Jadi saya iseng menulis opini tentang uang mahar di Threads, yang intinya saya menggaris bawahi tentang normalisasi aja ketika melihat ada ortu yang menerapkan mahar (yang terlihat) tinggi untuk anak perempuannya, sesuai value, bibit, bobot dan bebet anaknya.
Dan juga ortu sebaiknya bijak menggunakan uang mahar tersebut buat dana darurat anak perempuannya di kemudian hari, jangan dihabiskan buat resepsi besar-besaran semata.
Tulisan itu, lagi-lagi seperti biasa, saya tulis berdasarkan pengalaman pribadi, dan murni untuk sharing. Kalau ada yang pro, Alhamdulillah, yang kontra juga monggo, saya sangat menghargai. Karena saya tahu dan sadar betul, setiap manusia dikasih ujian dan jalan hidup berbeda oleh Allah.
Tapi, seperti biasa juga, lagi-lagi tulisan ini banyak mendapatkan komentar pedas, terutama dari para lelaki, yang merasa tersinggung dengan tulisan saya itu.
Saya paham sih, masalah mahar ini sering menjadi hal yang sangat sensitif buat banyak lelaki. Sering banget pernikahan batal dilakukan hanya karena tak ada kesepakatan nilai mahar.
Itu baru mahar loh, yang mas kawin. Belum masalah uang panaik.
Btw, uang panaik itu, setahu saya bukan hanya mahar atau mas kawin yang disebutkan ketika ijab kabul. Tapi juga termasuk biaya resepsi atau acara yang diminta keluarga calon mempelai istri ke calon suami.
Kalau di Sulawesi, Buton khususnya, uang ini disebut 'yang dimakan api'. Alias biaya untuk menyelenggarakan acara.
Nggak melulu acara besar-besaran ya, bahkan acara seadanya kan butuh uang juga buat menjamu tamu dan keluarga calon suami (jika acara di keluarga perempuan). Nah uang untuk membeli berbagai kebutuhan itu, biasanya dibebankan ke pihak calon suami, meskipun ada juga yang biayanya ditanggung kedua belah pihak.
Uang Panaik Perempuan Buton dan Cerita Saya
Sebelumnya saya mau warning dulu, mungkin cerita saya ini akan terbaca menyebarkan aib suami. Tapi, bagaimana saya menceritakan dan dipahami pembaca, kalau enggak diceritakan dengan jelas? hehehe.
Jadi, kalau enggak nyaman, sebaiknya nggak usah dibaca.
Maafkeuuunnnn!.
Btw, meski lahir di Minahasa, tapi ortu saya asli Buton keduanya, dan tinggal menetap di Buton pulak. Jadi, ketika saya menikah, tentunya mengikuti adat Buton.
Saya nggak mengerti dengan jelas adat menikah di Buton sih, tapi dulu tuh setahu saya ada tingkatan kasta tertentu untuk menghitung uang panaik anak perempuan yang akan menikah.
Misal, kalau keturunan sultan (biasanya ditandai dengan nama Laode atau Waode) biasanya akan membutuhkan mahar yang lebih mahal ketimbang yang tidak berdarah biru. Selain itu, ada pula penilaian dari sesama orang Buton, akan lebih murah, ketimbang menikah dengan orang luar Buton.
Nah, kebetulan banget saya menikah dengan orang Jawa, tentunya hitungannya lebih mahal, karena beda suku. Tapi sebenarnya semahal-mahalnya, nggak mahal banget kok.
Di Buton tuh berlaku hitungan boka. 1 boka kalau nggak salah 60ribu rupiah.
Sedangkan jika menikah sesama orang asli Buton, maharnya tuh hanya berkisar antara 30-40 boka. Jadi sekitar kurang lebih 2,4 jutaan saja kan. Akan tetapi kalau bukan orang asli Buton, biasanya dikenakan 2 kali lipat (kalau enggak salah).
Namun, yang bikin terasa agak mahal itu, karena di Buton itu ada pengeluaran lain yang namanya uang pasali. Uang pasali merupakan uang untuk menghormati keluarga wanita yang menyelenggarakan acara nikahan tersebut atau uang yang 'dimakan api'.
Dan selain itu, ada juga seserahan yang nggak main-main juga biayanya.
Kalau di Jawa kan sering kita liat, seserahan itu kebutuhan pribadi mempelai wanita. Tapi di Buton, setahu saya bukan cuman kebutuhan pribadinya, tapi juga isi kamar.
Ada ranjang, kasur, bantal, lemari, sprei, meja rias dan lain sebagainya.
Dan biasanya dulu, ada yang mintanya harus dari kayu jati, hahaha.
Lalu begini cerita menikah saya dengan orang Jawa.
Masalah utamanya adalah, kami nggak pernah berhasil mengumpulkan uang untuk menikah. Gaji saya yang nggak seberapa, habis buat kebutuhan hidup saya di Surabaya. Dari bayar kos, makan dan lainnya.
Sementara gaji si pacar juga yang nggak seberapa, mana masih jadi karyawan harian pulak, gajinya nggak rutin, dan meski dia tinggal di rumah ortu, dia masih harus membiayai kebutuhan kuliahnya.
Si pacar emang telat banget lulus kuliahnya, sementara bapaknya nggak mau biayain lagi kuliahnya karena udah lewat 4 tahun, hahaha.
Karena itulah, si pacar nggak pernah ada tanda-tanda akan ngelamar, sampai suatu hari saya udah capek nunggu dan kasih ultimatum bahwa saya akan menikah tahun itu, dengan dia atau dengan orang lain.
Setelah itu akhirnya dia mendesak ortunya, meminta tolong dibantu biaya nikah, apalagi semua saudaranya juga menikah dengan biaya bantuan ortu kan.
Karena keterbatasan, ortunya hanya mampu memberikan biaya yang sebenarnya masih masuk mahar wajib. Masalahnya adalah, uang tersebut mencakup semua-muanya.
Bukan hanya pengganti seserahan yang harus diberikan, uang pasali, bahkan termasuk transportasi si pacar dan kedua ortunya untuk datang ke Buton, bahkan termasuk biaya hidup mereka selama di Buton, ditanggung dengan duit itu.
Awalnya ortu agak keberatan, tapi berkat rengekan saya (astagahhh dah, hahaha), akhirnya ortu setuju saja, dan sengaja menutupi jumlah uang yang diberikan pihak lelaki kepada pihak keluarga besar terutama pihak adat.
Jujur, saya bahagia banget.
Dulu saya paling anti dengan mahar yang memberatkan, bahkan ketika si pacar nggak bisa belikan saya seserahan kayak pengantin lainnya, saya rela aja.
Menurut saya, toh nanti setelah menikah kami akan bahu membahu sama-sama cari uang, setelahnya bisa membeli kebutuhan kami dengan puas, tanpa ribet dan membebani pernikahan.
Jadi ketika akhirnya kami pesan undangan, dan lainnya pakai uang dari ortu saya, sedikitpun nggak ada rasa kecewa di hati.
Singkat cerita, pernikahan akhirnya bisa dilakukan, dengan biaya lebih besar dari ortu saya. Ortu pacar datang keduanya, dan menginap di rumah yang disiapkan keluarga kami. Semua kebutuhan mereka selama di Buton ditanggung ortu saya.
Bahkan setelah menikah, mama membuka amplop pemberian tamu-tamu dan duitnya sebagian dikasih ke saya juga, meskipun saya nggak nyumbang sepeserpun, wakakakakak.
Apapun itu, saya happy karena akhirnya udah bisa menikah, terbebas dengan pertanyaan ortu tentang kapan si pacar mau melamar?.
Ortu saya nggak salah sih, saya udah pacaran 8 tahun, mana sendirian pulak di Surabaya. Banyak tetangga bahkan keluarga sendiri yang menuduh saya kumpul kebo, bahkan ada tante yang tega menuduh saya udah punya anak di luar nikah, hehehe.
Meski awalnya cuek, lama-lama ortu eneg juga dengar tuduhan begitu, karenanya mereka rajin nanya kapan saya dilamar. Dan akhirnya bisa menikah, rasanya bahagia dong.
Masalah hal-hal yang kurang, nggak ada seserahan ini itu, saya cuek saja. Toh kami bisa mengusahakan setelah di Surabaya.
Setelah menikah, saya balik ke Surabaya, ikut suami yang memang nggak pernah mau jauh dari keluarganya. Berusaha luar biasa agar bisa beradaptasi dengan kebiasaan keluarganya yang berbeda 180 derajat dari keluarga saya.
Saya yang terbiasa sepi di rumah, nggak pernah ngerasain antri kamar mandi, harus tinggal di rumah dengan orang banyak, mau mandipun antri.
Tapi toh saya bisa beradaptasi.
Sayangnya, belasan tahun kemudian, dengan tega dia menelantarkan saya dan 2 anak begitu saja di Surabaya.
Baca juga : Ayah Santai Tiktokan, Anak Kelaparan ditemani Ibu Depresi!
Antara Uang Panaik Perempuan dan 'Patriarki' di Buton Khususnya
Akhir-akhir ini, saya sering menemani mama ngobrol. Banyak hal yang diobrolin, salah satunya mahar.
Mama bercerita, bahwa dia mendapatkan mahar sebidang sawah seluas 1 hektar dari kakek saya (bapaknya bapak saya). Karena memang awalnya mama dan bapak tuh menikah tanpa restu, meski demikian mama tetap mendapatkan mahar, karena di Buton itu wajib hukumnya.
Bahkan menurut mama, di Buton sendiri yang namanya mahar itu merupakan kewajiban orang tua lelaki kepada calon menantu. Woeee enak banget yak!.
Mau menikah direstui kek, enggak kek, kewajiban itu harus dilaksanakan, kalau enggak dianggap hutang.
Perempuan juga berhak dibangunkan tempat tinggal tersendiri, dinafkahi dengan cukup, dan ternyata ini ada hukum adatnya.
Lalu, pikiran saya terlempar ke masa lalu, di mana dulu tuh saya alergi banget dengan adat Buton, terutama tentang kentalnya patriarki yang mana kebanyakan orang tua tuh mengajarkan anak lelaki untuk haram hukumnya masuk dapur.
Bapak saya patriarki dalam hal pekerjaan rumah, meskipun beliau tahu dan bisa mengerjakan sendiri, tapi lebih milih menyuruh mama atau anaknya yang melakukannya.
Jangankan pekerjaan rumah, bahkan di meja makan. Mengambil gelas minum yang tak terjangkau oleh tangannya ketika dia duduk santai, langsung deh suruh mama ambilin.
Yang bikin geram adalah, setelah kami di Buton, mamalah yang lebih banyak membiayai keluarga, rasanya kesal banget liat mama udah capek cari uang, pulang kantor harus mengerjakan dan melayani bapak yang sebenarnya nggak punya penghasilan nyata kayak mama.
Kegeraman saya bertambah ketika adik saya lelaki terlahir, dan dimanja banget sama mama.
Bukan hanya adik, sepupu-sepupu laki pun diperlakukan dengan istimewa, dilarang masuk dapur. Pokoknya dapur adalah kewajiban perempuan menurut kebanyak generasi boomer di Buton.
Gara-gara itulah saya alergi banget sama lelaki Buton, sampai rela pergi jauh dan memilih menolak orang Buton dan memilih orang Jawa.
Alasannya, karena dalam pikiran saya, orang Buton itu, lakinya patriarkis sekaleeee.
Orang Jawa, setidaknya si pacar yang saya kenal sama sekali tidak menunjukan hal itu. Dia bahkan paling rajin bantuin ibunya di dapur, memasak, cuci piring. Gimana nggak memperjuangkan laki-laki Jawa kan ye.
Tapi, dengan pengalaman saya ditelantarkan, saya jadi mengerti, sebenarnya kehidupan ini nggak melulu berkutat di masalah patriarkis.
Kalau melihat kondisi saya sekarang jujur lebih baik memilih saya sibuk di dapur, suami jadi raja minta dilayani, asalkan mahar saya dibayar dengan penuh, dan anak-anak dinafkahi dengan penuh.
Mohon maaf nih, saya banyak ketemu laki-laki nakal di Buton, patriarkis, egonya tinggi, tapi untuk anak, luar biasa banget pengorbanannya.
Banyak laki-laki yang bisa dibilang nakal, ogah masuk dapur, tapi anak-anaknya bagaikan nafasnya. Rasanya mereka rela hidup dengan istri yang bawel yang luar biasa menguji kesabaran, asalkan tetap bersama anak-anaknya.
Meanwhile, anak-anak saya bahkan sudah tak pernah disapa ayahnya sejak akhir tahun lalu. Bahkan momen lebaran ini, sama sekali nggak menggugah perasaannya untuk sekadar menanyakan kabar anak-anaknya.
Karena itulah saya mulai berpikir, ternyata ada hubungan dan manfaatnya mengapa di Buton tuh selalu ada aturan khusus untuk mahar dan uang panaik atau uang pasali. Ya karena setelah menikah, kebanyakan perempuan harus berbakti sama suami. Kebanyakan istri bertanggung jawab dengan kerjaan rumah, sementara laki cuman cari uang saja.
Karena itulah perempuan 'wajib dibayar' dengan harga yang pantas.
Dan sebenarnya uang mahar bahkan panaik ini bisa banget dipakai sebagai dana darurat pribadi perempuan, ketika mengalami hal-hal seperti penelantaran keluarga.
Karena banyak terjadi, setelah menikah perempuan akan kehilangan banyak pilihan. Banyak yang nggak bisa lagi membangun karir karena harus fokus ke anak.
Perempuan jadi bergantung sepenuhnya sama suami, dan bayangkan dengan kondisi itu, tapi suami malah kabur dari tanggung jawabnya.
Andai saya punya mahar kayak mama saya, diberi sebidang sawah yang lumayan luas. Kan lumayan tuh bisa jadi aset yang dijual atau diolah untuk biaya bertahan hidup.
Tapi saya kan enggak, jangankan uang untuk dana darurat, bahkan seserahan emaspun enggak ada. Satu-satunya emas yang diberikan ke saya cuman cincin kawin, itupun sudah terjual ketika kami punya masalah keuangan di 5 tahun pertama menikah.
Begitulah
Elweel, 09-04-2025
Kirain hanya di Sulsel yang ada uang panaik ternyata di Buton juga ada. Secara umum kali di Sulteng juga biasa pernikahan dibebankan kepada laki" sih
BalasHapusJadi paham adat Buton seperti itu. Tp dipikir, ya memang bagus, di saat wanita ditelantarkan, at least dia ada pegangan untuk hidup.
BalasHapusAdat Batak pun ada yg namanya membeli marga, jika menikah dengan laki2 non Batak. Tp jujur papaku bukan orang yg taat Ama Adat. JD dia sendiri ga mau nyuruh Raka utk bayar uang marga 😂. Yg penting mahar dibayar. Udh itu aja