Hari Ibu atau Perempuan Indonesia dan Pencapaian Diri

hari ibu

Hari ibu selalu diperingati di tanggal 22 desember setiap tahunnya. Meskipun maknanya sedikit bergeser dari awal mula terbentuknya hari ini menjadi bersejarah di Indonesia.

Di mana, dulunya Hari Ibu terbentuk dari sebuah kongres perempuan pertama di Indonesia, yang dilakukan di Jogjakarta pada tahun 1928.

Pertemuan yang diadakan selama 3 harian tersebut, dihadiri oleh beberapa perempuan hebat di masa itu. Dan mereka mendeklarasikan, bahwa perempuan juga punya hak untuk menunjukan intelektual.

31 tahun kemudian, tepatnya di tahun 1959, Presiden Soekarno meresmikan hari tersebut, sebagai Hari Ibu. Melalui Dekrit Presiden Nomor 316 tahun 1959.

Sejatinya, hari bersejarah itu disebut sebagai hari Perempuan. Namun, karena kata yang paling menggambarkan kaum perempuan adalah Ibu, karena panggilannya juga Ibu, tidak peduli dia telah mempunyai anak atau belum.

Eh siapa sangka kan, gara-gara penamaan Hari Ibu tersebut, maknanya jadi bergeser menjadi peringatan jasa wanita sebagai ibu terhadap anaknya.

Nggak salah juga sih, karena menurut saya, kiprah penting perempuan itu, bukan hanya ketika bisa terlihat berdaya untuk bangsa dan negara. Seorang wanita atau ibu yang fokus mengurus anak-anaknya sebaik mungkin pun, adalah perempuan hebat yang akan menjadi pencetak pemimpin bangsa ini.

Who knows kan?

Bagi saya, makna hari ibu ini, tak lepas dari makna awalnya, yaitu hari peringatan bagi kiprah penting perempuan, bukan hanya seorang ibu yang punya anak doang.

Dan karenanya, saya jadi teringat oleh perkataan beberapa orang yang sering saya dengar, ketika sedang mudik menjenguk ortu di Buton.

"Kamu kerja di mana, Rey?"

"Kerja di rumah saja"

"Bukan kerja itu kalau cuman masak dan cuci piring!"

Si Rey bilaik, senyum aja, memaklumi ke-oon-an orang udik (begitu cara saya saya menghibur hati, biar nggak jadi sakit hati).

"Kasian ya anaknya mama Yuke yang satu ini, nggak kerja, padahal dulu dia pintar banget!"

"Trus suamimu juga kerjaannya tidak tetap ya, Rey! Memang sih, dalam bersaudara itu, pasti ada yang nasibnya kurang baik!"

Lagi-lagi si Rey cuman senyum-senyum aja, meski dalam hati menertawakan ke-udik-an orang-orang tersebut (puk puk hati sendiri kan ye).

*****************


Sejujurnya, saya sudah tidak terlalu memikirkan hal-hal yang mungkin, eh sudah seharusnya sih ya, bikin sakit hati, dengan ucapan demikian.

Terlebih, saya nggak bertemu orang-orang yang ngomong gitu ke saya, setiap hari. Selain itu, saya menyadari, kalau memang pola pikir saya dengan mereka itu, beda.

Dan, juga saya tahu, sebenarnya nggak ada yang nasibnya lebih baik dari lainnya. Semua nasib orang tuh baik, tergantung gimana kita menyikapinya, kan ye?.

Namun, ucapan-ucapan demikian sering terlintas kembali, di momen-momen tertentu kayak sekarang. 

Ya kayak momen hari Ibu gini. Di mana, di hari ini, banyak berseliweran konten tulisan dan video tentang Ibu dan segala pengorbanannya.

Langsung deh saya menyadari, betapa orang-orang yang suka mengasihani saya, karena nggak jadi PNS kayak kakak, begitu sempit pemikirannya.

Bagaimana bisa mereka mengasihani saya, yang memilih jadi ibu yang mengasuh anak-anak secara langsung dan full. Sementara, begitu banyak peningkatan kualitas hidup yang saya rasakan setelah menjadi ibu yang selalu ada buat anak-anak.

Karena anak-anak, saya selalu dipecut untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Yang tidak mentolerir saya jadi perempuan yang malas.

Yang tidak mentolerir saya jadi perempuan yang hidupnya entar-entar mulu. 

Shalatnya entar, disiplinnya entar, dan semua hal baik yang sering banget saya 'entar' kan, hehehe.

Bagaimana bisa saya mentolerir semua hal yang tidak baik? Sementara saya butuh anak-anak tumbuh jadi manusia yang lebih baik.

Yang shalatnya tepat waktu, dan otomatis saya duluan yang harus mencontohkan hal itu kan.

Yang selalu bangun pagi, yang selalu disiplin, dan segala kebiasaan baik lainnya. Seperti harapan saya sebagai ortu ke anak-anak.

Dan kesemuanya memaksa saya untuk jadi seperti yang saya inginkan ke anak-anak, tanpa toleransi yang membuat rasa mager tak berkesudahan.

Iya, karena anak-anak, saya dipaksa jadi perempuan yang hebat. Yang bisa mengurus mereka sebaik mungkin, tapi juga tetap bisa menghasilkan uang.


Lalu teringat saya di masa pengangguran karena gagal mulu dalam mencari kerjaan ketika lepas wisuda dulu. Saya habiskan waktu menganggur hanya untuk main game semata dong. 

Mau shalat tepat waktu biar cepat dapat kerjaan aja, entaaaarrr mulu. 

Apalagi mau ngaji atau shalat sunnah lainnya, entaaaarrr aja melulu, hahaha.

Bahkan setelah saya mendapatkan kerjaan, hidup terasa nggak ada tujuan dan target sama sekali. Anak-anaklah yang memaksa saya jadi perempuan yang lebih baik.

Lalu, bagaimana bisa orang mengasihani saya yang hanya menjadi ibu?

Sementara, pencapaian terbaik dalam hidup saya ya karena menjadi ibu.

Begitulah..


Apapun itu, seperti apapun pilihan dan pencapaian para perempuan di dunia ini. Bagi saya, kita semua adalah luar biasa.

Dan, selamat Hari Ibu, wahai para perempuan Indonesia.


Surabaya, 22 Desember 2023

2 komentar :

  1. Memang ga usah diambil hati Orang2 begini. Mereka ga tau kalo jadi ibu yg berhasil mendisiplinkan anaknya bukan sesuatu yg mudah.jauuuh LBH mudah mencapai target kantor drpd bikin anak disiplin trutama dalam hal agama.

    Hebat sih kamu nya Rey 👍. Kalo aku ditanya, blm tentu bisa berhasil gitu. Ga sabaran pula 😔

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha, betul Mba, kalau di kantor kan yang kita hadapi orang dewasa yang udah ngerti dan benda mati.
      Lah hadapi nakanak ituuhhh luar biasa :D

      Hapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)