Jumat kemarin saya didampingi oleh 2 petugas UPTD PPA Surabaya, mendatangi Polrestabes Surabaya untuk melaporkan kasus penelantaran keluarga dan KDRT Psikis.
Sebenarnya pelaporan utama saya adalah penelantaran keluarga saja, karena langkah saya ini didasari alasan utama untuk memperjuangkan hak-hak dan masa depan anak.
Namun, sejak awal saya mendapatkan info dari petugas PPA maupun Puspaga, bahwa kasus penelantaran keluarga ini baru bisa dilaporkan dengan syarat suami tidak memberikan nafkah uang minimal 3 bulan berturut-turut lamanya.
Nah, selama kurun waktu tersebut, jika ada suami memberikan nafkah sekecil apapun, maka gugurlah tuntutan tersebut.
Karena itu, saya tambahin kasusnya dengan KDRT psikis khususnya pengabaian yang sejujurnya sudah saya alami sejak tahun 2018 lalu.
Memang sih nggak melulu sepanjang waktu saya diabaikan, namun sering banget sikapnya yang suka lari dan mengabaikan saya ketika ada masalah sungguh merusak mental saya dan berdampak serius buat diri sendiri, apalagi pada anak.
Namun kali ini, saya belum akan membahas tentang KDRT psikis tersebut, saya ingin menyoroti tentang kasus penelantaran keluarga yang sangat membagongkan untuk kondisi saya.
Kasus Penelantaran Keluarga Itu Merugikan Untuk Kondisi Saya
Seperti yang sudah saya ceritakan sedikit di beberapa tulisan saya, kalau papinya anak-anak tuh memang suka silent treatment sejak lama. Kalau ada bahasan penting, khususnya melibatkan biaya hidup anak-anak, dia pasti akan memilih untuk tidak menggubris keluhan saya.
Masalahnya, karena itu akhirnya komunikasi jadi benar-benar mandeg. Berakibat keputusan hidup untuk anak-anak juga mandeg.
Dan gara-gara itu juga saya nggak tahu bagaimana kemampuan keuangan dia dalam menafkahi anak-anaknya.
Sejak Agustus 2024 ini, dia bahkan sudah tak mampu memberikan uang untuk biaya kontrakan, tapi juga tak membuka komunikasi untuk bisa membicarakan,
"Kalau nggak mampu, enaknya gimana?"
Ye kan! bukan hanya uang, apalagi kalau nggak bisa memenuhi secara ekonomi, minimal kan ada kerjasama meski hanya komunikasi, untuk mutusin
"Ini ke depannya gimana?"
Untuk memenuhi biaya kontrakan yang memang mahal tapi tetap sudah disetujui oleh papinya anak-anak itu, di mana ketika saya berulang kali mengeluhkan biaya hidup di kontrakan itu mahal, dia selalu mengatakan untuk bertahan di situ aja,
"Nanti diusahakan!"
Demikian katanya, ketika lagi baik hati mau membuka obrolan.
Tapi karena di bulan Agustus tidak ada komunikasi dengan papinya anak-anak, sementara biaya kontrakan ini nggak boleh telat sama sekali, akhirnya saya putuskan untuk berhutang demi membayar sewa kontrakan tersebut.
Ternyata, sampai di akhir September 2024, tidak ada keputusan maupun komunikasi dengan papinya anak-anak. Apalagi di bulan Agustus saya baru tahu, ternyata nomor WA saya diblokir oleh dia.
Sebenarnya ketika diblokir itu, saya udah mulai berpikir kalau ini bakalan berlanjut dengan dia lepas tanggung jawab. Apalagi saat itu ada berita suami seorang selebgram Aprila Majid yang ditinggalkan suaminya begitu saja.
Saya udah ngerasa, wah bahaya ini, bisa-bisa menginspirasi papinya anak-anak juga.
Ketakutan saya akhirnya terbukti, di awal Oktober, ketika si Kakak hendak ujian Mid Semester. Dia terancam nggak bisa ikut ujian, karena ada tunggakan SPP selama 3 bulan dan uang kegiatan dan lainnya yang nilainya jutaan.
FYI, rutinitas dia mengirim nafkah memang sedikit terganggu sejak anak-anak masuk ajaran baru, memang sih dia tetap mengirim nafkah, tapi seringnya agak telat dan bertahap.
Karena itulah, uang daftar ulang anak-anak, bahkan uang masuk sekolah di SD si Adik, banyak yang tertunggak. Termasuk SPPnya.
Karena nggak ada jalur komunikasi dengan saya, akhirnya si Kakak yang saya minta untuk menanyakan uang sekolah tersebut. Awalnya papinya berjanji akan mengusahakan, tapi sampai malam dihubungi si Kakak, nggak ada respon, ujungnya malah nomor WA si Kakak diblokir.
Blokirnya bukan hanya di WA, tapi keseluruhan nomornya.
Jadi, bukan hanya nggak bisa di WA, tapi juga nggak bisa ditelpon maupun SMS.
Bukan main sedihnya si Kakak ketika itu, takut nggak bisa ikut ujian. Sementara saya memang nggak punya tabungan karena biaya hidup yang terbilang mahal selama ini.
Beruntung lagi-lagi saya menemukan pinjaman atau hutang dari teman, dengan uang tersebut akhirnya saya bisa mencicil sebagian uang kegiatan dan SPP tertunggak si Kakak. Dan Alhamdulillah dia bisa ikut mid semester ketika itu.
Sayangnya, hari berganti hari, hingga berganti minggu, nomor papinya belum juga bisa dihubungi, sementara kondisi kami yang memang sangat bergantung pada nafkah pemberian papinya.
Luar biasa kalutnya saya, sementara batas waktu bayar kontrakan yang terbilang mahal sudah dekat. Sementara saya nggak mungkin harus berhutang lagi, orang hutang sebelumnya belum bisa saya bayar hingga saat ini.
Saking kalutnya, saya bahkan berpikir ingin mengakhiri hidup, bahkan sudah mengajak anak-anak untuk mati saja.
Apalagi ketika itu banyak kabar orang bunuh diri dengan lompat dari gedung tinggi, rasanya ingin mengikuti langkah tersebut, tapi saya nggak tega meninggalkan anak-anak dan berniat mengajak mereka ikut serta.
Sungguh kondisi mental saya benar-benar berada di dasar jurang banget saat itu.
Baca tulisan ini : Ayah santai TikTokan, Anak Kelaparan
Alhamdulillah saya masih dikasih kesempatan untuk menjauhi dosa oleh Allah, banyak teman media sosial yang menguatkan dengan segala bantuan moril maupun materil.
Dan dari teman media sosial pun, saya akhirnya dikasih solusi untuk melaporkan ke dinas Perlindungan Perempuan dan Anak kota Surabaya.
Namun, dari dinas inilah saya mendapatkan informasi, bahkan papinya anak-anak ini bisa di pidanakan melanggar UU penelantaran keluarga, akan tetapi ada syaratnya, yaitu minimal 3 bulan tidak memberikan nafkah uang sama sekali.
Dan saya bilaik,
"Heh? 3 bulan? terooosss selama itu anak-anak hidup pegimana?"
Syarat 3 Bulan Tidak Dinafkahi Itu Sangat Merugikan Perempuan dan Anak
Jujur saya benar-benar tidak mengerti, bagaimana bisa seorang ayah menutup komunikasi dan benar-benar tidak peduli dengan kondisi keluarganya.
Padahal kondisi saya itu sebagai ibu rumah tangga, yang sangat bergantung sepenuhnya kepada nafkah dari dia?.
Saya tidak punya keluarga yang bisa dijadikan tempat berteduh sementara, tidak punya pemasukan yang cukup. Jangankan makan, untuk tempat tinggal saya saya bingung harus di mana?.
Dan papinya anak-anak sadar betul akan hal itu.
Apakah saya harus hidup di jalanan selama 3 bulan, dan membiarkan anak-anak kena busung lapar, putus sekolah sambil menunggu jangka waktu itu untuk bisa melaporkan tindakan penelantaran dengan sengaja?.
Okelah, kalau pasal ini diatur dengan 'disesuaikan dengan kemampuan keuangan suami', tapi kan kontribusi ayah untuk keluarga itu penting bukan semata uang.
Kan bisa dengan mengambil solusi, saya yang memaksimalkan kemampuan sementara untuk menghasilkan uang selama masa-masa dia belum mendapatkan pekerjaan lagi.
Dan untuk itu, saya dan anak-anak butuh kontribusinya secara langsung dalam mengasuh dan mengurus anak khususnya.
Masalahnya kan dia menutup komunikasi untuk itu, bahkan setelah mediasi by zoom yang difasilitasi oleh UPTD PPA Surabaya, Puspaga dan dinas terkait, yang keputusannya dia harus membuka komunikasi, hingga hari ini dia tidak mau lakukan.
Lalu, bagaimana nasib anak-anak dengan ayah yang pengecut seperti itu?.
Bagaimana UU PKDRT pasal penelantaran keluarga melindungi perempuan dan anak, jika syaratnya harus tak ada nafkah selama 3 bulan berturut-turut?.
Memangnya anak-anak bisa bertahan hidup tanpa tempat tinggal, makan dan sekolah selama 3 bulan?.
Apalagi, dengan kaburnya dia dan penolakan untuk berkontribusi langsung, membuat saya sangat kesulitan dalam mencari uang karena masih harus disibukan oleh mengurus rumah dan anak.
Bahkan sesimple harus mengantar jemput anak sekolah dan les, ditambah mental saya yang luar biasa kacau karena harus menanggung beban seberat ini seorang diri.
Anak-anak tentunya tidak hanya menderita karena tanpa nafkah ayahnya, tapi juga tanpa kepedulian ayahnya, ditambah jadi sasaran gejala mental illness yang saya rasakan.
Sungguh, menurut saya, UU Penelantaran Keluarga dan syarat pelaporannya wajib banget diperjelas dan dipertimbangkan berdasarkan kondisi korban.
Karena, tidak semua perempuan punya support sistem keluarga yang bisa diandalkan saat suaminya sedang pura-pura amnesia akan tanggung jawabnya.
Demikianlah.
Surabaya, 23-11-2024
Sumber:
- Pengalaman pribadi
- UU Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT
Kalau tiap obrolan yang seharusnya bisa diobrolkan, apalagi sebenarnya masih sederhana. Tapi tidak diobrolkan dan malah pergi menjauh, itu jatuhnya udah toxic sih mbak.
BalasHapusBeda halnya kalau prinsip hidup atau keputusan kritis ya. Tapi kalo kaitannya sama masa depan anak, harusnya bisa diobrolin bersama ya. Toh solusi pasti akan selalu ada. Ga selalu mesti gaji suaminya besar. Yang penting ya di komunikasinya.
Semangat ya Mbak, jangan menyerah. Insya Allah tahun depan akan lebih cerah.
Bangeeetttt!
HapusAsli sebenarnya saya malu mengangkat topik ini, karena sebenarnya ini masalah komunikasi.
Tapi bahkan udah dipanggil dinas PPA, ditanyakan bagaimana harapannya ke depan, apa rencananya?
Dia nggak kasih jawaban yang jelas, semacam ga peduli sama sekali.
Langsung deh saya ambil opsi tegas, laporkan polisi.
Meskipun harus berhadapan dengan UU yang kurang jelas untuk masalah ini
Iya mbak. Kalo urusan anak, harusnya gak begini caranya. Segimanapun mumetnya kepala, demi anak harusnya jadi yang prioritas ya.
Hapusmbaaaa... apa yang kamu alami, sungguh aduh bener aseli. toxic juga itu ya, tapi dirimu tetap berjuang sampai saat ini sungguh hebat. Jangan pernah menyerah ya mba
BalasHapusmba, sungguh hebat mbanya ini kuat sekali. Semoga ada jalan terbaik supaya biaya kontrakan dan biaya pendidikan anak-anak terpenuhi karena itu yang paling urgent, saya doakan mba Rey dapat keberlimpahan... Amin...
BalasHapus