapi ngobrolnya ke diri sendiri, nggak nemu orang yang ngerti soalnya, kalau kemaren semacam nemu teman baik buat ngobrol, sayang berbayar, saya jadi penasaran kira-kira para psikolog itu bisa jadi teman ngobrol yang baik buat pasangannya nggak ya? hahahaha

      Hapus
  10. keren mba rey, terniat sih sampai datang ke psikolog. tapi menurutku, datang ke psikolog merupakan pilihan yang tepat dari pada curhat ke teman yang mana belum tentu didengarkan dengan sepenuh hati ya kan..

    seengganya setelah ketemu psikolog hati jadi lebih plong ya gak sih mba?

    oya, ku kira mba dan suami bakal konsul bersama gitu, jadi biar bisa saling perbaiki diri dan tau masing2 kesalahannya dimana. ealah, malah mba rey doang toh ya ternyata yang konsul.

    tapi pak suami tau gak, mba rey konsul tentang apa aja dgn psikolog tsb?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya ama pak suami kok say, sayangnya kok cuman saya yang disuruh masuk, padahal semua penjelasan itu udah saya tahu, harusnya suami yang pola pikirnya kudu dicuci dikit hahahaha

      Hapus
  11. Speechless dengan alasan di balik kunjungan mbak Rey ke Psikolog.

    Wish the best buat Mbak Rey & keluarga ya.

    BalasHapus
  12. Mbak, dirimu nulis dari serius jadi guyon, saya jadi mau nangis sambil ketawa, kan...kwkwk. Mulai selemparan kolor sampai mascara anti air :(

    Mbak Rei, insya Allah kuat dan bisa melalui semua ini. Semoga apa yang mbak harapkan terhadap suami bisa terwujud. Saya juga setuju mestinya kita konsultasi sama ahlinya seperti ke psikolog. Kalau saya, tiap jumat ada kajian dan ustadznya seorang psikolog. Auto emak-emak pada curhat gratisan, kan, Mbak...haha. Mulai dari masalah suami, anak, keluarga, sampai tetangga... :D Begitulah.hihi. Tetap semangat, Mbakku :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Next saya kayaknya mau yang kayak gitu Mba, saya dengar di sebuah masjid terkenal di Surabaya ada yang namanya konseling pernikahan seminggu sekali bersama psikolog juga.

      Cuman memang nyari waktunya yang susah, serta paksu yang belum sadar butuh psikolog hahaha


      Hapus
    2. oh ada ya Masjid yg layani konseling pernikahan?dimana itu?musim pandemi gini apa msh ada layanan tersebut?Trims.

      Hapus
    3. Di masjid Al Falah kayaknya, cuman di masa sekarang belum tahu sih buka atau enggak :)

      Hapus
  13. Saya pernah ke psikolog, kayaknya mereka mau menjelaskan pribadi introvert saya berhubungan dengan pekerjaan saya sebagai programmer yang selalu di belakang layar. Entah mengapa saya selalu tidak mau mengakui mereka.

    Saya selalu berpikir tidak ada yang salah dengan hal itu. Ataukah karena pengakuan terselubung tentang 'luka' peristiwa perceraian di masa lalu? Ayo yang berpengalaman wajib menjelaskannya...tapi iya ya saya takut di tanya sampai detail.

    Lalu psikolog lain di Singapore bilang saya juga menderita 'Asperger's Disorder' seorang penyendiri parah, soliter dan sangat tertutup. Sekarang saya mulai merasa agak terbebaskan. Mungkin faktor usia juga ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lah memang nggak ada yang salah kan dengan introvert ya?:D
      Saya malah merasa diri saya introvert, soalnya saya mencintai kesendirian, mencintai suasana sepi, tapi tetap bisa berbaur jika dibutuhkan.

      Tapi memang kalau kita ke psikolog itu kudu mau membuka semua hal yang kita rasakan dan alami, sereceh dan sepahit apapun itu, wajib kita keluarkan.

      Tapi kalau penyendiri parah, masa iya bisa sering bersosialisasi kayak komen di beberapa blog teman?

      Hapus
  14. wah, habis baca kok seru ya. Bener sih, kalau sedang bingung dan butuh pencerahan emang bisa lari ke psikolog. Dan ya namanya juga psikolog, seru diajak ngobrol dan konsultasi

    BalasHapus
  15. Ingat psikolog ingat adek kelas yg juga psikolog,emmm kayaknya aku konsul kesana aja wis mb rey😆😆 *modal kuota jak

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha, enakan yang gratis sebenarnya Mba, kalau bayar rasanya dikejar-kejar waktu ahaha

      Hapus
  16. Emang kelihatannya klise mbak, tapi bnr lho kunci keharmonisan rumah tangga itu di komunikasi

    Perbanyak ngobrol berdua dgn suami, lakukan pillow talk juga bisa.

    Oh ya klo mw konsul psikologi gratis bisa ke bbkn yg ada d dpn kampus B unair

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah noted Mba, saya baru tahu nih di Unair juga ada yang gratis :)

      Hapus
  17. Mba Rey, biayanya itu utk 1 sesi pertemuan saja ya ? Sy selama ini agak berpikir utk ke psikolog, terkait dgn biaya yg nggak murah. Sementara kl kita sdh sampai ke psikolog itu kan krn masalah relationship dgn orang2 terdekat yg sudah menumpuk lama sekali dan tidak kunjung selesai. Apa iya, dengan 1 kali pertemuan konsultasi bs lsg selesai masalahnya. Kl konsultasi harus berlanjut, lumayan jg biayanya ya mba... Tp terimakasih ya mba Rey, sudah kasih info terkait biaya konsultasi, bahkan sharing pengalamannya tanpa "terbeban" perasaan malu dll. Sehat selalu mba Rey. Semoga kehidupannya semakin damai, apa yg diharapkan dlm berkeluarga bisa terwujud dan bahagia selalu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. memang kendalanya di biaya Mba, nggak bisa sekali aja.
      Sebenarnya sama aja dengan dokter fisik, terutama dokter gigi, wajib datang berulang kali.
      Terlebih psikolog, karena itungan jam, jadi ga nyaman ngobrolnya hahaha.

      Beruntung dah kalau dapat orang yang mau dengar curhat kita dan melayani kita bagai psikolog dan gratis :D

      Btw, kenapa harus malu Mba?
      Kan saya nggak merugikan orang lain.

      Justru saya sharing gini amat membantu banyak orang yang butuh :)

      Hapus
  18. UnknownThursday, August 05, 2021
    Assalamu'alaikum Mba Rey, membaca respons sang psikolog sepertinya aku gemas² gimana gitu ya.. Krn ga fair juga kl kita yg harus berganti pola pikir sementara suami yg notabene pangkal permasalahan Mba tidak tau problemnya. justru hrs diselesaikan oleh 2 pihak y..Mba apa tidak sebaiknya anda berdua menghadap pak Sany? Hehehe just curious

    Reply:
    Halo, maaf baru respon.
    Iya, sebenarnya saya kurang puas dengan konsultasi tersebut, sampai saya mikir, apa karena psikolognya laki kali ya, jadi masih bias terhadap ego laki (maybe sih, itu cuman perasaan saya aja)

    Namun, memang sih, awalnya tuh saya ingin konsultasi karena saya pikir saya yang bermasalah, entah mengapa jadi fokus ke konseling pernikahan hahaha.
    Tauk gitu kan paksu ikutan, orang dia nunggu di luar :D

    Tapi sekarang Alhamdulillah hubungan kami udah lumayan membaik sih, setidaknya udah terjalin komunikasi, meski kemaren tuh sempat lebih parah pas pandemi awal.

    Saya nggak bisa jelaskan secara panjang lebar, gimana caranya kami bisa lebih membaik, tapi mungkin bisa baca beberapa tulisan saya di label marriage baik di blog ini, atau yang terbaru di blog saya https://www.parentingbyrey.com/search/label/Marriage

    BalasHapus
  19. UnknownThursday, September 30, 2021
    Mbak Rey,apakah setelah konsultasi,skrg masalahnya sdh selesai?. Kalo sy baca cerita mbak, solusi yg diberikan adalah merubah cara pandang & reaksi kita pd masalah itu ya. Kalo menyelesaikan masalah kan seharusnya 2 pihak dilibatkan.krn blm tentu kita yg salah tp pasangan kita,.. kalo begini kan kita mengalah lagi..mengalah lagi...☹️

    Reply:

    Halo, saya nggak balik lagi ke Pak Sanny, juga nggak ke mana-mana lagi, karena udah keburu pandemi, pernah sekali konsultasi online, psikolognya cewek, ujungnya juga tetap disuruh mengubah pola pikir hahahaha.

    Tapi Alhamdulillah sih hubungan kami sekarang udah lebih membaik, bisa baca di beberapa tulisan saya terbaru https://www.parentingbyrey.com/search/label/Marriage

    BalasHapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)