Perempuan di Baubau dan Panggilannya Ketika Sudah Menjadi Istri & Ibu

perempuan di baubau

Perempuan di Baubau dan sekitarnya, bahkan kayaknya sih di hampir semua daerah Sulawesi ya, setidaknya Sulawesi Tenggara. Kadang merasa risih atau merasa tersinggung, jika disebut namanya dalam percakapan sehari-hari, ketika mereka sudah menjadi ibu.

Btw, ini sebenarnya bisa dikatakan sebagai 'Culture Adjustment' buat saya, tapi biar judulnya nggak kepanjangan, saya hilangkan aja kata demikiannya, hehehe.

Hal ini sebenarnya bukan masalah baru buat saya, udah tahu persis sejak dulu kalau di Baubau dan sekitarnya, kebanyakan perempuan yang sudah punya anak maunya dipanggil dengan sebutan 'mamanya (nama anaknya)'.

Misal saya ya, nggak dipanggil Rey, atau Kak Rey lagi, melainkan mamanya Darrell atau maminya Darrell.

Justru kalau dipanggil dengan nama, meskipun ada embel-embel 'Kakak' atau lainnya, terdengar kurang sopan buat masyarakat di sini.

Akan tetapi, karena saya memang udah lama meninggalkan pulau Buton, dan pertama kali jadi ibu ya di Surabaya. Saya udah terbiasa tetap dipanggil dengan nama meski udah punya anak. Jadinya saya justru merasa aneh kalau ada yang manggil saya dengan sebutan 'mamanya Darrell'.

Nah, bahkan sampai saat ini saya masih berjuang keras untuk mengubah kebiasaan tersebut, berusaha mengikuti kebiasaan masyarakat di Baubau dan sekitarnya. Tapi jujur memang terasa sulit untuk konsisten.

Alasannya, saya udah puluhan tahun terbiasa punya gaya hidup being Rey, bukan mengikuti gaya hidup orang kebanyakan *plak.

Bagi saya, selama itu tidak melanggar norma agama dan tidak merugikan orang lain, saya nyaman mengikuti gaya hidup sendiri, eaaakkkk.

Karena itulah, saya sungguh kagok setiap kali menyebut nama orang di sini.

Untungnya, di tempat kerja saya, mostly temannya berusia di bawah saya, jadi saya panggil nama juga nggak sampai kagok, hehehe. 

Apalagi, banyak juga yang belum nikah, ada pula yang udah nikah tapi belum punya anak.

Baca juga : Tentang Rey aka Mbak Reyne

Ngomongin tentang perempuan di Baubau dan panggilannya ketika sudah menjadi ibu, saya pernah mendengar alasannya dari beberapa perempuan di sini.

Menurut mereka, alasan mengapa perempuan di Baubau nggak suka dipanggil dengan namanya setelah mereka punya anak, karena bagi mereka itu nggak sopan.

Bagi mereka, memanggil dengan 'mamanya (nama anaknya)' sama dengan penghargaan terbesar buat perempuan yang sudah melahirkan seorang anak.

Lucunya, pendapat ini justru semacam bertolak belakang dengan pendapat kebanyakan perempuan di masa kini (maksudnya perempuan di luar Baubau dan sekitarnya ya).

Bagi sebagian besar perempuan, hal tersebut (menyebut dengan panggilan nama anak atau suami) merupakan bentuk perampasan identitas sebagai manusia.

Coba deh googling tentang hal ini, Temans bisa membaca banyak opini demikian di berbagai website, khususnya yang pro feminist buanget. '

Salah satunya magdalene.co, dalam artikelnya di : https://magdalene.co/story/arti-sebuah-nama-bagi-perempuan-menikah/ diceritakan bagaimana perempuan merasa identitas dirinya sebagai manusia semacam dirampas oleh lelaki karena hal tersebut.

Nah, di website lain yang tulisannya lebih ilmiah dan masuk akal yaitu : https://www.konde.co/2025/10/dipanggil-nyonya-anton-mengganti-nama-belakang-perempuan-dengan-nama-suami-bukan-bentuk-romantisme/ dijelaskan bagaimana dampak dari perempuan yang mengganti namanya dengan nama suaminya, atau memakai nama belakang suami, merupakan perampasan terhadap kontribusi perempuan di dunia.

Dijelaskan pula bahwa hal ini bisa menjadi seperti Matilda Effect, yang mana kontribusi perempuan dalam penelitian ilmiah diabaikan, dilupakan bahkan diklaim oleh laki-laki.

Fenomena Matilda Effect ini terbentuk berdasarkan pejuang hak pilih perempuan, aktivis, dan sosiolog Amerika, Matilda Joslyn Gage. Di mana banyak penemuan besar, yang terjadi melalui tangan perempuan, akan tetapi sejarah hanya mencatat nama laki-laki untuk keberhasilan tersebut.

Di Indonesia akhir-akhir ini, melalui kampanye media sosial, banyak perempuan yang menyuarakan hal ini. Tentang perempuan juga berhak tetap menjadi dirinya sendiri meskipun sudah menjadi istri dan ibu. Salah satu halnya dengan tetap bangga menggunakan nama lengkapnya, dan berhak menolak dipanggil sebagai nyonya (nama suami) atau mamanya (nama anaknya).

Lalu tiba-tiba saya merasa bersyukur karena bisa mengenal dan hidup dengan prinsip tersebut hingga saat ini. Meskipun akhir-akhir ini memang kadang terjebak dalam awkward momen ketika terbiasa memanggil nama orang dengan nama aslinya. Atau ketika mendengar saya disebut dengan panggilan mamanya Darrell, hehehe.

Baca juga : Perempuan Punya Anak, Anugerah atau Tantangan?

Tapi setidaknya, saya setuju sih dengan anggapan kalau perempuan berhak tetap dipanggil dengan namanya sendiri sebagai identitas dirinya, meskipun sudah menjadi istri dan ibu.

Bahkan buat saya pribadi, ketika anak-anak saya mungkin berhasil mencapai sesuatu, saya ingin dipuji dan dikenal sebagai perempuan yang beruntung bisa diberi kepercayaan memiliki anak-anak seperti itu.

Bukan hanya seorang ibu yang beruntung, tapi seorang perempuan yang beruntung.

Emang apa bedanya, Rey?.

Ya beda lah.

Seorang perempuan itu artinya tunggal, hanya dirinya sendiri. Sedangkan seorang ibu ya karena dia memiliki anak. 

In the end, saya setuju sama penulis di artikel konde.co, bahwa 'apalah arti sebuah nama' yang pernah menjadi pertanyaan Shakespeare, ternyata lahir juga dari dunia yang hanya mengenal nama lelaki yang abadi.

Tak masalah nama tidak penting, namun identitas kita sebagai perempuan, jangan sampai terhapus dari dunia. Apalagi dalam budaya masyarakat, bahkan anak-anak hanya mewarisi garis keturunan dari ayahnya. Kebayang kan kalau ada yang punya anak perempuan semua, masa iya keturunannya terputus dan keberadaannya di dunia lenyap begitu saja?.

Karena seperti itulah kehidupan di Baubau dan sekitarnya, di mana garis keturunan manusia hanya mengikuti ayah semata. Pada akhirnya identitas perempuan Baubau dan sekitarnya akan hilang, kalaupun tetap dikenang, bukan sebagai dirinya, tapi sebagai mamanya Anu atau nyonya / ibu (nama suaminya).

How about you, women?.   


Baubau, 04-11-2025

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisan saya, silahkan meninggalkan komentar dengan nama dan url yang lengkap, mohon maaf, percuma ninggalin link di dalam kolom komentar, karena otomatis terhapus :)

Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)