Sebuah Curhat, Andai Bisa Protes Ke Allah

curhat ke allah

Kadang saya pengen protes loh ke Allah, eh sebenarnya udah sih, dalam doa. Kadang dalam doa, ketika saya benar-benar lagi sakit hati, saya lupa meminta, malah bertanya,

"Kenapa ujiannya naik terus, ya Allah! Tapi sertifikasi hasil ujian sebelumnya, kok rasanya kurang berbekas!"

Maksudnya gini.

Saya teringat, di tahun 2014 lalu, papinya anak-anak ketahuan suka chat-chat mesra sama mantan pacarnya, yang sudah menikah dan punya anak juga.

Tuh mantan pacarnya itu, menanggapi juga.

Ternyata, setelah liat-liat status facebooknya (oh ya, si mantan itu ternyata berteman dengan saya di FB loh, waktu itu), ternyata dia menjalani LDM dengan suaminya.

Sang suami, sepertinya sih bekerja di Kalimantan, di sebuah perusahaan yang bergengsi.

Ketika tahu hal itu, dulunya saya pengen bilang ke si Mbak itu,

"Mbak, masih ada perasaan kah kalian? noh ambil tuh mantanmu, tapi kita tukaran suami, ya!"

Wakakakaka.

 Akoh, mau dong punya suami yang karirnya selalu menanjak, nggak yang stuck aja di situ-situ aja, bahkan kegilas oleh para generasi muda sehingga sering jadi pengangguran.

Si Mbak mantan pacarnya itu, sepertinya orang Surabaya, punya keluarga di Surabaya. Punya 2 anak yang ganteng dan cantik. Dan masih punya waktu me time, tanpa digelondotin anak mulu.

Intinya, si Mbak itu, punya suami dengan pekerjaan yang bagus, gaji besar, uang bulanan terjamin. Ada keluarga yang selalu bantuin jagain anak.

TAPI MASIH BISA-BISANYA LADENIN CURHAT SUAMI ORANG!


Nah, saya tuh jadi sering membandingkan diri dengan si Mbak itu.

Saya yang sekarang hidup seorang diri di perantauan, coba mengemis keluarga di keluarga bapakeh anak-anak, malah berakhir trauma.

Akhirnya berdamai dengan sebatang kara sambil hidup mengurus anak-anak.

Bapakeh kerja jauh di pulau lain, jujur saya nggak tahu di mana tempat kerjanya. Terakhir sih dia pernah bilang di Medan.

Tapi tepatnya di mana, dan sampai kapan, gajinya berapa, saya nggak tahu.

Dan jujur, saya juga nggak peduli sih, karena udah menemukan cara untuk berdamai, ya jangan coba cari tahu lebih dalam. Yang penting duitnya ada, hahaha.

Selama setahunan kemaren kan, luar biasa banget perjuangan saya sebagai single fighter mom, rasa janda beneran, wkwkwkw. Makanya saya sering digodain teman-teman laki. Itu pulak kali yang ada di otak eyangnya anak-anak, menganggap saya jablay, hoeks.

Dari yang harus keliling Surabaya bertiga sama anak-anak naik motor, demi mencari sekolah buat anak-anak. Lalu bolak balik ke rumah eyangnya anak-anak, dari yang bantu urus eyangnya yang sakit sebelum akhirnya meninggal.

Lalu bolak balik ke acara tahlilannya.

Kemudian memutuskan tinggal di rumah eyangnya anak-anak, karena eyang kakungnya sendirian setelah ditinggal istrinya.

Itu semua, diikuti dengan 'usung-usung' barang sendiri loh.

Bolak balik ke rumah eyangnya, sambil naik motor dengan menggembol barang seabrek dan membonceng 2 anak, Mana si Adik tidur pulak di jalanan.

Luaaarrr biasa banget sih kalau diingat-ingat.

Lalu akhirnya, trauma tinggal di rumah mertua. Mulai lagi gembolin barang naik motor pindah ke kontrakan kecil di Surabaya. Sambil membawa luka dan sakit hati tak terperihkan sebenarnya ya.

Bayangin aja, sudah mati-matian saya berbakti kepada keluarga bapakeh anak-anak.

Ibunya sakit, saya ikut mandiin, gantiin popoknya.

Sebenarnya sederhana sih hal itu, kalau terjadi sama orang lain. Tapi ini terjadi sama si Rey dong, si mahluk jijikan se antero jagad ini, mau ikutan gantiin popok kotor ibunya.

(Maapin yak jadi diungkit, karena serius, sakit hati ini membekas banget!)

Jujur, saya melakukan hal itu dengan ikhlas, nggak berharap apa-apa kepada bapakeh anak-anak, karena sudah belasan tahun dikecewakan oleh bapakeh dan udah ribuan kali kecewa.

Saya cuman ingin menunjukan, bahwa saya selalu berusaha maksimal dalam menjalani hidup. Sehingga tidak akan melewatkan momen apapun untuk berbuat baik.

Tapi, ternyata saya memang manusia biasa, bilang ikhlas, tapi hati tetap saja sakit diperlakukan tidak adil oleh keluarganya, oleh dia sendiri.

Ebentar, ini apa hubungannya sama si Mbak yang ketahuan chat sama bapakeh anak-anak ya?, hahaha.

Maksudnya gini, saya sedang membandingkan diri, yang dalam kondisi sama dengan si Mbak itu, kala itu.

Di mana, dia LDM sama suaminya, dan mungkin merasa kesepian, jadinya menyibukan diri untuk chat-chat an sama suami orang.

Lah, si Rey, yang juga LDM, dengan tumpukan ujian yang sangat menantang, dan dihadapi seorang diri. Tapi kok kayaknya ditambah lagi ujiannya, sama Allah, hiks.

I mean, nggak apa-apa lah, saya berdamai dengan kesendirian mengurus anak. Tapi mbok ya, jangan ditambah lagi dengan harus mengemis duit biaya hidup anak ke bapakeh.

Karena saya sungguh sangat lelah sampai tahap exhausting berhubungan dengan lelaki itu. Dan sejujurnya, saya sudah mensyukuri adanya LDM ini. Karena dengan demikian saya bisa hidup tenang tanpa drama dengan lelaki yang toksik buat saya.

Mungkin lagi-lagi ada yang komen.

Kon nggak cerai aja, Rey?

Duit...

Duit...

Duit...

Daaaannn uang!

Akoh masih butuh, eh salah, anak-anak masih butuh duit bapakeh untuk hidup. Untuk bayar tempat berteduh alias tempat tinggal, untuk bayar sekolah, untuk bayar makanan dll.


Ke penasihat perkawinan aja!

Menurutmu, si Rey yang seorang pejuang sejati ini, hanya akan menyerah begitu saja, tanpa berbuat apapun?. 

Tidak!

Saya sampai di tahap ini, karena udah super lelah.

Super lelah yang membawa berkah sebenarnya. Karena setelah saya lelah dan memutuskan untuk nggak terlalu memusingkan hal-hal tentang bapakeh anak-anak, saya malah bisa tenang.

Saya tak perlu lagi merasa bersalah tidak bisa berbaur sama keluarganya, karena udah maksimal juga, berakhir trauma pulak. 

Jadi, sebelumnya udah saya lakukan semuanya yak.

Memang, jalan terbaiknya saya ikutin saja semua caranya, demi anak-anak yang masih butuh biaya, dan akoh tak punya penghasilan tetap kayak lainnya.


Ya udah, kerja aja Rey!

Nggak bisa! akoh sebatang kara, nggak punya siapapun. Anak-anak hanya bisa bergantung di saya seorang diri, nggak bisa dititipin ke siapapun.


Intinya, ya Allah.

Saya udah berdamai, dengan menjalani hidup sendiri. 

Anak sakit, ya nggak pernah lagi ngerecokin bapakeh.

Semua masalah anak, saya hadapi sendirian.

Boro-boro mau ngeluh kayak wanita lain yang LDM sama suaminya, katanya jadi istri kesepian lah, suaminya selalu sibuk lah nggak mau perhatianlah, sampai khawatir dengan berita perselingkuhan.

Enggak ya, saya cuman fokus ke anak-anak dan hidup kami aja.

Tapi, bisa nggak dikasih sertifikasi kelulusan ujian hidup, dengan duit dari bapakeh lancar tanpa perlu saya nagih sampai ngemis, ya Allah?.

Atau, kalau memang ribet, bisakah saya minta sertifikasi kelulusan ujian hidup, dengan dititipin ke saya aja rezeki anak-anak, ya Allah.

Insya Allah saya amanah dengan rezeki anak-anak itu ya Allah.

Atau, kalau memang nggak bisa, boleh kah saya dipertemukan jodoh terbaik yang mau menjadi sahabat terbaik saya dalam menempuh hidup ini, sampai tua, dan dipisahkan maut?.

Capek ya Allah.

Tapi, jujur dalam hatiku menyadari, rencana-Mu adalah terbaik untukku.


Surabaya, 07 Januari 2024

4 komentar :

  1. Semangat, Mbaaak. Pengalamanku pribadi, fokus pada ketenangan diri sendiri itu lebih baik.

    BalasHapus
  2. Syukurlah sudah bisa terima nasib dan takdirmu Rey... hahaha bisa buat tulisan itu memang menunjukkan kamu sudah bisa bilang, "Yah emang nasib saya begini.." hahahahahaha

    Kalau soal sertifikasi, heemmmm gua yang udah lebih dari setengah abad saja lum nerima Rey... Masa dikau mau duluan

    Rasa sakit pertanda bagus.. berarti kamu masih manusia hidup. Kalau sudah berkalang tanah, pasti ga akan terasa sakitnya, tapi kamu bukan manusia lagi..

    Manusia akan mengalami banyak rasa sakit selama masa hidupnya. Bukan ujian sertifikasi, tetapi hanya sebuah sinyal pengingat bahwa mrk masih manusia dan bukan tak terkalahkan, tidak akan abadi.

    Ketika rasa sakit itu teratasi dengan satu atau lain cara, yang ada hanyalah sebuah catatan sejarah saja, sebuah pengalaman, yang bisa menjadi batu untuk bergerak maju, sebuah pengalaman yang bisa dipelajari agar tidak melakukan kesalahan yang sama di masa depan.

    Jangan pernah berharap sertifikasi karena pada dasarnya kita cuma manusia saja dengan merasa sakit adalah bagian dari kehidupannya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Pak, sejatinya manusia cuman menjalani aja yak, pokoknya tenang aja, anggap di kapal, selama kita tenang, kapalnya bakalan baik-baik aja.

      Tapi jujur, diriku bersyukur banget, setelah menulis ratusan ribu kata, bahkan mungkin jutaan deh, sedikit demi sedikit, diriku udah bisa lebih menerima.
      Masih up and down sih, tapi in the end, udah tau hakikatnya hidup :D

      Hapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)