Cultural Adjustment Ala Rey Di Baubau Setelah 25 Tahun Di Surabaya (01)

cultural adjustment di baubau

Saya pernah tinggal dan besar di Buton dan Baubau selama kurang lebih 12 tahun, meskipun saya lahir di Sulawesi Utara. Jadi, segala hal tentang daerah ini sebenarnya saya udah familier.

Akan tetapi, sejak kuliah saya tinggal di Surabaya, lulus kuliah pun nggak pulang-pulang. Malah menikah dengan orang di Surabaya, punya anak, lalu akhirnya tetap harus balik ke Baubau.

Kurang lebih 25 tahun di Surabaya, bahkan jauh lebih lama ketimbang pernah hidup di Baubau dan Buton, tentunya hampir semua hal di kota tempat saya tumbuh besar ini, terlupakan.

Hal ini dikarenakan selama di Surabaya, saya jarang berkomunikasi dengan keluarga. Bahkan tahun-tahun terakhir, saya nggak pernah sama sekali berkomunikasi langsung dengan orang Buton.

Jadinya ketika akhirnya saya pulang ke Baubau dan Buton, banyak banget hal-hal yang harus dilalui dengan adapatasi mendalam. Dan saya menyebutnya, 'cultural adjustment'.    

Baca juga : Serunya Berbelanja Di Pasar Tradisional Wameo Baubau


Apa itu Cultural Adjustment? 

Kalau yang sering kita dengar atau baca di medsos kan 'culture shock' ya. Tapi saya nggak mau menyebutkan diri saya mengalami culture shock, karena yang saya hadapi sekarang, dulunya udah pernah saya hadapi juga.

Jadilah saya menyebutnya 'Cultural Adjustment'.

Cultural adjustment adalah proses adaptasi yang dialami seseorang untuk bisa berfungsi dan hidup dengan nyaman di sebuah lingkungan dengan budaya baru yang berbeda dari budaya asalnya. 

Dalam proses ini, seseorang akan terlibat dalam pembelajaran pola dan perilaku baru. Sehingga mengurangi perasaan frustrasi, lalu menemukan cara untuk beradaptasi dengan aturan sosial, bahasa, dan kebiasaan lokal di daerah baru tersebut.

Pada akhirnya, seorang tersebut akan menjadi lebih fleksibel dan terbiasa dalam menghadapi perbedaan. 

Bahasa awam dan mudahnya sih, Cultural adjustment adalah proses beradaptasi di daerah baru.

Baca juga : Pertama Kali Belanja Sendiri di Pasar Karya Nugraha, Baubau


Beberapa Cultural Adjustment Ala Rey Di Baubau Setelah 25 Tahun Hidup di Surabaya

Ada banyak hal yang harus saya hadapi dan beradaptasi setelah hidup di Baubau, khususnya. Di antaranya ada:


1. Dialek

Kalau ini mah nggak bisa dielakan lagi ya. Secara gitu, saya jarang ngobrol dengan orang Buton selama di Surabaya, alhasil ketika udah di Buton, ya harus beradaptasi dengan dialek ini.

Nggak sulit sih, saya paham betul dialek bahkan bahasa Buton. Yang sulit adalah mengikuti dialek orang Buton, dan menjelaskan maksud bicara saya yang menggunakan dialek orang Indonesia biasa (pegimana ya ngomongnya, karena saya nggak menggunakan dialek Jawa sebenarnya, justru orang Jawa selalu menganggap saya aneh dengan dialek beda dari orang kebanyakan sana).

Intinya, saya berbicara persis seperti gaya tulisan saya ini. Ye kan, pakai bahasa dan dialek Indonesia sih kalau kata saya, hehehe.

Bukan hanya masalah bagaimana menjelaskan maksud bicara saya ke orang lain, terutama ketika sedang melayani pasien di klinik tempat saya bekerja. Tapi juga bagaimana menghadapi tatapan sinis beberapa orang yang mungkin berpikir,

"Nih orang, padahal asli Buton, tapi logat Jawa!"

Hehehe.

Ya gimana ya ngomongnya, saya memang udah terbiasa berbicara dengan dialek begini, dan ini merupakan dialek saya dan anak-anak dalam keseharian.

Dan saya punya alasan kuat, mengapa saya mempertahankan dialek ini bersama anak-anak. Karena nggak mau mereka kesulitan beradaptasi. Makanya kami punya 1 dialek bahasa ibu tersendiri, setelah di luar rumah, mereka bebas menggunakan dialek dari daerah tempat domisilinya.

Namun di situlah tantangannya, saya juga harus ikutan beradaptasi dialek, setidaknya dialek saya itu bisa dipahami dengan jelas oleh orang-orang di Baubau.


Menyebut Nama Orang yang Sudah Punya Anak

Saya udah paham banget sih, kalau di Baubau, Buton bahkan di Sulawesi secara meluas keknya ya, bahwa orang-orang dewasa dan sudah punya anak tuh, kayak tabu banget dipanggil namanya lagi.

Lalu manggilnya gimana?.

Ya pakai nama anak pertamanya.

Misal saya, orang-orang akan memanggil saya mamanya Darrell. Orang akan nggak enakan kalau manggil nama saya, Rey.

Meanwhile, saya udah lama di Jawa, di mana di sana kan semua orang ya dipanggil namanya doang, palingan ditambahin Mbak, Mas, Kak, Tante, Om, Budhe, Pakde.

Saya udah terbiasa nggak ada yang panggil dengan 'mamanya Darrell', jadi awal-awal datang sebenarnya agak geli juga mendengar orang manggil saya, 'mamanya Darrell'.

Untungnya di keluarga kandung saya, jarang ada yang manggil maminya Darrell. Mama dan kakak-kakak saya selalu manggil saya Rey atau Reyne. Keponakan-keponakan juga manggilnya Mami.

Nah yang jadi masalah tuh ketika saya memanggil nama orang. Selain saya nggak hafal nama anak setiap orang, pun juga saya udah terbiasa manggil nama orang. Palingan dikasih embel-embel Kak atau Kakak.

Yang lebih muda dari saya? off course saya panggil namanya aja, hahaha. 

Dan tentunya ini bikin banyak orang agak kaget sih ya, tapi lama-lama mereka terbiasa dan paham, meski mungkin dalam hatinya kesel, hahaha.

Baca juga : Ke Pantai Nirwana Baubau


Gas Elpiji Muahaaaaalllllll!

Ooooomaiiiiguuudddneeessss! ini mah keknya bukan cuman cultural adjustement doang, tapi udah masuk cultre shock tersendiri buat saya.

Karena,.... harga elpiji muahaaallllnyaaaaaaaaa minta amplop, hiks.

Saya jadi ingat kejadian 2 tahun lalu, kala itu saya dan anak-anak terpaksa tinggal di sebuah apartemen sederhana di Surabaya.

Waktu itu saya shock dan sedih banget, lantaran peraturan apartemen mengharuskan penghuni hanya boleh menggunakan Bluegaz. Dan jadilah kami hanya menggunakan Blue Gaz selama setahunan yang menurut saya itu udah mahal.

Blue gaz tabung 12Kg itu harganya 157 ribuan. Dan pas sampai di Buton shock, karena Elpiji yang pink 5 kg harganya 150an ribu.

Uwowwww dah!.

Saya yang udah terbiasa pakai gas melon 3 kg cuman sekitar 18-20ribuan dan cukup untuk 2-3 minggu, jadi shock berat. Gas pink yang 12 Kg? kalau nggak salah sih kurang lebih 300ribuan, menyala dompet akoh, hiks.

Btw di Baubau dan Buton itu nggak ada subsidi elpiji ya, tapi aneh banget juga sih, elpiji nggak subsidi aja di Jawa, keknya nggak semahal di sini deh, huhuhu.

Dan yang subsidi di sini tuh keknya minyak tanah, masalahnya saya udah lama nggak familier sama minyak tanah. Selain ribet isi minyaknya, pun juga ribet cuci panci yang menghitam, hiks.


Begitu aja dulu deh cerita cultural adjustment ala Rey selama di Baubau dan Buton, setelah 25 tahun di Surabaya.

Kalau Temans punya cerita yang sama nggak? cerita yuk!


Baubau, 07-09-2025

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)