Tidak Trauma, Tapi Muak!

tidak trauma tapi muak

Saya pengen nulis curhat lagi tentang hal yang mengganggu saya akhir-akhir ini. Bermula dari obrolan dengan kakak saya satu-satunya, tentang papinya anak-anak.

Kakak saya berharap agar saya bisa berbaikan dengan papinya anak-anak. 

Jujur, saya tak pernah menutup pintu untuk 'berbaikan', namun bukan dengan cara saya yang harus mengejar-ngejar dan berjuang untuk mengetuk hatinya.

Karena, bahkan untuk membayangkan wajahnya saja, saya udah merasa anxiety kambuh kembali. Selama setahunan di Buton, meski awalnya (dan mungkin sampai saat ini) saya belum bisa menerima 100 % harus tinggal di kota ini, tapi saya akui kalau saya merasa sangat tenang di sini.

Apalagi setelah usaha terakhir yang menjadi paksaan kakak saya, terpaksa dilakukan akhir Juni lalu. Ketika itu kakak memaksa saya untuk mengirimkan chat ke papinya anak-anak.

Dengan menahan eneg, saya coba kirim chat, dan ternyata nggak dibalas, jangankan dibalas, dilihat saja enggak. Saya baru ngeh barusan kalau centangnya udah biru, tapi foto profilnya menghilang, kemungkinan saya diblokir.

Tapi it's oke, jujur saya merasa tenang kalau nggak berhubungan dengan dia.

Bahkan menuliskan curhatan ini, dan bikin saya membuka lagi nomor WA yang tersimpan rapi di arsip WA, bikin saya eneg.

Saya nggak tahu apa yang terjadi di diri ini, tapi membayangkan mukanya, lalu teringat bagaimana capeknya berkomunikasi dengan manusia yang pola pikirnya berbeda jauh dengan saya. Rasanya eneg, mual dan merinding se badan-badan banget.


"Jangan gitu, kalau trauma ada pengobatan dokter jiwa!", sanggah kakak saya. 

Watdefff, astagfirullah.

I mean, saya nih baik-baik saja loh, saya sudah mengambil bagian untuk tetap semangat mengurus dan menghidupi anak-anak, meski emang berat maksimal. Lalu, mengapa saya harus mengkonsumsi obat penenang, hanya agar bisa melancarkan mengemis perhatian lelaki itu demi anak-anak.

Jika seandainya saya yang salah, saya yang pergi jauh darinya karena ngambek dengan sikapnya. Mungkin ini masih make sense ya, meskipun sangat tak adil. 

Tapi, apakah dunia lupa bagaimana saya sampai hampir memutuskan mengakhiri hidup dengan anak-anak lantaran bingung mau tinggal di mana, makan apa di tahun kemaren itu?.

Baca juga : Pengen Mati Aja, Tapi Nggak Enak Sama Teman-Teman

Apakah mereka lupa, saya sampai bolak balik curhat di UPTD PPA Surabaya bahkan sampai berkali-kali ke Polrestabes Surabaya untuk melaporkan kasus Penelantaran Keluarga yang dilakukan papinya anak-anak?.

Saya tahu, maksud kakak saya baik, tapi jujur saya kesal karena dia menyamakan masalahnya dengan saya. Menyamakan dirinya dengan saya.

Dia bilang kalau diapun sejak dulu selalu bersabar terhadap suaminya, tapi kita kan orang yang berbeda. 

Saya tak mau mencelakakan diri khususnya mental saya makin hancur demi lelaki yang nggak make sense untuk diperjuangkan.   

Seandainya papinya anak-anak memang punya kekurangan lain, tapi dia bertanggung jawab penuh terhadap anaknya (anaknya saja loh ya, saya nggak perlu), ya nggak apa-apa kali saya berusaha 'mengemis'.


Meskipun tetep aja, sangat nggak masuk akal, mengapa saya yang harus mengemis pada lelaki itu?, buat apa?.

Kalau buat anak-anak, oh jangan khawatir, sampai matipun akan saya perjuangkan jika anak-anak tak mendapatkan kehidupan yang baik.

Saya akan diam, kalau saya punya duit. Kalau enggak, ya saya tagih lah.

Kalau dia nggak mau, ya saya serahkan anak-anak ke dia dong, nggak peduli anak-anak menderita atau enggak. Toh saya juga nggak atau belum mampu membiayai anak-anak seorang diri.

(Untuk part ini plis stop menasihati saya, bahwa anak-anak bawa rezeki masing-masing, STOP! saya udah bertahun-tahun mengurusin anak sendiri, nggak perlu lagi kalian nasihatin, saya udah jalanin!).

 

Jujur saya nggak habis pikir, dan saya jadi kepikiran, memunculkan semua rasa kesal, eneg sampai merinding.

Membayangkan mendengar suaranya aja, saya jijik dan merinding. Nggak tahu deh sedalam apa saya trauma, atau mungkin eneg banget, bukan cuman ilfil semata.

Tapi yang tersisa di pikiran tuh kebanyakan memori menyakitkan hati buat saya. Karena bukan hanya sikapnya, mulutnya juga menjijikan sih kalau diingat.

Baca juga : What Have I Done With My Life?


Terngiang lagi kali terakhir kami bertemu ketika dia mencak-mencak saat saya ngobrolin baik-baik tentang laporan polisi.

Waktu itu, 16 Desember 2024 ketika dia datang ke kontrakan kami di daerah Mojo Surabaya, setelah beberapa hari nggak ada kabar.

Karena melihat keadaannya lagi tenang, saya sudah tawarin makan, dia mau makan, setelah itu dia ke lantai 2 dan meminjam laptop lama saya untuk mengerjakan sesuatu.

Saya naiklah ke atas, ngomong baik-baik minta waktunya untuk ngobrol serius, anak-anak saya minta di bawah aja.

Awalnya dia tenang, namun ketika saya mengatakan bahwa saya mendapat panggilan dari Polrestabes Surabaya atas laporan penelantaran keluarga, dia langsung mencak-mencak.

Saya coba tetap tenang menjelaskan, bahwa karena laporan sudah masuk, bagaimana besok dia menemani saya ke kantor polisi untuk mencabut laporannya.

Kita buka lembaran baru, saling memaafkan, berjuang bersama memperbaiki semua yang runtuh.

Btw, ini keadaannya setelah dia seenaknya meninggalkan kami di bulan Oktober, sampai saya pengen bunuh diri aja saking bingung mau tinggal di mana, makan apa?.

Tapi setelah semua kekurang ajarannya, saya berhasil menenangkan diri, menerima dia ketika datang ke kontrakan yang saya cari dan bayar sendiri.

Namun dia nggak bisa diajak ngobrol sama sekali, dia ngamuk, dan memaki saya dengan kata-kata jancok.

Dia bilang, istri yang baik itu nggak akan koar-koar di medsos (ini lagi yang dibahas, sampai mual dan muak banget dengarnya!), apalagi sampai ke PPA trus ke kantor polisi.

Katanya, masalah rumah tangga harus diselesaikan berdua.

WATDEFAAAAKKKKKKKKK!!!


Dia yang setiap kali ada masalah selalu kabur, di chat ga dibalas, ditelpon ga diangkat. Dari beberapa tahun terakhir sejak si Adik lahir, dia melakukan hal tersebut, namun masih ingat kirim uang meskipun nggak cukup.

Sampai akhirnya dia benar-benar kabur begitu saja, memblokir nomor saya termasuk anak-anaknya. Lalu dia menghilang begitu saja, pergi liburan ke Bali, di saat kami hampir mati bunuh diri di Surabaya.

Dia bahkan dengan santai merekam dan memposting liburan ke Bali melalui akun TikToknya, yang bikin saya ilfil seilfil-ilfilnya.

Naudzubillahi mindzalik!

Coba katakan pada saya, bagaimana saya harus menata hati untuk mengikuti perintah kakak saya untuk mengemis pada lelaki yang bahkan saya nulis ini saja, keknya tekanan darah saya langsung naik saking jijiknya.


Saya sudah bilang ke kakak berulang kali, bahwa saya nggak menutup pintu perdamaian, bahkan saya akan dengan senang hati menyambutnya kalau dia datang ke Buton, seperti janjinya pada anak-anaknya.

Namun, sebagai partner, tidak lebih dari itu.

Kalau dia berharap lebih, sebagai suami istri, silakan berjuang, kali aja masih ada sisi hati saya yang bisa disentuh.

Tapi percayalah, ketika saya sudah bisa mengontrol diri di depan orangnya langsung, padahal saya mempunyai masalah dengannya, percayalah itu terjadi karena sudah tidak melibatkan perasaan.


Saya adalah manusia yang sangat mudah marah, tapi juga mudah memaafkan. Namun itu bisa saya lakukan ketika saya tak punya perasaan apapun terhadap orang itu.

Makanya saya bilang, saya dengan senang hati menyambutnya kalau dia ke Buton, karena saya menganggap dia partner.

Tak peduli orang-orang mengatakan saya keras kepala atau keras hati. Ah percayalah, saya tumbuh besar dalam kondisi terabaikan, karenanya sejak kecil saya terbiasa mencintai diri sendiri.

Karena itu, cinta dari orang lain tuh nggak terlalu penting buat saya.

Kalau ada yang cinta, Alhamdulillah, nggak dicintai pun, nggak masalah.

Mungkin juga karena saya beruntung, papinya anak-anak sudah cukup memanjakan saya selama kenal dengannya.

Saya kenal dan jadian dengan dia sejak tahun 2001 btw, dan menikah dengannya selama 7-8 tahun dia memanjakan saya banget.

Jadi total sekitar 16 tahunan dia memanjakan saya, sehingga saya rasa sudah cukup juga cinta dan perhatian yang saya dapatkan.

Ketika dia akhirnya pergi, ya udah lah ya, nggak ngaruh buat saya lagi, apalagi di usia saya yang udah nggak muda ini lagi ya.

Di pikiran saya cuman pengen cari duit yang banyak, pengen bermanfaat bagi banyak orang, khususnya anak dan perempuan.

That's it.  

Ah pokoknya gitu deh, maafkeun curhatannya nggak runut, karena saya kesal mengingatnya.


Baubau, 17 Desember 2025

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)