Ketika Anak Lain Terlalu Sibuk untuk Sekadar Terima Telpon Ibu

merindukan telpon mama

Ceritanya, semalam saya nggak sengaja liat cuplikan film Korea, yang diperankan oleh Shin Min-ah. Tumben ya saya hafal nama aktris Korea, selain Jang Nara, hahaha..

Soalnya, si Shin Min-ah ini, wajahnya emang sekilas mirip kakak ipar saya, Mbak Ninik namanya. Makanya saya cari tahu namanya dan jadi hafal.

Sebenarnya cuplikan film itu sekilas terlihat biasa aja, tapi narasi dari konten yang upload itu yang bikin baper.

Barusan saya cari judul filmnya, '3 Days of Vacation'. 

Narasi konten yang saya liat itu menjelaskan, bahwa wanita tersebut, si Shin Min-ah yang memerankan tokoh Jin-jo. Memutuskan pindah dari kota gemerlap ke desa tempat tinggal ibunya, yang telah meninggal dunia. 

Dia lalu belajar memasak seperti ibunya, dan membuka rumah makan di desa tersebut.

Dijelaskan juga penyebab Jin-jo melakukan hal itu, karena dia kangen dan merasa bersalah kepada ibunya.

Dulunya, ketika ibunya masih hidup, dia jarang mengangkat telepon ibunya. Ibunya yang memang cuman punya putrinya tersebut, akhirnya datang ke tempat tinggal Jin-jo di kota.

Bukannya disambut gembira, Jin-jo malah marah besar, karena melarang ibunya sembarangan datang ke tempat tinggalnya.

Setelah ibunya meninggal, barulah dia menyesal, karena menyadari betapa sedikitnya waktu yang dia berikan ke ibunya.

Seketika si Rey baper dan nangis, hiks.


Cerita si Rey, Anak yang Terlupakan di Rantau

Dulu tuh ya, eh sampai sekarang sih. Ketika saya ketemu orang Buton di Surabaya, atau sedang mudik ke Buton. Saya selalu dihujat, karena pakai logat Jawa (kata mereka).

Semua orang bilang, saya sombong karena melupakan logat Buton.

Tapi nggak ada yang mau nanya, apa sih alasannya, saya jadi kagok logat Buton setelah tinggal di Jawa?.Terlebih sekarang yak, akoh udah hampir 24 tahun dong di Jawa, hehehe.

Alasannya adalah, karena saya jarang memakai logat Buton, masa iya di Jawa pakai logat Buton kan ye. Orang saya pakai bahasa Indonesia aja sering menemukan kesulitan lantaran ketahuan banget bukan orang sini.

Iya, pegimana mau pakai logat Buton, saya nggak pernah lagi ngobrol dengan orang Buton. Bahkan via telpon sekalipun.

Sejak kuliah dulu, ketika pertama kali saya menetap lama di Jawa, khususnya Surabaya. Ortu bisa dibilang hampir nggak pernah nelpon.

Ketika itu, meski sedih, tapi saya paham, karena emang dulu belum ada ponsel, dan di rumah ortu nggak ada telpon.

Jadi, ortu harus ke wartel dulu kalau mau komunikasi dengan saya yang sebatang kara ngekos di Surabaya. Kebetulan, di kos saya selalu cari yang ada teleponnya.

Tapi, amat sangat jarang banget mama menelpon, atau bapak, atau kakak.

Saking sedihnya saya berasa anak ilang gitu. Ketika pulang libur lebaran, pas pertama kalinya saya udah kerja dan punya gaji sendiri. Saya belikan mama HP dong.

Itu pertama kalinya mama punya HP.

Saya belikan juga kartunya, saya isikan juga pulsanya, biar saya bisa sering-sering komunikasi dengan beliau.

Tapi, harapan saya tinggallah harapan.

Setibanya saya di Surabaya lagi, hal pertama yang saya lakukan adalah menelpon mama. Dan ponselnya, mati sodara!.

Sedih banget, meski coba menghibur hati, kalau mungkin memang mama masih kagok mengoperasikan ponsel. Meskipun selama seharian sejak beli HP itu, saya udah mengajari mama bolak balik, dan sudah memastikan mama bisa memakainya dengan baik dan lancar.

Saya juga memilihkan ponsel yang layar maupun keyboard-nya lebih besar agar mama mudah memakainya.

Dan untuk memudahkan, saya lebih menitik beratkan agar mama bisa menelpon dan menerima telpon saja dulu, itu kan lebih mudah ketimbang SMS.

Tapi, nyatanya jarang aktif sodarah!

Alhasil, lagi-lagi saya semacam lost contact sama mama.


Ketika ponsel mulai merebak ke mana-mana, terutama mulai munculnya era internet. Mama memang masih setia dengan ponsel jadul Nokia pemberian saya itu.

Dan tetap masih sulit dihubungi.

Boro-boro mau nelpon saya.

Oh ya, pernah ding mama beberapa kali nelpon. Ketika itu saya akhirnya mengadu kalau ditinggalkan begitu saja oleh si paksu.

FYI, sejak awal, nama si paksu ini memang luar biasa baik di mata ortu dan keluarga saya. Bukan karena dia baik banget, karena sayanya yang berjuang bikin namanya baik.

Seperti, kalau mudik saya bakalan beli banyak oleh-oleh, terus bilang kalau itu dari si pacar dan keluarganya, wkwkwkwk. 

Ditambah dengan instruksi saya setiap kali kami mudik, bagaimana dia harus bersikap untuk ambil hati ortu saya, jadinya dulu ortu sangat shock mendengar aduan saya tersebut.

Seketika mereka bersikeras memanggil saya kembali ke Buton, saat itu juga. 

Mama bahkan langsung kirim uang untuk tiket pesawat, sambil bolak balik telepon, takut saya nggak jadi pulang, hehehe.

Ketika itulah, notifikasi telpon dari mama masuk ke HP saya, selain itu nggak pernah ada, huhuhu.

Satu-satunya yang rajin nelpon itu kakak saya, si Jouke.

Telponnya juga sangat random, dan sangat egois, memanfaatkan Adiknya yang nggak enakan ini. Kalau nggak telpon untuk nyuruh saya beli sesuatu dan dikirim, ya dia telpon untuk curhat kalau lagi berantem sama suaminya.

Nggak sampai di situ, dia paksa pula saya untuk ngomong begini begitu, sesuai instruksinya, kepada suaminya.

Lalu saya dengan sangat bingung dan dilema terpaksa menelpon kakak ipar, meskipun awkward momen banget, karena memang ada kisah awalnya naksir adiknya, berjodoh dengan kakaknya.

Dan meski selalu merasa tertekan dengan semua kemauan kakak satu-satunya itu, saya selalu setia mengangkat telponnya. Di manapun, kapanpun, bahkan ketika saya masih kerja kantoran dulunya.

Sampai akhirnya kami berselisih paham, setelah bapak meninggal 2 tahun lalu. Sejak saat itu, sampai detik ini nggak pernah lagi ada yang menelpon saya.

Berkali-kali menelpon mama, nggak diangkat. Berkali-kali SMS, juga nggak dibalas.

Kalau kakak saya mah, malahan memblokir nomor HP saya.

Satu-satunya akses komunikasi untuk tahu kabar mereka, ya cuman melalui kakak ipar semata. Itupun nggak bisa sering-sering, karena takut ada apa-apanya *eh.


Ketika Anak Lain Terlalu Sibuk untuk Sekadar Terima Telpon Ibu

Karena itulah, saya jadi baper banget melihat video cuplikan filmnya Shin Min-ah itu. Apalagi baca narasinya yang makin bikin baper. 

Baca komenan beberapa orang yang menyesali nggak pernah punya waktu untuk sekadar angkat telpon ibunya pun, semakin bikin hati baper.

Karena, ketika anak-anak lain merasa telepon dari ibunya adalah suatu hal yang annoying, saya bahkan puluhan tahun merindukan telepon mama.

Pengen banget bisa kayak ipar-ipar perempuan saya, yang walaupun  jarak rumah mereka dengan rumah ibunya cuman belasan KM. Tapi mereka bahkan menelpon hampir setiap hari.

Dan ibunya, meskipun sudah belasan bahkan puluhan panci gosong karena terlupakan sedang masak, malah asyik terima telpon anak-anaknya. Tetap saja selalu semangat menerima telpon anak-anaknya.

Anak ibu mertua saya tuh banyak. Anak mama saya cuman 2 aja. Tapi mama saya, terlalu malas untuk sekadar mengangkat telpon anaknya yang jauh di mata ini.

Padahal saya anak perempuan loh.

Padahal juga saya yang paling sering menunjukan rasa cinta dengan melakukan apapun untuk mama.

Selain kemauan beliau untuk saya pulang ke Buton sih.

Sayangnya, saya nggak bisa dengan terang-terangan menjelaskan, apa alasan saya nggak bisa pulang. Karena akan menyakiti kakak saya.

Jadilah saya semacam terbuang dan jadi anak yatim piatu di rantau yang jauh.


Dan tahukah hal yang sering lebih menyakitkan hati?

Adalah komentar orang-orang,

"Rey, selagi masih ada waktu, sering-seringlah pulang temui mamamu. Rajin-rajin nelpon mamamu!"

Kalau dulu saya ngamuk dan ngomel mendengar hal itu, sekarang hanya bisa menikmati aliran air mata yang seketika menganak sungai.

Bahkan menulis cerita ini, saya lakukan di perpustakaan daerah di Surabaya. Berada di dalam ruangan yang banyak orangnya. Terus mata saya banjir air mata, terus saya bingung ngelap pakai tisue sampai tisuenya bisa diperas, wakakakak.

Sudah ah.

Gitu aja.

Semoga mama saya selalu diberi kesehatan dan umur panjang.

Semoga mama saya dilembutkan hatinya, untuk mau memaafkan anak perempuannya ini yang udah berasa anak pungut aja, terlupakan.

Etapi, dibanding kakak, saya justru yang paling mirip mama loh. Jadi, nggak mungkin dong saya anak pungut, wakakakakaka.

Semoga, Allah masih kasih kesempatan, untuk bisa bertemu lagi, dalam keadaan sehat, aamiin.


Surabaya, 08 Januari 2024

6 komentar :

  1. Sedih baca kisah kak Rey. Kenapa mama kak Rey sepertinya tidak merestui hubungan kakak dengan suaminya? Apakah karena suaminya tidak mau diajak ke Buton?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pertama, emang karakter mama saya, kurang bisa peduli secara lebih ke anak-anaknya.
      Kedua, yang namanya ortu ya, apalagi anaknya cewek, pengennya tinggal dekat mereka aja :D

      Hapus
  2. 🤗🤗. Sabar yaa Rey. Aku ga bisa kasih saran yg mungkin berguna, tapi ikut mendoakan semoga mama lembut hatinya dan mau terima telp kamu lagi . Apapun masalahnya, bisa jadi clear lagi nanti 😊🤗

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, iya Mba, hanya bisa berdoa, semoga mama bisa diberikan kelembutan hati, kasian sih sebenarnya, blio sendirian di sana. Meski kakak saya ada di sana, tapi yang paling peka akan kebutuhan hati ortu itu, diriku.
      Karena diriku yang paling lama membersamai ortu ketika emreka produktif

      Hapus
  3. Beneran deh mbak, bukan hanya ibu aja. Ayah juga. Sebisa mgkin sih respon teipon mereka. Kalau gk bisa ngangkat ya tanya pakai pesan SMS ata WA. Karna itu bikin gak tenang banget kalau sampai gk tau apa yang lagi mereka butuh sampai nelpn kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kaaann, semenyebalkan telpon mereka, setidaknya balas SMSnya

      Hapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)