Diskriminasi Ibu-Ibu Di Jombang

alun-alun jombang

Sharing By Rey - Diskriminasi langsung dari orang lain pernah saya alami saat tinggal di Jombang.

Jadi, cerita ini terjadi ketika saya harus mengalah dari suami, yang akhirnya memutuskan berhenti jadi wanita karir dan menjadi IRT, serta mengikuti suami ke tempatnya bekerja, di Jombang.



Yup, dengan sangat berat hati saya harus meninggalkan kota favorit, Surabaya.
Meskipun hanya sementara waktu.
Baca : Bosan Tinggal Di Jombang
Saya akhirnya menetap sementara di kota Jombang, Jatim.
Yang berjarak kurang lebih 100 KM dari kota Surabaya.

Awalnya, hal tersebut sangatlah berat.
Gimana nggak?

Lebih 10 tahun saya sudah terbiasa dengan kota yang nggak pernah sepi, penduduknya yang cuek namun ramah saat membantu, serta saya bebas menjadi diri sendiri.


Kota Jombang Yang Beda


Hal yang pernah saya alami dan jalani di Surabaya, sama sekali bertolak belakang dan nggak saya temukan di kota Jombang.

Dari kotanya yang cepat tidur namun bangun lebih lama (aktifitas toko), makanannya yang tidak bersahabat di lidah saya.

Serta bahasa masyarakatnya yang begitu sopan, namun sungguh bikin saya rasanya ingin sekali mengunduh kamus bahasa Jawa kedalam otak, agar bisa memahami bahasanya.

Awal kepindahan kami ke kota Jombang sungguh berat.
Sehingga setiap hari Sabtu siang bahkan kadang hari Jumat sore, kami langsung bergegas kembali ke Surabaya, kangen sama kota tersebut.

Namun lama kelamaan saya tersiksa sendiri oleh rasa capek yang mendera, akibat harus pulang pergi Surabaya - Jombang di setiap weekend tiba.

Sedikit demi sedikit, saya mencoba mencintai hal yang semacam menjadi takdir ini, bersahabat dengan kota ini.

Masalah keperluan mendesak di malam hari, terselesaikan dengan adanya minimarket Indomart 24 jam, meski lumayan jauh dari rumah kontrakan kami.

Masalah makanan yang tidak bersahabat dengan lidah, terselesaikan dengan terpaksa belajar masak sendiri, agar bisa menikmati makanan sesuai dengan keinginan lidah sendiri, meskipun tidak seenak makanan yang enak.

Namun lumayan lah, ketimbang harus kena busung lapar :D.

Dari hasil belajar masak tersebut juga, akhirnya saya mencoba membuat usaha online berjualan camilan, meskipun akhirnya semangat sedikit kendor karena kecapekan sendiri :D.


Yup, waktu berlalu, nggak terasa sudah dua tahun saya tinggal di kota Jombang ini.
Sedikit demi sedikit saya mulai beradaptasi, serta niat ingin balik ke Surabaya dan menjadi wanita karir, sedikit demi sedikit terkikis oleh senyum dan tingkah pola anak saya yang cakep dan bermata bundar itu, Darrell :D.


Namun Ternyata Ada Saja Masalah Diskriminasi Yang Mengganggu.


Hal itu terjadi ketika Minggu lalu, yang mana kami sedang sibuk-sibuknya beberes dan bersiap - siap, untuk belanja bulanan ke Surabaya.

Tiba-tiba beberapa ibu-ibu tetangga di komplek kami tinggal, Perum Jaya Abadi, Jombang - Jatim, datang dan memaksa bertemu saya.

Dengan sedikit risih, saya akhirnya menemui mereka, dan jadilah saya seperti pesakitan yang diadili oleh 7 orang hakim dan jaksa, hanya karena tidak mau mengikuti keinginan mereka.

Para ibu tersebut adalah tetangga kami yang terkumpul dalam ibu - ibu Dasa Wisma, atau RW atau apalah namanya (maklum saya gak pernah bisa punya waktu ikut hal - hal begituan).

Awalnya mereka menasehati saya dengan bahasa Jawa, yang hanya bisa saya artikan sepatah dua patah.

Agar membeli sebuah tong sampah, dan diletakan di depan pagar, saya langsung mengiyakan, dan berjanji mengusahakan secepatnya membeli tempat sampah tersebut.

Setelah itu, seorang ibu langsung menagih iuran Dasa Wisma, serta denda karena tak pernah ikut kerja bakti hari Minggu.

Karena malas berdebat dan kami sedang terburu-buru, akhirnya semua saya lunasin tanpa bertanya ini itu, (meskipun sebenarnya kesal banget karena iuran di daerah ini banyak dan macam - macam).

Saya pikir, setelah hal itu mereka akan pergi.

Eh, ternyata saya salah.
Mereka masih saja betah mendikte dan memaksa saya untuk ikut arisan tiap bulan.

Dengan senyum saya katakan, insha Allah jika ada waktu saya akan mengusahakan ikut (salah sih sebenarnya perkataan saya, mestinya bukan 'kalau ada waktu', tapi 'kalau ada kesempatan').

Eh, mungkin karena jawaban saya seperti itu, mereka langsung jutek dan ketus.
Mereka bilang,
"semua orang di sini juga sibuk mbak, ini ada yang guru, ada yang bla bla bla" (intinya semuanya adalah PNS).

Giliran saya yang sedikit tersinggung.

Ya iyalah.
Apa coba maksudnya mendata pekerjaan mereka ke saya?
Mau pamer mereka itu wanita karir, dan saya adalah wanita IRT yang bodoh? (maklum, IRT galau yang ingin jadi wanita karir, jadinya sedikit sensitif jika ngebahas pekerjaan :D).

Saya mulai memperlihatkan wajah tidak sabar dan terkesan terburu-buru, eh dasar para ibu 'keren nan pintar' PNS sejati (itu bukan pujian ya! itu sindiran tau! :D).

Tetaaaapp saja mereka nekat ngomooonggg nggak henti.
Mereka tetap memaksa saya HARUS! KUDU! MUTLAK! ikut arisan, apapun alasannya nggak bisa diterima.

Bahkan seorang ibu (lupa namanya, eh memang penting ya ngehafalin namanya? :D) mengatakan kalau di Jombang, khususnya Perum Jaya Abadi, semua warga kudu ikut aturan mereka (Dasa Wisma), jadi selain arisan, saya juga kudu luangkan waktu untuk keluar bercengkrama dengan tetangga.

Seorang ibu lalu berkata,
"mbak udah berapa lama, tinggal di sini? udah lama ya? aku loh belum pernah tau, baru tau sekarang malah"
Saya hanya tersenyum sopan, namun dalam hati,
"WOIIIII, MASALAH BUAT LOE?? NGACA DONG? EMANG LOE TUH RAJA PENGUASA KOMPLEK INI? EMANG KOMPLEK INI PUNYA NENEK MOYANG LOE SEMUA????"
Uhhhh.
Sayang ya saya nggak bilang langsung gitu (eh, nggak sopan tau, Rey :D)

Saya hanya menjawab, kalau saya akan main-main ke tetangga jika ada waktu, (waktu lagi, makanya tuh ibu-ibu makin kesal), juga mereka memerintahkan agar kami membersihkan selokan di depan pagar.

Katanya, nanti airnya nyumbat, dan ibu yang memerintahkan tersebut langsung diam setelah melihat selokannya kering kerontang.


Diskriminasi Yang Tidak Tepat Dan Memaksa.


Saya ingin sekali menjelaskan permasalahan saya, namun jadi urung oleh beberapa hal.

Pertama, kami sedang terburu - buru, takutnya kesiangan dan panas di jalan.

Kedua, wajah beberapa ibu-ibu tersebut sudah keliatan semakin jutek dan kesal, sejak saya menjawab semua pertanyaan mereka dengan bahasa Indonesia yang formal (eh gak formal sih sebenarnya, emang gaya bicara saya seperti itu.

Namun beberapa orang di kota ini, mengatakan gaya bicara saya formal banget, hmmmm...).

Kira - kira hampir 15 menit mereka menginterogasi saya, dengan semua 'dikte' dan 'paksaan' serta 'hakiman' (halah... apa pula itu? :D).
Akhirnya mereka mau juga untuk memberikan saya kesempatan beres-beres rumah karena terburu-buru.

Akhirnya, saya bisa dengan bebas lagi melanjutkan tugas-tugas yang ada.
Namun gara-gara teguran mereka, saya jadi terus menerus menjawabnya di dalam pikiran.
Benar-benar merusak mood dan pikiran deh.


Saya Merasa Benar-Benar Terdiskriminasi Dan Terintimidasi!


Gimana nggak??
Seumur - umuran tinggal di Jawa, baru kali ini ketemu orang norak kayak gitu.

Keluar main ke tetangga bersosialisasi?
Kurang kerjaan banget ya tuh ibu.
Kata siapa sih saya nggak pernah keluar?


Saya sering juga kok nongkrong di depan pagar, menikmati udara luar sambil mengawasi anak main. Akan tetapi, ya saat saya keluar, orang-orang sudah pada diam di rumah masing-masing.
Karena saya keluarnya saat malam, setelah Isha :).

YA IYALAAAHHHH!

Suami kan kerja di kontraktor swasta, yang mana sebenarnya kontraktor itu nggak punya waktu libur. Sebagai wanita yang mencoba jadi istri yang baik, pastinya saya males dong keluar, jika suami nggak ada di rumah.

Jadinya, saya keluar bareng sama suami, jika beliau sudah pulang kerja.
Pastinya beda dong dengan waktu santai mereka yang 'beruntung' menjadi PNS itu, ihhhh....

Mereka mah pukul 3 sore kebanyakan sudah pada sampai di rumah, atau paling nggak, pukul 4 lah udah paling telat banget.

Kalau kerja di swasta?
Pulang pas Magrib tuh udah 'ajaib' banget dah.

Selain harus nggak nyaman keluar rumah saat suami nggak ada, saya juga terus terang bingung mengatur waktu di rumah.

Makanya, kadang-kadang 'salut' banget deh sama tuh ibu-ibu yang 'beruntung', karena punya waktu untuk ngerumpi, nambah-nambah dosa dengan rumpiin tetangga lain, atau orang lain dengan tetangga.

Sedangkan saya?.
Bangun tidur, siapin sarapan, siapin anak sekolah, trus jemput dan pulang pukul 10 pagi.
Sampai rumah harus masak untuk makan siang, lalu nyuapin anak, lalu ngelonin anak agar mau tidur siang yang kadang-kadang, saya sudah tertidur, anak belum tidur.

Pas anak tidur, saya gunakan waktu untuk nyetrika, beres-beres yang belum sempat diberesin, dan kadang online di medsos seperti saat ini (itupun kadang sudah melanggar beberapa waktu beberes lainnya).

Nggak kerasa udah pukul 3 sore, sholat, lalu nyapu dan siram halaman depan, halaman belakang, cuci piring, nyapu rumah, nyuapin dan mandiin anak lagi.
Dan nggak kerasa pula tiba-tiba sudah Magrib lagi.

Bahkan jarang banget saya bisa mandi sebelum adzan magrib.

Lah gimana coba, saya punya waktu untuk mengunjungi tetangga yang enak-enakan ngumpul rumpi-rumpi bersama ibu lainnya.

Sementara ART yang beresin semua tugas rumah mereka, serta anak mereka yang sudah bisa sedikit mandiri ketimbang anak saya, yang jalan aja masih sering kesandung, ckckckck.

Jika saya memaksakan keluar ikutan rumpi bersama yang lain, pastinya butuh waktu minimal sejam. Karena rumah kontrakan kami berada di ujung gang, yang mana rumah di samping dan depannya pada kosong.

Jadinya, saya harus berjalan sedikit jauh untuk berkumpul dengan mereka, hadeeeehhhh.....


Wahai Para Ibu Yang 'Beruntung'


Lalu perkataan mereka tentang wajib ikut arisan, saya sudah beberapa hari ini dipenuhi oleh pertanyaan gila.

'Ada gak sih, UU yang mengatur wajibnya ikut arisan dasa wisma? gimana nggak? para ibu itu meWAJIBkan tanpa nerima alasan apapun tentang waktu arisan itu.
Kebayang dong jika seandainya saya kerja, (pastinya di swasta dong).

Masa iya, saya harus izin ama direktur gitu,
"pak saya harus pulang cepat hari ini, soalnya ada arisan Dasa Wisma"
PLIISSSSSSSSSSSSSSSSSSS DEEEEEEEEEHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Yang ada, saya langsung dibayar pakai yuen sama si bos, (yuen eling maksudnya) hahahahahaaa......

Yang lain lagi, masalah kebersihan halaman.
Sori dori mori stroberi yeeee, saya mah sejak dari kecil terbiasa hidup bersih dan sehat.

Jadi yang namanya apa-apa tuh harus bersih.
Lihat saja tuh kegiatan saya, beberes mulu sampe nggak punya waktu rumpi-rumpi sama mereka.


Tiap sore semua sudut halaman saya bersihin dan disiram, lah kalau luar pagar memang kadang seminggu sekali.

Pas hari Sabtu jika suami pulang agak siangan.
Ya iyalah, saya kan risih gitu keluar pagar nyapu-nyapu terus diliatin suaminya orang, euuuhhhh......

Lagian ye, kami tuh cuman ngontrak di sini.

Asal mereka tahu yaaa.
Sewaktu kami pertama kali tinggal di sini, rumah ini nggak beda jauh sama hutan.
Selokannya kotor penuh daun, sampah serta tumbuhan liar, taman samping pagar ditumbuhin tanaman yang hampir sekarat karena gak terawat.

Itu baru luar pagarnya, apalagi halaman dalam pagarnya?
Wah, kayak hutan deh!

Nah saat kayak hutan gitu, ke mana aja tuh para ibu-ibu yang katanya rajin bersih-bersih bareng? yang sampai-sampai saya ditagih kena denda, karena nggak ikut bersih-bersih bareng????

Nggak usah deh bersihin dalam pagar, cukup luar pagar.
Kan seharusnya mereka bersyukur kami bisa nempatin rumah ini.

Jadinya kan lumayan rapi, ketimbang kosong nggak berpenghuni.
Lagian juga ye, kalo mau protes tuh mestinya sama pemilik rumah, bukan sama kami yang hanya menempati rumah ini sementara.

Eeuuuhhhh, sok pengen keliatan berwibawa deh, ihhhhhh..

Lalu mengenai bahasa.

Hellooooo!!!!
Ini memang Jombang, Jawa Timur.
Tapi ini masih wilayah negara Indonesia kan??

Mereka mestinya wajib marah, jika saya berusaha ngomong sama mereka ngotot pakai bahasa Buton (Daerah asal ortu saya).
Katanya ibu-ibu gaul?
Tapi kok malu pakai bahasa persatuan? ihhhh......


Diskriminasi Membuat Penghuni Rumah Tidak Betah


Inilah yang menjawab pertanyaan saya, yang terheran-heran saat melihat banyaknya rumah kosong di daerah ini.
Terang saja orang nggak betah.
Tinggal sementara tapi di diskriminasi seperti itu.

Intinya ya, jangan merasa hebat dan bangga hanya karena kita bekerja atau jadi wanita karir, sementara ibu yang lain hanya bisa menjadi ibu rumah tangga (eh, saya bukan IRT biasa dong, saya IRT gaul, meski jarang keluar tapi pengetahuan saya masih bisa bersaing dengan para ibu-ibu sok wibawa itu).

Dan jangan menganggap saya jauh-jauh dari Sulawesi, datang ke sini bertujuan merantau saja ya.

Tujuan awal saya ke sini cuman main.
Tapi takdir memposisikan saya harus kuliah, kerja dan menikah serta menetap di Jawa...


Dan jangan menganggap saya aneh karena nggak mau berbaur.
Helllooo.....
Kalian tuh yang aneh!
Ngerumpi itu dosa tau!
Dosa kok bangga!

Dan jangan bangga karena saya menyebut kalian 'beruntung' jadi PNS, ihhhh....
Kata siapa hanya kalian yang bisa jadi PNS?

Saya juga bisa jadi PNS jika saya mau.
Ya, jika sejak dulu saya pulang ke Buton dan menuruti kemauan orang tua.

Tapi saya lebih suka menjadi diri sendiri dan bekerja menggunakan kemampuan sendiri.

Saya nggak pernah menyesal meski nggak bisa jadi PNS seperti yang diidamkan banyak orang, termasuk orang tua saya.
Bagi saya, bekerja di swasta tuh jauh lebih menarik dan keren.

Ya iyalah! di swasta kamu nggak akan bisa naik pangkat jika nggak punya kemampuan, tapi di PNS pangkat bisa naik seiring waktu.

Para pekerja swasta tuh selalu bergelut dengan otak mereka, dengan target yang selalu mengejar mereka, yang pastinya itu akan membuat otak jadi berkembang.

Bukan hanya mengerjakan pekerjaan yang itu-itu saja, apalagi sambil ngerumpi dengan pikiran, mau gimana juga gaji pasti keluar...ihhhh...

Merasa saya sok tahu?
Yeee, mama dan kakak saya PNS dong.
Serta ada banyak juga saudara saya yang menjadi PNS.

Jadi saya tahu bagaimana pekerjaan mereka, dibandingkan dengan apa yang saya kerjakan ketika menjadi wanita karir dulu.

Oh ya, tulisan ini bukan untuk penghakiman, bahwa PNS itu malas, gak punya kemampuan dan semacamnya.

Tulisan ini ditujukan bagi ibu-ibu PNS yang terlalu merasa sombong dan meremehkan IRT.
Apalagi meremehkan IRT kayak saya, ihhh..

Hadeeehhh... saya IRT gaul, cantik, pintar, tinggi, 'lumayan langsing', (sudaaahhhh, sombongnya ikutan keluar dah, di stop aja deh, hahahahaaaa :D)..

Anyway, ini tulisan galau, coretan dari hati yang merasa tertekan :)
Harap maklum dan kalau gak bisa maklum, diabaikan saja ya:) piisssss

Hargailah Privacy orang lain :)


Jombang, 27 September 2013

Love 

2 komentar :

  1. Ini di perumahan yg sama dengan yg kejadian diserang bapak2 itu bukan? Kalau iya, duh mendingan pindah aja kali ya☺ status ngontrak justru lebih memudahkan kalau ingin pindah-pindah. Beda kalau udah rumah sendiri, betah gak betah harus dibetah2in😭 *ikut-tjurhat

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi beda mba, ini masa-masa galau dulu waktu ikut suami kerja di luar kota.

      Kalau yang ini malah emak2nya yang resek.
      Maksa ikutan semua acara mereka :D

      Hapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)