Jadi baru saja saya scroll media sosial untuk cari ide konten, lalu membaca sebuah konten feed instagram yang isinya tuh tentang 'teman sekufu'.
Saya tertegun, lalu berpikir,
"Iya juga ya, ternyata bukan hanya pasangan aja yang kalau bisa sih cari yang sekufu, pertemanan juga wajib, demi kesehatan mental"
Ya meskipun sejujurnya saya nggak bisa benar-benar setuju juga sih, karena menurut saya, ada manfaatnya juga kita (sesekali) berada di lingkungan yang kurang sekufu. Itu akan melatih kita menjadi pribadi yang lebih kuat dalam menghadapi berbagai sikap, karakter dan kondisi manusia.
Dan pada dasarnya kan di dunia ini, kita nggak bisa benar-benar lepas dari orang-orang yang tidak kita sukai kan?.
Karena misal nih, kita punya atasan yang sikap dan karakternya berlawanan dengan kita, sementara kita butuh banget pekerjaan tersebut. Masa iya, lebih mementingkan kesehatan mental dan jadinya nganggur aja ketika belum nemu pekerjaan lain?.
Nah, kalau kita nggak terbiasa berhadapan dengan orang-orang yang karakternya tidak sekufu dengan pemikiran kita, dalam situasi tersebut, kebayang dong bagaimana stress-nya kita?.
Tapi, kalau dalam keseharian, kita udah sering berhadapan dengan manusia-manusia yang demikian, tentunya kita bisa menghadapinya dengan lebih bijak atau 'slay' kalau kata anak muda zaman sekarang.
Namun, memang sih, menutup diri dari orang-orang yang nggak sekufu, akan sangat menenangkan hati. Karena tentunya apapun yang kita lakukan, tidak akan menjadi sebuah hal yang harus ditahan atau disembunyikan lantaran 'males' aja menghadapi tanggapan negatif dari teman.
Yang dimaksud dengan pertemanan sekufu itu, sebenarnya tidak terbatas pada usia dan latar belakang yang sama, tapi juga pola pikir yang sama, agar apapun yang kita lakukan dipahami bahkan didukung oleh teman.
Saya mengalami banget hal ini, di mana seringnya pola pikir saya tidak matching dengan pola pikir teman-teman sebaya. Karena itu, kebanyakan teman saya adalah di luar generasi yang sama dengan saya.
Seringnya, pola pikir dan sikap saya bikin teman-teman sebaya mengeluarkan protes-nya, misal:
1. Saya penganut lifestyle yang praktis, kata mereka saya boros
Yang namanya ibu bekerja dari rumah dan single fighter mom tanpa bantuan siapapun, itu luar biasa hectic. Jujur, kalau boleh memilih dan mendang mending, mendingan saya pilih lembur mulu di tempat kerjaan ketimbang menjalani hidup begini.
Tapi kan, nggak bisa milih.
Jadi harus banget diberlakukan sistem praktis.
Sesekali, saya akan beli lauk matang, nggak mahal kok, palingan bakso, kadang ayam goreng dan semacamnya. Agar anak-anak bisa langsung makan, saya bisa hemat waktu nggak perlu masak, nggak perlu bersihin dapur, nggak perlu cuci piring kotor segudang.
Tapi sikap saya demikian, sering banget dibilang boros.
"Makanya masak Rey, jangan beli terus!"
Kata 'terus' itu sungguh bikin gedeg!
Di lain waktu, banyak yang bilang saya boros, karena kalau masak sayur, kuahnya nggak bikin sayurnya selembar doang berenang, hahaha.
Saya sering membeli kangkung 2 ikat untuk sekali makan saja buat ber-3.
Beberapa teman mengatakan itu boros, akan lebih baik jika 1 ikat saja, kasih kuah yang banyak. Padahal ya, kalau dibanding dengan mereka, jatuhnya juga hampir sama.
Saya masak kangkung 2 ikat, bumbunya cuman 3 siung bawang putih, minyak 1 sdm, dan garam.
Coba liat apa bumbu yang mereka pakai untuk memasak 1 ikat kangkung?. Ada bawang merah banyak, bawang putih banyak, cabe, tomat, lengkuas, penyedap rasa dan lainnya.
Lalu hitunglah pengeluaran 2 ikat kangkung dengan less bumbu, dan 1 ikat kangkung dengan banyak bumbu, kan lebih murah yang bumbunya dikit.
Ini berlaku dengan lauk, saya beli ayam, tapi bumbunya dikit, beli tahu tempe, palingan dimasak ungkep biasa aja pakai bumbu instan, kadang ga digoreng, langsung dimakan gitu aja.
Selain lebih hemat uang, juga lebih hemat waktu, nggak habis waktu saya ngupasin bawang, nguleg dan lainnya.
Dan masih banyak lagi, yang kata mereka saya 'boros', sementara buat saya itu adalah bersikap praktis.
2. Saya tak kenal menyerah, kata mereka saya terlalu memaksakan
Ketika saya punya masalah, beberapa teman menyalahkan saya, katanya terlalu memaksakan hidup sesuai keinginan, terlalu berlebihan.
Padahal, yang saya lakukan adalah 'tak kenal menyerah'.
Saya masih akan berjuang, agar anak-anak saya punya kesempatan lebih, biar kata itu terlihat mustahil. terlebih semesta masih mendukung.
Kayak ketika saya post konten anak-anak lagi ikut kelas coding dan robotic. Beberapa teman lama yang sebaya, mengatakan pada saya,
"Daripada uangnya buat anak ikut kelas begitu, mending ditabung buat biaya hidup"
Lalu saya kirimkan foto anak-anak memegang piagam beasiswa, hahaha.
3. Saya tidak ngojek, tidak jualan kue keliling, tidak jadi baby sitter apalagi pembokat, karena saya ada kerjaan di rumah, kata mereka saya belagu nggak tahu diri
Masalah keuangan memang melanda saya akhir-akhir ini, alasannya karena nggak ada komunikasi yang konsisten dengan papinya anak-anak. Jadi, saya nggak punya bayangan harus gimana biar keuangan tetap bisa meng-cover kehidupan kami.
Contoh, kayak kejadian baru-baru ini, bapakeh kabur nggak ada tanggung jawabnya ke anak-anak, sementara kami nggak punya uang, harus bayar perpanjangan kontrakan yang terbilang mahal. Biaya hidup yang mahal, sementara dia nganggur.
Saya nggak dikasih tahu kalau dia akan nganggur, kalau tahu kan saya bakalan muter otak, cari cara agar nggak perlu berhutang untuk memenuhi kebutuhan.
Entah, cari kontrakan di Surabaya lebih murah sejak sebelumnya, berhemat di beberapa sektor, dan lainnya.
Mengapa nggak dilakukan meskipun nggak ada keterangan bapakeh mau nganggur?. Karena kadang juga ada komunikasi, saya udah lama minta agar kami pindah ke kontrakan yang lebih terjangkau dan dekat sekolah anak. Tapi bapakeh melarang, katanya biar aja di situ.
Eh giliran kacau, dia kabur.
Dalam keadaan kacau begini, tentu saya saya shock, teriak di medsos untuk melegakan hati.
Lalu beberapa teman lama menyarankan untuk ngojek, daftar ojek online.
Wewww deh, selain motor saya udah uzur, pun juga saya aslinya nggak berani naik motor, bonceng anak-anak aja saya sering miring kiri kanan, hanya perlindungan Allah semata makanya saya masih selamat sampai sekarang.
Kalau jadi ojek online? keknya dari pelanggan pertama udah dikasih bintang 1 saking mereka trauma saya boncengin, hahaha.
Ada juga yang menyarankan jualan kue, saya kan emang pernah jualan frozen brownies dulunya. Tapi plis lah, semua alatnya udah saya singkirkan, dan itu butuh modal buat beli bahan, dan waktu pengerjaannya.
Jadi baby sitter? anak siapa yang harus saya jagain? Di saat mental kacau begini mau nambah jagain anak orang? anak sendiri aja bolak balik saya bentak, hiks.
Namun, alasan yang paling mendasar adalah, karena saya memang masih punya kerjaan nyata di rumah, ada blog yang harus diberdayakan biar bisa mendatangkan uang dengan cepat. Ada akun instagram.
Menurut saya, fokus di hal yang memungkinkan itu jauh lebih baik, ketimbang memulai sesuatu yang baru, belum ada target market-nya, dan nihil modal pulak, hehehe.
Tapi, pola pikir begini jarang bisa dimengerti oleh teman-teman sebaya yang memang jarang bahkan nggak ada yang punya profesi sebagai freelance.
Dan masih banyak lagi.
Solusinya emang wajib banget mengukur mental kita. Kalau kuat, ya udah senyumin aja semua tingkah laku teman yang bikin pengen gigit sepatu itu *eh.
Tapi kalau nggak kuat, ya udah carilah teman yang sekufu atau setara. Agar semua yang kita lakukan, dipahami dan tidak diartikan negatif bagi teman kita.
Kalau saya? ya udah sih ya, berusaha memahami aja, karena saya tahu, mereka melakukan hal itu karena peduli, meskipun ya nggak nyaman di hati saya.
Demikianlah.
How about you, Temans?
Surabaya, 25-10-2024
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)
Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)