Sudah bulan Juli 2025 dong, harusnya saya bahagia menyambut bulan kelahiran saya ini. Iya sih, tentu saja ada happy-nya, sekalian ada deg-degan-nya, karena bulan ini saya harus perpanjangan SIM yang terbitan beda provinsi.
Tapi jujur, saya memulai bulan ini juga dengan perasaan gloomy. Agak sedih mengingat ini masuk bulan ke-7 saya di Buton, dan nggak ada progres berarti atas hidup saya.
Orang-orang menyambut kepulangan saya di rumah orang tua dengan lega, tanpa mereka sadari sungguh saya merasa tersiksa di sini.
Iya sih, saya nggak perlu pusing mikirin biaya tempat tinggal, tapi ya tetap pusing dengan biaya makan, biaya sekolah, kebutuhan-kebutuhan anak lainnya.
Karena ortu saya bukanlah orang berada, hidup hanya dari pensiunan yang nggak seberapa. Belum lagi ortu masih punya banyak impian, masih pengen umroh lagi meski udah pernah umroh.
Sementara saya sejak di Buton, bisa dibilang nggak bisa punya penghasilan sama sekali kayak di Jawa. Ujungnya gimana? yup! terpaksa maksa papinya anak-anak untuk mau bertanggung jawab lagi.
Sama aja kan? bahkan sekarang jauh lebih sulit, karena jarak, jadinya susah untuk memaksa papinya bertanggung jawab.
Untuk sekarang, kakak saya yang sibuk menagih tanggung jawab papinya, itupun setelah kakak ipar yang duluan maju lalu berakhir dengan dia 'angkat tangan' dengan mindset papinya anak-anak yang nggak ada rasa tanggung jawab itu.
Lalu akhirnya kakak saya yang ambil alih, meskipun akhirnya dia pusing sendiri berhadapan dengan manusia gejala NPD seperti itu.
Baca juga : Cari Tau Tentang NPD!
Terus terang, kondisi ini jauh lebih menyiksa ketimbang di Surabaya.
Makanya, ketika di Surabaya, meski stres tapi saya nggak kurus. Sekarang, bahkan dengan gaya hidup yang sama, saya udah makin kurus, makin gosong pulak.
Jujur, melihat hal ini bikin saya kesal banget, udahlah nggak berpenghasilan, makin kurus dan muka jadi aneh, ditambah makin gosong, keseharian ngendon di rumah dengan pandangan menghakimi dari mama, atau protes kakak melalui telpon.
Ini belum termasuk gangguan pihak yang nggak bisa saya sebutkan di sini.
Terus terang, saya tak pernah merasakan hal ini ketika di Surabaya, karena meski sulit, saya bisa jadi diri sendiri, nggak ada tatapan penghakiman dari orang secara dekat.
Dan ada yang bisa saya lakukan.
Saya bisa menghasilkan uang, saya bisa mengurus penelantaran anak sampai tuntas. Kalaupun nggak tuntas, saya bisa punya opsi untuk menitipkan anak-anak di papinya atau keluarga papinya.
Meski ini bukan opsi terbaik, tapi setidaknya saya nggak stres dengan penghakiman secara nyata.
Di sini, saya harus menahan makan hati, ketika semua gerak gerik saya salah. Masak gini salah, nggak masak salah.
Beli sesuatu dibilang boros, padahal bukannya boros, tapi saya memang nggak punya penghasilan di sini.
Belum ketambahan kakak saya yang selalu memberikan komentar,
"Kamu sih baru pulang sekarang di saat nggak ada lowongan kerja untukmu!"
"Kamu sih udah tua baru pulang, akhirnya susah cari kerja!"
"Kamu minta maaf tuh sama mama, biar rezekimu lancar!"
Dan masih banyak lagi.
Jujur, komentar seperti itu sangat menyakitkan hati, meskipun saya tahu dia hanya asal ngomong, tapi kalau didengar terus ya kesal juga.
I mean, memang jalan hidupnya gini loh.
Saya merasa tak perlu juga sampai segitunya menyesali yang telah terjadi, toh saya bahagia loh di Surabaya.
Saya bisa jadi manusia yang nggak perlu menyusahkan ortu dan keluarga, terbukti sebelum akhirnya mama menyuruh saya pulang, sedikitpun saya nggak menghubungi mereka dan meminta tolong.
Sedikitpun
Saya lebih memilih mencari bantuan di medsos, lalu ke pemerintahan dan kepolisian. Karena jujur dengan demikian saya nggak perlu merasa punya hutang budi yang harus ditagih setiap saat.
Udah kebayang kan alasan, mengapa saya rela hidup berjauh-jauhan dengan keluarga sebelumnya?.
Itu belum termasuk alasan lain, yaitu semacam mengorbankan diri agar kakak saya bisa hidup dengan baik. Bisa mendapatkan kasih sayang ortu yang dia dambakan sejak kecil.
FYI, kakak saya sempat hidup terpisah sejak usia 10 tahunan dengan mama, dia ikut tante saya. Dan ternyata itu bikin luka batin terdalam di hatinya. Dia merasa dibuang oleh ortu, padahal saya sendiri bahkan berdoa agar bisa kayak kakak waktu kecil, saking nggak tahan hidup dengan ortu yang berantem dan mengancam untuk membunuh saya setiap saat.
Alasan lain, saya nggak suka ngendon di rumah melulu, mama saya termasuk ortu yang nggak suka liat orang keluyuran, katanya boros.
Jadilah saya selama 6 bulan ini ngendon di kamar, boro-boro ketemu peluang, bahkan ketemu teman-teman lama saya sulit.
Ada masa ketika saya stres berat kayak sekarang, saya hanya bisa di kamar mulu sepanjang waktu, hanya keluar untuk masak, karena kalau bukan saya yang masak, siapa lagi?.
Saya merasa membuang waktu banget selama 6 bulan ini, sementara saya udah semakin tua, tapi di kamar mulu.
Setiap kali saya hendak keluar, selalu dihadapkan untuk segera pulang karena takut mama sakit.
Saya merasa seolah harus dipasung di rumah menjaga mama, tapi harus berpenghasilan. Nggak masalah banget sih saya menjaga mama yang sudah lansia, tapi maklum dong kalau saya nggak bisa mencari uang.
Serba salah, sudahlah belasan tahun jadi IRT dan kesulitan mencari uang karena sibuk urus anak, sekarang ketambahan harus nemanin mama juga.
Mama yang sewaktu masih kuat menolak meng-support anak perempuannya, lalu kesal ketika dia tua, saya nggak punya penghasilan tetap kayak kakak.
Jadi begitulah, jangan dipikir saya pulang ke rumah ortu, masalahnya selesai. Sebenarnya masalahnya jauh lebih pelik, karena saya nggak seberuntung orang lain yang memiliki ortu yang bisa support.
Bahkan sorry to say, saya lebih menghormati ibu mertua yang memperlakukan saya sebagai anak, meski nggak tulus.
Tapi sebagai contoh, saya bisa istrahat dengan puas di rumah mertua, tapi di sini bahkan saya baru tiba dari perjalanan jauh, udah disuruh masak.
Ketika ibu mertua masih hidup, dan kami mengunjunginya, ibu langsung heboh nyiapin makanan terenak dan beragam. Meski ibu sakit, dia paksain ke dapur buat masak.
Mama saya? bahkan saya lagi kecapekan, habis menempuh perjalanan naik motor 70 KM dengan jalan yang ekstrim berkelok, baru nyampe udah disuruh masak lagi.
Karena punya perbandingan ibu mertua yang memperlakukan saya sebagai anak kepada ibunya, bisa bermanja-manja, bisa dimasakin yang enak-enak, jujur saya kehilangan chemistry terhadap mama.
Apalagi ditambah dengan luka batin yang saya dapatkan sejak kecil dan bahkan setelah dewasa. Di mana ketika saya di Surabaya dan belum kerja, mama tega tidak support saya sama sekali. Untung aja saya nggak jual diri buat bertahan hidup, si kakak pacarlah yang mendukung saya, membayarkan kos dan sebagainya.
Giliran saya bucin ke pacar, mama dan keluarga kesal menuduh saya terlalu bodoh.
Ah, mereka nggak tahu, anak perempuan akan bucin terhadap orang yang peduli padanya, karenanya peduli lah pada anak perempuanmu.
Ini ketambahan juga setelah bapak meninggal, bahkan sedikitpun mama nggak mau tahu tentang kabar saya di Jawa. Ketika banyak yang sampaikan ke dia, bahwa saya ditelantarkan di Jawa, mama malah bilang kapok aja.
Mama akhirnya memanggil saya karena didesak oleh kakak. Dan kakakpun punya alasan untuk itu, karena nggak kuat menemani mama yang udah lansia dan super sensitif.
Jadilah saya di sini, harus menemani mama, orang tua yang seharusnya saya cintai, tapi sulit terlalu mendalam karena udah nggak ada chemistry lagi rasanya.
Yang bisa saya lakukan ya hanya menemani karena saya anak, semacam kewajiban aja, itupun saya tetap memilih peduli ke anak-anak, karena anak-anak juga butuh saya.
Ah intinya begitu, mengapa sejak dulu banyak teman-teman yang kesal, sudah ditelantarkan di Jawa, tapi saya nggak mau pulang.
Ya karena saya nggak punya 'tempat pulang'.
Saya tidak seberuntung teman-teman, yang ketika di rumah ortunya bisa istrahat dengan tenang, bisa makan enak, bisa merasakan jadi anak, bisa makan masakan mama.
Tidak, saya semacam seseorang yang punya hutang budi dan berkewajiban membalas hutang itu.
Itulah mengapa, saya kesulitan untuk bisa tenang dan bahagia berdiam diri tanpa penghasilan seperti ini di rumah ortu.
Saya ingin mandiri, tapi jujur di sini.... ya gitu deh.
Meski demikian, saya masih menggenggam semangat kok, doakan ya.
Buton, 01-07-2025
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)
Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)