Sharing By Rey - Menikah beda suku itu repot!
Setidaknya itulah yang saya alami dulu.
Tepat di tanggal 9 Agustus kemarin, usia pernikahan saya dengan si papidady (panggilan kakak Darrell sewaktu kecil ke papinya) tepat memasuki usia 9 tahun.
Sungguh rasanya nggak terasa, ternyata saya sudah menghabiskan nyaris 1/10 abad bersama lelaki manis bernama Ade, yang dulu saya panggil 'kakak Ade' (lucu ya, kayak kakak adek an, hihihi).
Lalu, orang-orang memanggil kami dengan sebutan, 'Ade Rey', kayak binaraga si Ade Rai hahaha.
Sebenarnya, jauh sebelum kami menikah, saya sudah menjalin hubungan dengan lelaki ini selama 8 tahunan (lama banget ya, kalah cicilan mobil, lol).
Jadi, hingga sekarang, saya sudah dekat selama 17 tahun dengan lelaki tersebut, pantesan saya kadang bosan *eh , lol.
Momen ulang tahun buku nikah kami, membuat saya jadi teringat kembali, bagaimana
Si papi yang pendiam dan gak kunjung berani ke rumah ortu (aslinya sih bukan gak berani, tapi duitnya yang mikir-mikir, lol).
Gimana enggak?
Saya memang tinggal di Surabaya sudah lumayan lama, bahkan sejak tahun 2007 saya sudah menjadi warga Surabaya dengan ber KTP Surabaya.
Tapi ortu dan keluarga besar saya semua di Buton.
Eh ada sih om saya (adiknya mama) di Surabaya, jadi si papi hanya bisa main ke sana, dan itupun om saya gak berani mutusin apa-apa.
Parahnya lagi, di rumah kami gak ada telepon, bahkan HP juga gak ada, orang mama saya tinggal dan bertugas di sebuah desa terpencil yang dulu belum ada sinyal HP.
Jangankan dulu, sekarang saja masih sulit dapetin sinyal yang bagus buat nelpon.
Jadi kebayang kan bagaimana bingungnya si papi dulu.
Dianya bingung, sayanya kesal, hiks.
Pendek kata, akhirnya saya yang bantuin si papi untuk ngomong ke ortu (gak keren banget), dan memang sebelumnya si papi sudah pernah main ke Buton saat tahun 2005.
Dan juga orang tua saya sudah pernah ketemu si papi saat mereka ke Surabaya menghadiri wisuda saya.
Lucky us, mama setuju dan suka sama si papi, gegara dia sabar banget (padahal mah bukan sabar, tapi kalah dari Rey, lol). Kalau bapak saya mah ikut saja, beliau memegang janjinya dulu, katanya kalau kami sudah selesai kuliah dan kerja, bebas memilih jodoh siapapun.
Jadi, saat saya memberitahu mama kalau kami bakal menikah, mama menyambut gembira.
Ah sebenarnya males nulis ini, soalnya kagak ada romantisnya sama sekali, hiks.
Tapi gak apa-apa deh, sebagai cerita buat anak cucu kami kelak, bahwa orang tuanya ini menikah dalam kerempongan yang sangat.
Tidak ada yang namanya lamaran, tidak pula ada yang namanya peningset etc itu, orang tua saya hanya meminta uang buat mahar, yang aslinya harus lumayan banyak, mengingat saya masih keturunan orang Buton, dan sesuai adat di sana, jika wanita Buton menikah dengan suku di luar Buton, maka uang maharnya lumayan berlipat.
Penyerahan cincinnya bahkan diwakili kakek-kakek karena harus dibacain doa atau mantra hahaha |
Tapi, saya males jika harus gontok-gontokan masalah mahar, mau nikah saja susah, gak nikah-nikah ditanya terus kapan nikah, akhirnya saya nawar dengan kesanggupan pihak keluarga si papi saja.
Sungguh, mungkin hal ini yang membuat orang tua saya kecewa, tapi mereka tutupin sendiri.
Mama gak pernah bilang dengan jujur berapa uang diberikan keluarga si papi, ke keluarga besar kami, dan semua kelengkapan menikah kami, mama yang siapin.
Drama demi drama menghiasi persiapan nikah
Sebelum akhirnya buku nikah kami jadi, beragam drama terjadi di hubungan kami.
Drama pertama di mulai dengan drama antara saya dengan si papi gegara saya merasa gak adil saja. Untuk menikah, saya harus melewati pertanyaan-pertanyaan sakral dari orang tuanya, sedang si papi senang aja gak sedikitpun dicerewetin orang tua saya. *KZL.
Drama kedua, adalah pemilihan tanggal pernikahan.
Orang tua si papi gak banyak campur, mereka menyerahkan semua ke kami, dan akhirnya saya nanya mama dong, apa jawabannya?
"Terserah kalian"ya ampuuuuunnn....
Sudahlah nelpon mama itu sulit, nunggu beliau datang ke tempat yang ada sinyal dulu baru bisa telpon, eh jawabannya "terserah" gitu.
Bingung teramat sangat, saya disuruh pesan undangan di Surabaya, sedang acaranya di BauBau.
Saya harus menyesuaikan jatah cuti dari kantor untuk nikah tersebut.
Dan bahkan orang tua saya gak mau ngasih tanggal?
Saking kesalnya saya cari sendiri tanggalnya, dan putuskan di tanggal cantik saja, karena kakak saya Jouke berpesan untuk bikin acara di hari Minggu saja, dan kebetulan saya menemukan tanggal cantik di hari Minggu, 9 Agustus 2009.
Sewaktu tau tanggal tersebut, orang tua si papi agak pengen protes, karena katanya kurang bagus.
Tapi karena gak mau jadi masalah lagi, ya ikut saja.
Yang jelas kalau diprotes saya bakal kesal juga, lah dimintain tanggal, katanya terserah kami, giliran kami tentuin, eh salah juga, *sigh.
Drama ketiga, koper besar saya berisi undangan dan perlengkapan lain, nyaris hilang di Pelabuhan Raha - Sultra.
Waktu tahun 2009, bandara di BauBau belum jadi, saya harus naik pesawat dan turun di Kendari lalu meneruskan naik kapal Fery ukuran sedang gitu untuk mencapai pulau Buton.
Dari pelabuhan Kendari harus transit sejenak di pelabuhan Raha, dan saat itu seseorang dengan pedenya mengangkat koper besar saya langsung tanpa ngomong-ngomong.
Beruntung, di tengah pusingnya kepala gegara mabuk laut karena kapal oleng oleh ombak sejak di Kendari, saya masih bisa merasakan dan melihat kalau itu adalah koper saya.
Nyariiiisss saja pernikahan ditunda gegara undangan hilang hahaha.
Drama keempat, di hari H.
Si papi harus berpakaian adat Buton, dan karena ternyata buat make baju adat saja harus dibacain doa dulu ama orang-orang tua adat, jadinya makai bajunya di rumah kakaknya mama.
Pas udah siap semua, dan si papi siap dianter ke rumah, eh mobil pengantennya yang jauh hari sudah disiapkan oleh bos mama saya, lenyap dari parkiran depan rumah tante.
Terpaksa si penganten alias si papi harus naik mobil Kijang yang mana dia harus meringkuk dengan susah payah, karena dipinggang bagian belakang ada keris, dan kepalanya yang jangkung memakai topi adat yang menjulang juga.
Pengantinnya bahkan gak dirias sama sekali :D |
Si papi harus meringkuk seperti itu selama 15 menitan untuk sampai ke tempat penganten cewek yaitu saya yang sudah sedikit panik karena ditanyain penghulu mulu, mana penganten prianya? karena hari itu beliau kudu mengawinkan 3 pasangan, hadeh.
Sungguh, sebenarnya gak ada romantis-romantisnya mengingat pernikahan kami dulu, hiks.
Menyatukan 2 buah keluarga dengan perbedaan yang sangat lumayan ekstrim itu sungguh sulit.
Sudah bahasanya beda, orang tua saya kurang bisa mengerti bahasa orang tua si papi karena ngomongnya terlalu pelan dan kadang diselingi logat dan bahasa Jawa.
Sedang orang tua si papi juga lebih bingung mengerti bahasa orang tua saya, gegara orang Buton ngomongnya suka pakai kata yang di bolak balik.
Saya harus selalu ada di antara mereka, untuk mengartikan saat kedua belah pihak bingung *sigh.
Jarak yang terpisah ribuan KM serta transportasi yang masih sulit dijangkau.
Teknologi belum secanggih sekarang.
Sungguh saya pusing mengingat rempongnya dulu kami menikah.
Pakai drama mati lampu pula pas mau tanda tangan buku nikah hahaha |
Adat yang sangat berbeda, namun Alhamdulillah orang tua saya amat sangat diacungin jempol, mereka lebih memilih menutupi semua kekurangan yang seharusnya diberikan oleh pihak si papi.
Dan mengatakan kalau perlengkapan lainnya di Surabaya.
Padahal, kalau harus mengikuti adat, banyak hal yang harus dilakukan pihak si papi sebelumnya.
Seperti :
- Tauraka atau lamaran.
Prosesi ini biasanya malah dilakukan 2 kali, yang pertama hanya pertemuan 2 keluarga saja, yang kedua adalah lamaran lebih besar dengan mengundang tetangga dan saat itulah diadakan penyerahan semacam peningset kalau gak salah dalam adat Jawa.
Tapi berbeda dengan adat di pulau Jawa yang mana peningset itu seperangkat keperluan wanita, kalau di Buton malah seperangkat perlengkapan kamar, dari ranjang, lemari, kasur, bantal, meja rias dan lain-lain.
- Negosiasi mahar
Dalam adat Buton sebenarnya ada tingkatan-tingkatan mahar yang harus di bayar, mengingat di sana masih berlaku yang namanya strata sosial. Dan biasanya untuk orang dari suku luar Buton bakalan beda lagi hitungannya.
- Posuo atau pingitan
Saya hanya menjalani 1 malam di pingit saja, itupun saya hanya tidur pulas karena ditemani nenek-nenek yang gak pandai berbahasa Indonesia, sedang sayapun tidak menguasai bahasa Buton, hahaha.
Masih banyak hal-hal yang terpaksa kami hilangkan, bahkan selepas akad nikah lalu diteruskan resepsi di siang hari, sorenya kami malah bersih-bersih rumah. Sungguh penganten yang gak keren banget hahaha.
Intinya, pernikahan kami dulu sebenarnya seperti memenuhi keinginan orang tua untuk memajang kami di Buton, memberi tahukan kepada tetangga, bahwa si anak gadisnya mama saya sudah menikah sekarang, jadi gak boleh lagi ada yang gosipin kalau saya sudah nikah siri di Surabaya dan bahkan sudah punya anak 1, lol.
Ataupun ada yang gosipin kalau saya kumpul kebo alias tinggal bareng lelaki tanpa ikatan pernikahan.
Wew..
Meskipun demikian, kenangan tersebut akan terus tinggal diingatan kami, sebagai salah satu pengingat saat kami merasa putus asa satu sama lainnya, dan ingin memisahkan diri.
Ada banyak hal yang sudah kami alami untuk membuat buku nikah tersebut.
Buku yang susah payah dan penuh drama kami dapatkan, yang juga ngurus bukunya juga penuh drama, karena saat itu saya sudah jadi warga Surabaya, demikian juga si papi, sedang kami harus menikah di Buton.
Saya lupa dulu aturannya gimana, kalau gak salah kami harus lapor dulu ke Surabaya, terus datanya saya bawa ke Buton dan untungnya dengan kekuatan duit (iyaaa, pakai nyogok soalnya waktunya udah deket banget) akhirnya si petugasnya mau bikinin saja surat nikahnya.
Namun untunglah masih bisa sumringah hahaha |
Jadiii beginilah kami, warga Surabaya dengan surat nikah keluaran BauBau hahaha.
Bikinnya jauh, semoga buku ini selalu berdampingan sampai mau memisahkan kami, aamiin.
Kalau teman-teman, gimana kisah nikahnya?
Share di komen yuk :)
Sidoarjo, 10 Agustus 2018
REYNE RAEA
Segala dramanya bikin saya senyum-senyum. Meskipun dulu penuh drama, kalau sekarang diingat lagi pasti bikin ketawa, ya? :D
BalasHapushihihi banget mba :)
HapusSelamat ulang tahun pernikahan ya mbak. Dan juara banget dramanya. Jadi mikir 1000 kali buat nikah
BalasHapuslaaahhh, jangan laahhh... nikah emang penuh drama, tapi dramanya bikin menguatkan hubungan hihihi
HapusHappy anniversary ya mbak.. Ternyata setiap pasangan punya drama nya sendiri ya. Betul kata mbak seenggak nya drama-drama yang muncul ini jadi pengingat kalau lagi merasa putus asa, betapa dulu luar biasa nya perjuangan kita untuk bisa nikah. Semoga langgeng ya mbak..
BalasHapusAamiin
HapusMakasih mbak :*